Meloncati Garis Untuk Persatuan
Pada tahun 2007an penulis menggagas komunikasi Islam, dengan mengajukan beberapa istilah yang dikenal dalam khazanah intelektual Islam; dakwah (komunikasi), tablig (Informasi), amar makruf nahi mungkar (perubahan dan pembangunan), dan akhlak (widom). Keempat term tersebut menjadi domain komunikasi Islam, sehingga apa pun bentuk komunikasinya ketika mengatas namakan Islam hendaknya tidak keluar dari keempat ranah tersebut.
Dalam konteks media masa baik yang tradisional; pesantren, madrasah, mesjid, konvensional; majalah, buku, koran, radio televisi dan film, modern; internet dengan segala fungsi dan variannya serta digital; yang merupakan pengembangan dari teknologi komunikasi dengan berbagai fitur dan aplikasinya, senantiasa merupakan penjabaran dari keempat hal tersebut. Maka arah media masa Islam dapat dilihat dalam alur berikut: Ajaran Islam → Semua media (tradisional, konvensional, modern digital) → Dakwah, Tablig, Amar makruf nahi mungkar dan Akhlak → Umah sebagai sasaran.
Implikasinya terhadap media masa, maka penyelenggara media adalah lembaga dakwah, ormas dan lembaga pendidikan Islam, bertujuan dakwah, pemiliknya muslim, kontennya sesuai dengan ajaran Islam, Audiens masyarakat muslim secara khusus dan khalayak umum secara lebih luas, pembiayaan bisa dari iklan atau dari zakat dan infak sebagai sponsor kegiatan dakwah. Dalam konteks ini khalayak sasaran dipandang sebagai sasaran pembinaan.
Pada hari Sabtu 30/3/2019 tepatnya saat digelar Halaqah ketujuh Komite Khitthah 1926 Nahdlatul Ulama (KK26NU) di PP Darunnajah, penulis berbincang dengan santri senior Tebuireng yang mendampingi Gus Solah. Santri tersebut bercerita tentang film yang sedang digarap oleh PP Tebuireng bersama dengan LSBO (Lembaga Seni Budaya dan Olahraga) PP Muhammadiyah, ia menceritakan bahwa untuk menggalang persatuan, Gus Solah ingin membuat film yang menyajikan titik-titik kesamaan antara 2 tokoh ulama pendiri NU dan Muhammadiyah, sehingga bangsa Indonesia ini tidak terbelah dan melahirkan perpecahan. Selanjutnya ia katakan bahwa para pemain dari film tersebut terdiri dari para santri dan ustaz dari PP Tebuireng. Mendengar cerita itu penulis bersemangat, dan menyatakan sebuah usaha luar biasa dalam konteks kebangsaan dan perfilman. Hanya saja dalam hati bergumam; kalau pemerannya para santri apa bisa bagus dan representatif? Apa akan ada penontonnya? Karena kita tahu bahwa masyarakat kita pada umumnya agak kurang menyukai film-film sejarah. Kasus film Cut Nyak Dien garapan Eros Djarot yang dirilis tahun 1988 menurut Cristine Hakim pada suatu diskusi perfilman Indonesia di IAIN Jakarta, masyarakat kita kurang menyukai film-film yang berkualitas, seperti film Cut Nyak Dien itu kurang laku di pasaran, ya ini harus kita akui bopengnya wajah kita.
Pertanyaan itu kemudian terjawab belakangan ini, film yang ditunggu-tunggu untuk ditonton itu akhirnya rampung dan berhasil dirilis 17 April 2021, setelah terhambat oleh pandemi, kini film garapan Sutradara Sigit Ariansyah itu sudah bisa ditonton khalayak. Dan mendapat sambutan luar biasa dari berbagai kalangan, mulai dari presiden, para menteri dan pejabat merasa perlu menonton film tersebut. Ini juga menunjukkan bahwa dugaan penulis saat itu meleset.
Untuk memenuhi rasa penasaran di satu sisi dan memberikan edukasi kepada para santri di sisi lain, akhirnya kita adakan Nonton Bareng (Nobar) film yang berjudul Jejak Langkah 2 Ulama tersebut di pesantren. Di pesantren kita senantiasa memutar film untuk santri sedikitnya 1 judul dalam 1 semester setelah di-review tentu saja, film-film yang dinilai berkualitas baru kita bolehkan tayang, dengan harapan bahwa pemutaran film tersebut sebagai hiburan, edukasi dan pendidikan cara menonton dan mencari tontonan; apa, siapa, tentang apa, pelajarannya apa?
Karena waktu menonton mengambil jadwal muhadoroh –latihan pidato bahasa Inggris waktu itu—sebelum pemutaran film dimulai, penulis sampaikan bahwa ini acara muhadoroh, dan pembicaranya adalah film, sebuah film yang mengangkat sisi kehidupan dua tokoh besar yang luput dari konten dua film sebelumnya Sang Pencerah (2010) dan Sang Kiai (2013), jadi film ini pelengkap informasi historis dari kedua film sebelumnya. Usai pemutaran film, beberapa santri diminta mengambil kesimpulan atau pelajaran dari film tersebut, di luar dugaan seorang santri menyampaikan bahwa “ organisasi NU dan Muhammadiyah itu merupakan organisasi perjuangan yang tidak usah dipertentangkan satu sama lain.” Sampai di sini terlihat bahwa “pesan” dari film ini sudah tersampaikan, bahkan dipahami oleh anak usia belasan.
Keistimewaan Jejak Langkah 2 Ulama itu mampu menguak informasi yang dalam buku sejarah sering kali disajikan secara parsial dan tidak terkoneksi dengan informasi tokoh-tokoh semasanya. Seperti sosok Kartini sebagai pahlawan nasional hanya kita tahu informasi bahwa ia menulis surat-surat kepada rekan-rekannya di Belanda yang berisi cita-citanya. Surat-surat Kartini diterbitkan di negeri Belanda pada 1911 oleh Mr JH Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Licht. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Yang ternyata menurut film ini terinspirasi oleh surat al-Baqarah ayat 257 saat mengaji di Kiai Soleh Darat dan yang lebih penting lagi film ini menginformasikan kebersamaan para tokoh pahlawan tersebut dalam satu guru dan hidup semasa antara Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan dan Kartini. Ini informasi mahal dalam menggambarkan perjuangan kebangsaan dan pendidikan.
Keistimewaan lain dapat ditemukan saat Basyir mengadukan masalah yang ada di Kauman kepada Hasyim Asyari bahwa di Kauman ada ajaran sesat dan melakukan perubahan arah kiblat serta mengajari anak-anak perempuan untuk belajar. Ini pesan yang sangat luar biasa yang tersampaikan dalam dialog antara Hasyim Asyari dan Basyir dan patut diketahui oleh khalayak umum. Melalui dua visualisasi ini saja sang Sutradara sudah mampu menemukan titik-titik persatuan para tokoh terdahulu, belum lagi dipungkas oleh semangat perang melawan penjajah pasca Resolusi Jihad yang disambut oleh santri dari kedua tokoh tersebut.
Dalam wawancaranya dengan sutradara Sigit, Neno Warisman (pemeran Sayekti dalam film Sayekti dan Hanafi 1988) mengusulkan akronim untuk film ini JL2U (Jejak Langkah 2 Ulama) supaya bisa diterima generasi Z harapnya. Akronim itu akan lebih analitik lagi kalau dibaca dengan Jey El To Yu (Jump the Line Toward Unity) meloncati garis menuju persatuan. Sesuai dengan temuan, kreasi dan target dari film tersebut.
Comments are Closed