Logika Tindakan: Menuju Kedewasaan Bertindak*
Oleh: M. Tata Taufik
Pengantar:
Bagaimana pendapat anda jika anda sedang antri di ATM misalnya, lalu ada seorang mahasiswa dengan memakai jaket almamater, mengendap-ngendap menuju pintu ATM di antara para pengantri, lalu ketika pemakai keluar dari kotak ATM dia menyerobotmasuk? Dan bagaimana juga pendapat anda jika seorang mahasiswa naik bis kota walau kondektur bis tidak minta onggkos –mungkin karena terlewat—lalu dengan senang hati sebelum ia bayar dahulu sesuai dengan tarip yang berlaku? Mungkin anda setuju jika yang pertama dinilai tidak beradab dan yang kedua dinilai kearipan. Itulah dua wajah mahasiswa yang pernah dijumpai di Republik ini.
Logika Tindakan:
Tugas utama logika adalah untuk menyusun sistematika dari sederetan kalimat dan konsekwensinya[1] dalam berpikir deduktif[2]. Langkah-langkah yang perlu diperhatikan adalah, mengidentifikasi karakter dari berbagai pernyataan (kalimat) yang memiliki konsekwensi logis, berbagai premise diajukan untuk mendukung pernyataan lain, yang kemudian disebut argumen, yang membantu menuju pada kongklusi (kesimpulan). Jika argumennya benar maka disebut valid.
Tindakan berarti melakukan sesuatu, melakukan sesuatu karena, atau melakukan sesuatu untuk. Jadi suatu perbuatan yang dilakukan karena alan-alasan tertentu, atau perbuatan sengaja dilakukan untuk mencapai tarap atau tahapan tertentu. Selain tindakan juga bisa diartikan perbuatan yang dilakukan atas nama seseorang, bisa juga berarti tindakan karena termotivasi sesuatu.[3]
Secara umum logika berarti pembuktian suatu pernyataan dengan menggunakan argumen deduktif, dan tindakan adalah perbuatan atau tingkah laku yang muncul karena alasan tertentu, tujuan, atau motivasi tertentu, bisa juga karena mewakili kelompok atau institusi tertentu. Maka logika tindakan bisa diartikan; suatu alasan sistematis yang berlaku umum dan mendasari / melatarbelakangi terjadinya suatu tindakan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa yang dimaksud logika tindakan adalah pertanyaan sekitar; mengapa ini perlu dan mengapa ini tidak perlu? apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan?
Menurut karakternya yang asli logika berarti berfikir deduktif, menarik kaidah-kaidah umum untuk dijadikan dasar kaidah khusus. Seperti unkapan orang terpelajar sangatlah kritis, mahasiswa terpelajar, mahasiswa harus kritis. Dari mana muncul pernyataan orang terpelajar itu kritis, dari pengamatan dan pengalaman, karena mahasiswa merupakan sosok makhluk yang sedang dalam proses pembelajaran (to be terpelajar) maka ia harus memiliki sikap kritis sebagai ciri umum dari keterpelajaran. Adanya “keharusan” bersikap kritis bagi mahasiswa sebagai konsekwensi dari status keterpalajarannya. Maka keterpelajaran sebagai alasan (argumen) yang mendasari keharusan bersikap kritis bagi mahasiswa.
Kerangka Tindakan:
Dalam bertindak setidaknya memiliki kerangka yang harus tersusun secara sistematis, dimulai dari realita atau kenyataan yang dihadapi/ ditemui dalam keseharian, kemudian kenyataan tersebut diperhatikan secara seksama (cermat). Hasil dari perhatian yang cermat itu dipilah-pilah sesuai dengan ciri-ciri masing-masing. Kemudian dicarikan kaidah umum yang berlaku, lalu berdasarkan kaidah umum itu digabungkan dengan hasil pengamatan tadi dibuatlah suatu pernyataan yang mengisyaratkan pencakupan atas apa yang terjadi kemudian didapat kesimpulan yang menjadi dasar tindakan yang akan dilakukan.
