Ngabuburit
Satu lagi tradisi yang muncul di bulan Ramadlan adalah ngabuburit, berasal dari bahasa sunda yang artinya menunggu petang (datangnya waktu magrib) saat berbuka puasa. Pada awalnya kegiatan ini dilakukan setelah anggota keluarga selesai mempersiapkan segala sesuatu yang berhuungan dengan buka puasa, mereka –sekitar pukul 16 an keluar rumah untuk sekedar jalan-jalan baik dengan jalan kaki atau bersepeda untuk menunggu datangnya waktu buka.
Pada masa dulu sekitar tahun 70 an suasana belum seperti sekarang, warga tidak terlalu sibuk dan sarana transportasi juga belum begitu motorized, jalanan belum ramai pengguna seperti halnya sekarang. Di sana-sini banyak ditemukan gerombolan orang terutama anak-anak dan remaja berjalan penuh keceriaan atau sekedar duduk-duduk di tepi jalan untuk menunggu magrib. Apalagi pada waktu dulu selama Ramadlan kegiatan seperti sekolah libur 1 bulan penuh, jam kantorpun hanya sampai pukul 14 saja. Jadi banyak waktu luang untuk ngabuburit bersama keluarga yang berpuasa, termasuk menghibur anak-anak kecil yang sedang belajar berpuasa.
Belakangan ini acara ngabuburit berubah warnanya, media elektronik misalkan menyajikan berbagai show yang bertemakan ngabuburit, bahkan biro iklan juga menyajikan promosi produk tertentu dengan event-event ngabuburit. Lebih dahsyat lagi dengan pola ngabuburit semacam jjs (jalan-jalan sore) yang dilakukan dengan berkenadaraan bermotor, terutama sepeda motor. Suasana jalanan sore hari penuh bagaikan sungai yang kebanjiran sepeda motor, terlebih dengan kelompok-kelompok sepeda motor yang memenuhi jalanan nyaris tak memberi kesempatan pengguna jalan lain untuk lewat, dengan ciri khas atribut-atribut kelompok seperti bendera, jaket atau sal yang mencerminkan identitas mereka.
Ironisnya banyak ditemukan justru pengendara yang memadati jalan saat ngabuburit itu kedapatan tidak berpuasa. Sehingga terkesan ngabuburit bergeser dari tradisi awalnya menunggu berbuka puasa menjadi pemanfaatan kesempatan untuk melakukan pesta knalpot di jalanan.
Dari sini nampaknya perlu penataan ulang budaya ngabuburit dengan bentuk lain, misalkan dengan adanya berbagai kajian keagamaan, atau program pelatihan keterampilan tertentu seperti keterampilan menulis, pidato atau baca al-Qu’an untuk mengisi ngabuburit.
Comments are Closed