Tradisi Menyambut Ramadlan
Menjelang malam pertama di bulan Ramadlan kita menyaksikan kesibukan luar biasa di pasar-pasar serta pusat-pusat perbelanjaan. Kesibukan tersebut merupakan aktivitas rutin tahunan dalam menyambut kehadiran bulan suci ini.
Di kampung disebutnya tradisi “munggahan” yang secara bahasa bias diartikan naik, semacam persiapan menjelang puasa di bulan Ramadlan. Pada waktu kecil penulis menyaksikan kegiatan sederhana yang biasa dilakukan menyonggsong Ramadlan ini dengan beberapa kegiatan, seperti membersihkan masjid atau mushala yang dilakukan warga untuk mempersiapkan sarana tempat ibadah tarawih dan i’tikaf. Selain bersih-bersih juga warga biasanya melakukan mandi keramas dan pada sore harinya kita dapat menyaksikan hilir-mudiknya warga membawa bingkisan kepada keluarga yang dikenal dengan bingkisan munggah.
Barangkali tradisi mengirim bingkisan inilah yang membuat adanya kesibukan pasar yang luar biasa, bahasa sundanya disebut marema munggah. Orang berbelanja untuk mempersiapkan sahur pertama suatu menu yang berbeda dari kebiasaan sehari-hari, serta untuk mengirim bingkisan kepad keluarga.
Melihat tradisi ini berat dugaan bahwa kemunculannya merupakan buah peradaban yang lahir dari ajaran agama Islam. Pertama berkenaan dengan membersihkan masjid dan bersih-bersih diri dilakukan untuk menyongsong bulan suci di satu sisi, juga untuk menjaga kebersihan pasilitas ummat di sisi lain. Hal itu karena akan diadakannya tarawih bersama di setiap malam Ramadlan, maka kondisi sarananya harus bersih. Yang kedua terlihat jelas ada komunitas jamaah yang bekerja sama menghadapi kepentingan bersama.
Ketiga berkenaan dengan bingkisan munggah kepada kerabat keluarga juga merupakan implementasi dari ajaran silaturahmi di satu sisi dan ajaran permohonan maaf (bersih-bersih hati dan jiwa) di sisi lain supaya dalam menjalankan ibadah puasa nanti terbebas dari kekhilafan dan kesalahan manusiawi. Adapun bingkisan munggah merupakan pengiring dari semua niatan pembersihan jiwa tadi yang juga memiliki nilai shadaqah, nilai kasih sayang dan cinta sesama keluarga.
Manfaat berbagi dari tradisi munggah ini benar-benar nyata bahwakn secara ekonomi bisa menggerakkan pasar dan daya beli masyarakat, berbagai komoditi yang pada hari-hari biasa tidak begitu dilirik, pada bulan Ramadlan ini menjadi laku keras, selain juga melahirkan inisiatif baru dengan munculnya pedagang musiman yang menjajakan masakan dan minuman buka, juga adanya alih profesi bagi pedgang tertentu.
Tidak kalah pentingnya tradisi tadarusan yang start pada awal malam Ramadlan, suara bacaan al-Qur’an yang berkumandang dari setiap mushala melalui pengeras suara, jangan dipandang sebagai kebisingan atau dengan kata mengganggu orang lain dan sebagainya. Tapi pandanglah sebagai kegiatan inspiratif yang bisa menggerakkan pendengarnya untuk mengikuti lantunan itu, atau mengingatkan betapa indahnya suasana itu, bahkan bisa menyadarkan pendengarnya bahwa ia juga harus membaca al-Qur’an.
Mari kita lihat media-media yang ada baik elektronik maupun cetak, dengan seenaknya menaburkan berbagai pesan dari yang positif hingga yang negatif sekalipun, dan tidak ada yang bertindak untuk melarang dan meberhentikannya. Suara-suara teriakan yang ditransmit begitu gencar, gelak tawa dan lainnya sengaja diciptakan justru pada bulan suci bagi ummat ini, tidak ada yang mengganggu, media tetap bekerja sesuai misinya, kenapa giliran ada usaha mentransmit bacaan ayat-ayat al-Qu’an, membuat sebagian orang yang merasa terganggu jadi sibuk untuk menghentikannya.
Jika media menembakkan “peluru” dengan seenaknya, apa salahnya mesjid juga menembakkan “pelurunya”; menyebarkan suasana positif bagi khalayak. Mesjid adalah media komunikasi bagi kaum muslimin untuk menyampaikan pesannya. Wallahu a’lam.
Comments are Closed