Maka secara sitematis bisa disusun suatu kerangka berfikir sebagai berikut: observasi; untuk menentukan kaidah umum, memilah-milah (persamaan dan perbedaan) anatara kaidah umum dengan kenyataan yang ada, untuk melihat kesamaan tindakan apa yang bisa dilakukan. Dari kesmamaan itu dibuatlah premis-premis yang akan dijadikan penghubung antara dua kenyataan tadi sehinga dapat ditarik kesimpulan darinya. Logika seperti ini adalah logika deduksi. Dan lebih banyak dipakai dalam kehidupan sehari-hari. (penentuan kaidah umum → melihat kenyataan → memilah-milah kenyataan →menemukan kesamaan dan perbedaan → tindakan /kesimpulan).
Gambaran sederhana adalah seperti saat seorang mahasiswa melihat seorang mahasiswi, dalam pengetahuannya (karena dia telah baca primbon wanita) jika rambutnya ikal, muka oval,kulit putih, maka dia orang baik dan cocok dibawa usaha apa saja. Maka mahasiswa tersebut mengamati mahasiswi tadi, apakah rambutnya ikal, apakah mukanya oval? kulitnya putih? Langkah pengamatan ini untuk memilah sifat-sifat yang dimiliki tadi, serta melihat kesamaan (kemiripan) antara kenyataan (mahasiswi) dengan kaidah umum yang dia tahu. Langkah tersebut akan melahirkan tindakan apakah ia akan mengajak kenalan (mendekati) atau menjauhi.
Dalam tulisannya Mantik Profetik:Sirah Sepanjang Masa A.Luqman Vichaksana mengisyaratkan bahwa maksud logika tindakan adalah gaya bertindak atau paradigma bernalar dan bertindak[4]. Jadi dasar bertindak (logika tindakan) bagi muslim menurutnya adalah iman dan nalar.
Ketika dihubungkan dengan “kemahasiswaan” dan “Keislaman”, maka paradigma (kerangka) tindakan yang diapakai adalah kerangka keislaman. Jadi seorang mahasiswa muslim bertindak harus berdasarkan pada kaidah-kaidah umum yang bersifat universal dan berdasarkan Islam. Untuk kemudian dihubungkan dengan partial-partial yang lebih khusus (menterjemahkan kaidah-kaidah umum yang islami pada realitas sosial maupun individual). Kaidah-kaidah tentang keadilan, kejujuran, kesederhanaan, keberanian, etos kerja, amanah, kritis (prinsip tawashau bilhaq dan tawashau bisabr), amar ma’ruf dan nahi mungkar, misalkan semuanya merupakan kaidah umum yang bisa dijadikan dasar bagi upaya-upaya perjuangan untuk mewujudkan keadilan, kampanye kejujuran, anti korupsi dan seterusnya.
Objek Tindakan:
Apa yang bisa dijadikan objek tindakan? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan melihat realitas. Kenyataan yang dihadapi manusia senatiasa menjadi stimuli untuk bertindak (sebagai respon). Karena kalau dilihat bahwa kehidupan adalah bagaikan gugusan antara stimuli dan respon.
Berbagai temuan di dalam kehidupan sosial maupun individual tersebut merupakan rangsangan untuk bertindak (dalam makalah ini disebut objek tindakan).Realitas sosial apa saja bisa dijadikan sebagai objek tindakan; keadilan sosial, keadilan ekonomi, patalogi sosial, pemerataan pendidikan dan lain-lain semuanya bisa dijadikan objek tindakan. Hakekat keberadaan seseorang akan terlihat dalam posisi dan perannya dalam suatu kehidupan sosial tertentu (bahasa haditsnya: sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi manusia lain).
Selain temuan dalam realitas sosial, ada juga temuan dalam realitas yang bersifat individual, seperti dalam contoh mahasiswa dan mahasiswi di atas. Realitas sosial akan melahirkan tindakan yang bersifat sosial juga, sebagaimana realitas individual akan melahirkan tindakan individual.
Objek tersebut akan sangat ditentukan oleh kepekaan dan kepedulian terhadap realitas, hal ini erat sekali hubungannya dengan kemampuan berfikir kreatif; mengubah yang lama menjadi nampak baru atau mencipta suatu yang baru. Suatu realitas bisa saja sangat berarti bagi seseorang atau bagi kelompok terntentu, namun dinilai tidak berarti bagi individu/ kelompok lain. Yang membedakan “berarti atau tidaknya” suatu realitas adalah karena derajat perhatian dan kepekaan yang berbeda, interes dan latar belakang pengetahuan yang berbeda. Maka semakin peka dan tanggap seseorang terhadap apa yang ada di sekelilingnya, akan semakin mampu dia merumuskan logika tindakan apa yang bisa dilakukan; dalam arti yang sederhana –mampu bertindak cepat.[5]
Sarana Tindakan:
Bertindak dalam kerangka Islam memiliki dua tugas pokok, jika dihubungkan dengan kehidupan sosial; amar am’ruf dan nayi mungkar[6]. Dengan apik dilukiskan dalam surat al-A’shr, “bahwa semua tindakan adalah sia-sia; kecuali merka yang menjadikan iman sebagai dasar tindakan, lalu diwujudkan dalam bentuk perbuatan baik (relevan) dan sesuai dengan noma serta kebutuhan zamannya, senantiasa memberi nasehat dan mengkritik berbagai kekeliruauan”.
Sarana yang dipakai dalam kontek ini sejalan dengan yang dikembangkan Rasul saw adalah; power (dilukiskan dengan tangan), perkataan atau bahasa (dilukiskan dengan lisan) dan terakhir dengan do’a atau sikap diam yang berarti aktif (dilukiskan dengan qalb).
Melalui tiga sarana tindakkan di atas Rasul saw mengajarkan ummatnya untuk senantiasa tidak kompromi terhadap bentuk kemungkaran. Hanya saja ketika dihubungkan dengan perkembangan modern, maka saran tersebut membutuhkan serentetan kegiatan seperti penentuan pokok permasalahan, pembahasan terhadap masalah serta rumusan tindakkkan yang bisa diambil. Apakah dengan power, dengan bahasa, atau dengan do’a saja. Semuanya berarti menuntut adanya studi dan diskusi untuk sampai pada penentuan sikap dan tindakkan. Berkenaan dengan ini Ibnu Taimia membuat satu kaidah bahwa menyuruh kepada kebaikan (amar ma’ruf) harus dengan cara yang baik (ma’ruf) dan sebaliknya mencegah kemunkaran tidak dengan menggunakan kemunkaran[7].
Bahasa Tindakan:
Bahasa dari sudut medianya memiliki dua bentuk yaitu bahasa lisan dan tulisan, yang paling awal dari kedua bentuk ini adalah bahasa lisan. Bahkan bahasa yang dijadikan objek bahasan linguistik adalah bahasa yang menghubungkan isi fikiran manusia dengan bunyi yang dihasilkannya (ucapan). Yaitu bahasa yang menghasilkan serta menerima bunyi hingga terjadi proses ujaran. Sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa yang berbeda yang bertujuan untuk melukiskan bahasa yang terucap (ujaran) dengan cara yang terlihat, bisa disebut visualisasi ujaran. Jadi tulisan merupakan penemuan baru setelah penemuan bahasa lisan. Simbol huruf adalah nomor dua dibanding dengan simbol bunyi yang terucap. Maka tulisan tak ubahnya sebagai simbol dari simbol Demikian Tegas Edward Sapir.[8]
Yang dimaksud bahasa lisan adalah ujaran berupa leretan bunyi yang diucapkan oleh manusia sebagai alat komunikasi antara pembicara / penutur dengan pendengar.[9]Jadi bahasa yang dihasilkan dengan menggunakan alat ucap dengan fonem sebagai unsur dasarnya. Sedangkan yang dimaksud dengan bahasa tulisan adalah bunyi bahasa yang dilambangkan dalam tulisan berupa leretan huruf sebagai alat komunikasi antara penulis/ pengarang dengan pembaca.[10]Atau bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya.
Sampai kini perkataan (ucapan maupun tulisan) merupakan dasar dari tabligh (penyampaian pesan maupun ajaran) bahkan semakin berkembang cara penyajian dan gayanya. Ungkapan-ungkapan (kalimat) tersebut berupa ucapan, tulisan, penekanan intonasi dan penyajian dalam bentuk gambaran, lantunan suara merupakan pangkal utama dalam tabligh dan dakwah, sekaligus juga merupakan media komunikasi menurut istilah sekarang.
Harus diakui bahwa ilmu komunikasi dewasa ini telah mencapai kemajuan besar dalam studi dan analisis terhadap berbagai dimensi manusia dan kehidupannya. Dimensi kejiwaan, minat dan kecenderungan manusia, tradisi dan kebiasaan yang berlaku, pemikiran dan sarana-sarana yang bermanfaat untuk menekankan pengaruh komunikasi terhadap diri manusia. Selain itu studi atas media dan sarana komunikasi telah menghasilkan berbagai media momunikasi baru yang bisa menyertai kehidupan manusia baik dalam tidur maupun terjaga, laksana udara dan air yang dibutuhkan kehidupan manusia.
Berbagai studi juga telah dilakukan untuk mengathui dampak dari pengaruh komunikasi terhadap kelompok kecil, kelompok profesi dan kelompok buruh misalnya yang ada pada masyarakat. Dengan studi tersebut memungkinkan dibuatkan suatu format (gaya) tertentu yang sesuai dengan minat dan kebutuhan bagi berbagai kelompok masyarakat yang berbeda dengan cara dan gaya komunikasi yang sesuai dengan pandangan dan pemikiran hidup mereka. Berbagai studi tersebut telah melahirkan aliran politik aliran pemikiran serta aliran ekonomi tertentu di era sekarang ini.
Melalui ilmu komunikasi dan ilmu soisial (kaidah-kaidah komunikasi dan kaidah sosial) diharapkan agen perubahan bisa melakukan “dakwah” dengan cara-cara yang komunikatif serta mengindahkan aspek-aspek kepekan (perasaan) dan kecenderungan serta kondisi individual dan soial masyarakatnya.
Komunikasi sebagai salah satu bentuk interaksi sosial merupakan modal terciptanya sebuah interaksi yang lebih lanjut menjadi titik perhatian Islam. Sosio-historis turunnya ayat QS.17:53 misalnya[11] merupakan pelajaran yang sangat besar bagi kemanusiaan dan bagi kaum muslimin. Karena secara naluri manusia biasanya cenderung “menolak”, “menentang” dan “menyerang” sesuatu yang datang dari pihak yang disebut “lawan”. Semangat mempertahankan diri yang dimiliki manusia bisa melahirkan sikap agresif, terutama kepada sesuatu yang baru dan belum dikenalnya, juga terhadap outsider, sikap ini akan melahirkan persepsi negatif atas apa yang ada dihadapannya. Menanggulangi hal tersebut Islam memberikan tuntunan rinci yang dimulai dari tata cara komunikasi dan penuturan kata. Hal tersebut tidak saja menjadi norma komunikasi semata, tapi lebih jauh akan mengangkat derajat dan harga diri pemeluknya sehingga menimbulkan simpati. Simpati[12] tersebut merupakan modal dasar dari aktifitas “dakwah” Islam dalam meyebarkan ajarannya.
Ayat yang berbunyi:
وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإِنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا
“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku supaya mereka berkata sesuatu yang terbaik, karena setan akan membelokkan (isi pesan tersebut) di antara mereka, karena setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.” Kalau diperhatikan memberikan tuntunan agar kaum muslim memeprehatikan materi pembicaraannya dengan atribut “terbaik”. kata materi tersebut bisa dipahami dari kata yaqûlû al-Lâtî Hiya ’Ahsan (يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ). Penggunaan kata al-Lâtî di situ menunjjukan sesuatu yang dismpaikan atau materi ucapan. Melalui ayat di atas al-Qur’an mengajarkan bahwa untuk berkomunikasi seseorang hendaknya memilih materi yang terbaik. Pembahasan di sini akan difokuskan pada atribut ‘ahsân dan kata bentukannya dilihat dari sudut pandang komunikasi.
Ada beberapa kata kunci yang bisa diinventarisir dari penafsiran terhadap ayat di atas dalam topik isi pembicaraan (materi komunikasi): 1. Kalimah Thayyibah. 2. Kata-kata yang terbaik ’ahsan. 3. Memilih kata-kata yang tidak membuat marah, berisi hinaan dan cacian. 4. Memerintahkan apa yang diperintah Allah dan melarang apa yang dilarang Allah.
- Kalimah thayyibah: Dilihat dari beberapa pendapat di atas, nampaknya ada kekayaan makna yang bisa dihipun dari pengertian ‘ahsan, seperti Ibnu Katsîr dan sayyid Qutub menggunakan kata kalimah thayyibah. Secara bahasa kata thayyib berasal dari thâba, artinya: enak, manis, baik, indah (ladza, halâ, hasuna, jâda), dan arti lainnya ketika dihubungkan dengan kata nafs (jiwa) berarti, lapang dada atau jiwa, dihubungkan dengan kata khathar (bahaya), berarti menenangkan dan menjadikan aman.[13] Pengertian secara etimologis ini memberikan pemahaman kata thayyib dengan medan makna antara lain: perkataan yang enak, manis, indah, menenangkan jiwa, kata-kata yang dapat membebsakan dari bahaya dan bisa menimbulkan rasa aman dan ketenangan. Maka kata ’ahsan dalam komunikasi berkonotasi makna-makna tersebut.
Melihat pemaknaan ’ahsan dengan pengertian etimologis tadi, jka digabung dengan pengertian yang mengkonotasikan dengan kalimah tawhîd, maka akan tersusun suatu pengertian bahwa ’ahsan mencakup suatu perkataan yang berhulu pada kalimah tawhid dan berimplikasi pada simbol bunyi (verbal) yang terartikulasikan dengan baik, indah, menyenangkan, tidak membahayakan bagi komunikator dan tidak menyakitkan bagi komunikan.
- Kata-kata yang terbaik, ‘Ahsan: Al-Marghani memilih untuk menambahkan kalimat: dan jangan mengatakan perkataan yang membuat marah dan permusuhan, setelah katan ‘Ah Sedangkan al-Marâghi menghubungkan kata ‘Ahsan dalam ayat ini dengan ayat QS.16:125 dan QS.29:46. dalam penafsirannya kata ‘Ahsan pada ayat tersebut berarti; dengan berlemah-lembut dalam berbicara kepada mereka,[14] Dan kata bentukan dari ‘Ahsan, dalam bentuk mashdar yaitu ’ihsân, diartikan muqâbalatu al-khair bi ‘aktsar minhu, artinya membalas kebaikan dengan lebih banyak dari kebaikan yang ia terima. [15]
Secara etimologi ‘Ahsan merupakan kata bentukan dari hasana yang berarti indah, baik, dalam bentuk kata suprelatif ‘Ahsan dari kata ‘ahsana berarti yang ter indah, terbaik. Kata ‘ahsana sendiri artinya melakukan perbuatan baik, atau lawan dari kata ‘asâ’a yang berarti berbuat jahat, perbuatan buruk.[16] Jadi dpat dilihat bahwa penafsiran ini memberikan pengertian kata ‘Ahsan, adalah merupakan jawaban yang terbaik dari ungkapan sebelumnya yang diterima oleh lawan bicara. Di sini menggambarkan arahan semacam kaidah bagi muslim untuk selalu memberikan atau menjawab yang lebih baik bila mendapat perkataan yang menyakitkan sekalipun. Dan penekanan ‘ihsân itu lebih utama jika dilakukan terhadap mereka yang berbuat tidak baik, innama al-‘ihsân ilâ man asâ’a ilaika laisa al-‘ihsân an tuhsina ilâ man ahsana ilaika.[17]
- Memilih kata-kata yang tidak melahirkan kemarahan, tidak berisi cacian dan hinaan: Ini menunjukkan sebab akibat, tidak boleh menjawab perkataan atau pernyataan orang lain dengan kalimat yang menyakitkan, atau yang dapat menimbulkan amarah, berisi cacian atau hinaan, sehingga mengakibatkan keributan (al-fitnah). Jadi kata ‘Ahsan harus terbebas dari apa-apa yang menyebabkan komunikan tidak berkenan, baik ucapan maupun tekanan ucapan tersebut (intonasi). Di sini ada proses memilih kata-kata dalam menjawab atau berkomunikasi.
- Memerintahkan apa yang diperintah Allah dan melarang apa yang dilarang Allah: dalam pengertian ini kata ‘Ahsan harus bermuatan perintah berbuat baik dan larangan untuk meninggalkan perbuatan yang dilarang Allah SWT. Jadi perkataan yang keluar dari mulut seorang muslim senantiasa berisikan (berisi semangat) al-amru bi al-ma’rûf wa al-nahyu ‘an al-munkar.
Pembahasan di atas memperlihatkan suatu gambaran yang sangat baik dari segi isi atau materi komunikasi dalam pandangan Islam. Yakni harus tetap ada pemilihan perkataan atau kalimat-kalimat yang pas, tidak mengandung hinaan serta bisa menyenangkan bahkan memuaskan lawan bicara. Dengan singkat bahwa materi ucapan yang terlontar dari komunikator (originator muslim) hendaknya tepat sasaran, bertujuan, dan beretika. Suatu gambaran yang mencerminkan derajat luhur dan bisa melahirkan kepercayaan lingkungannya akan kebenaran pesan dan kebaikan yang akan ditimbulkan dari efek komunikasi bersama seorang muslim.
Model Logika Tindakan:
Yang dimaksudkan dengan model logika tindakan adalah sebuah tindakan yang dibangun berdasarkan epistimologi tertentu, seperti logika marxisme, liberalisme, idealisme, empirisme, hedonisme, feminisme dan lain-lain.
Sebuah model tindakan akan sangat bisa ditarik benang merahnya dengan landasan epistimologi (paradigma) jika kita memiliki sejumlah informasi tentang aliran pemikiran tersebut. Sebagai ilustrasi, jika ada seorang menyuarakan kemiskinan, berakhir dengan penghapusan kelas sosial dan isu pemerataan, kemudian dibarengi dengan revolusi, maka bisa dipastikan bahwa model tindakan yang dianut adalah marxisme-leninnis.
Dunia periklanan mungkin akan lebih tepat jika dikategorikan sebagai penganut logika, hedonis, liberalis dan freudian. Karena informasi yang diberikan dibangun atas dasar filsafat hedonis (kenikmatan), liberalis (keuntungan) dan metodenya lebih menggunakan filsafat freudian (exploitasi gender).
Penutup:
Tugas terpenting dari status “keterpelajaran” adalah kemampuan bertindak cepat, tepat dan terarah serta representatif. Kemampuan tersebut harus dimulai dari sikap “tanggap” dan “peduli” terhadap apa yang ada disekelilingnya, untuk kemudian dikontruksi tindakan apa yang bisa dikakukan.
Pendekatan paradigmatik dalam bertindak sangat membutuhkan “bekal” pengetahuan sosio-kultural serta sosio idiologik. Tindakan yang tidak mengakar pada kultur dominan, akan sulit melahirkan “simpati” dan bahkan akan melahirkan antipati. Maka mengenal kultur lokal maupun kultur nasional menjadi niscaya.
Al-Ikhlash, Minggu, 23 Juli 2006
* Disampaikan pada acara LK II HMI Cabang Wisma Permata, Kuningan 27 Juli 2006.
[1]con.se.quence n (14c) 1: a conclusion derived through logic. 2: something produced by a cause or necessarily following from a set of conditions 3 a: importance with respect to power to produce an effect
[2] Deduktif: Bermula dari yang umum menuju yang khusus, from the general to the specific.
[3]Act on, act for, act on behalf of, act from
[4]Vichaksana A.Luqman, Mantik Profetik: Sirah Sepanjang Masa, artikel www.Islamalternatif.com, 17 April 2006.
[5]Kecepatan bertindak merupakan hasil dari proses berfikir yang cepat.
[6]Ma’ruf adalah segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya seperti Syariat Islam yaitu: Shalat lima waktu, shadaqah wajib, puasa wajib dan menunaikan ibadah haji, juga termasuk Iman; iman kepada Allah, malaikat-malaikat Allah, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-nya serta iman kepada hari akhir dan qada serta qadar, termasuk juga Ihsan, yaitu menyembah Allah seakan kamu meliha-Nya jika ia tidak melihatnya maka sesungguhnya Ia melihat kamu. Jadi ma’ruf adalah tiga komponen agama Islam yang telah kita kenal yaitu; Islam, Iman, dan Ihsan. Termasuk ma’ruf juga semua perintah yang bersifat lahir maupun batin seprti ; ikhlash dalam beragama hanya kepada agama Allah, tawakal, cinta kepada Allah dan Rasul diatas kecintaannya pada yang lain, mengharapkan rahmat Allah, dan takut akan azab-Nya, shabar atas hukum-hukum Allah, berserah diri kepada Allah. Terma suk juga bicara dengan jujur, tepat janji, menyampaikan amanat kepada yang berhak, berbuat baik kepada orang tua, shilaturahmi, saling tolong menolong dalam ketakwaan, baik kepada tetangga, anak yatim, pakitr miskin dan mereka yangs edang dalam perjalanan, kepada teman, istri, serta pembantu, bijak dalam perkataan dan perbuatan, senantiasa memelihara akhlak terpuji seperti, menyambungkan silaturrahmi kepada orang yang memutuskan silaturrahmi, memberi kepada orang yang pelit, memaafkan kepada orang yang mendzalimi. Selanjutnya Ibnu Taimia menambahkan bahwa termasuk amar ma’ruf adalah menyerukan persatuan dan kebersamaan, dan termasuk nahyi munkar, adalah melarang perpecahan dan pertentangan. Sedangkan yang dimaksud munkar adalah semua yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya, kemunkaran yang paling besar adalah syirik, yaitu menjadikan sesuatu sebagai yang sebanding dengan Allah. Dapat dikatakan semua kebalikan dari ma’ruf adalah munkar
[7] Ibnu Taimia, Al-Amru Bil Ma’ruuf wa Nahyi anil Munkar, Beirut, Darul Kitab al-Jadid, 1984, h,18
[8] Mahmūd As-Sa ‘rān, ‘Ilmu Al-Lughah, Beirut: Dāru Al-Nahdah Al-‘Arabiyah, h,55
[9] Abdullah Ambary, Drs. Intisari Tata Bahasa Indonesia, Bandung, Djatnika, h, 8
[10] Ibid
[11]Al-Qurtubi,menjelaskan bahwa ayat ini turun ketika ‘Umar bin al-Khathâb dihina oleh seseorang, lalu ia balik menghinanya dan akan membunuhnya, hingga hampir mengakibatkan keributan, riwayat menganai ini disebutkan oleh al-Tsa’labi, al-Mâwardi, dan Ibnu ‘Athiyah al-Wâhidi. Menurut al-Kalabi, bahwa ayat tersebut turun ketika orang mu’min memita izin kepada Rasul untuk memerangi mereka: Izinkanlah kami ya Rasulullah untuk memerangi mereka, mereka terlalu lama menyakiti kami, maka Rasul menjawab, Aku belum diperintah untuk berperang, maka turunlah ayat tersebut. Lihat, ’Abî ‘Abdillah al-Qurthubiy, Al Jâmi’ li ‘Ahkâmi al-Qur’ân, TT, Jilid.X, h, 276-277
[12] Sympathy, dalam pengertian; agreement with or approval of an opinion or aim; a favourable attitude:: persetujuan atau penerimaan.
[13] Al-Munjid, h, 476
[14] Al-Marâghi, Op.Cit, Jilid, 5,Juz 15, h.161
[15] Ibid.h, 129, ketika menafsirkan ayat 90 surat 16.
[16] Al-Munjid, h, 132
[17] Al-Marâghi, Op.Cit. h, 132
Comments are Closed