Kebapakan Sang Guru
Pertama bertemu dengan DR. Ahmad Muhammad Ahmad At-Thayyib pada saat memenuhi undangan Duta Besar Mesir untuk Indonesia HE. Yasser Elshemy pada acara pertemuan dan dialog bersama Grand Syaikh Al-Azhar yang diadakan pada hari Rabu 10 Juli yang lalu di Ballroom Langham, Hotel Langham SCBD Jakarta. Pertemuan ini diisi dengan paparan GSA tentang konsep wasathiyah dalam Islam yang menjadi perhatian utama beliau saat ini.
Keesokan harinya pertemuan dengan Grand Syaikh Al-Azhar tersebut berlangsung di PP Darunnajah Jakarta 11 Juli yang lalu. Sebagaimana biasa tradisi penyambutan tamu Negara dan Kenegaraan di Pesantren tersebut menerapkan standar protokoler yang berlaku di pesantren-pesantren modern alumni Gontor; penyambutan dengan melibatkan santri yang berbaris di kanan kiri jalan yang akan dilalui, pasukan Marching band, serta pasukan kehormatan yang mengawal tamu sampai lokasi kegiatan.
Menerima penyambutan yang luar biasa tersebut, selain berterima kasih yang tak terhingga, beliau menyampaikan rasa empatinya kepada para santri. Sikap tersebut tampak dan diungkapkan saat mengawali sambutannya. Setelah dipersilahkan untuk menyampaikan pesannya oleh MC. Mengawali pembicaraannya beliau sampaikan: Ketika datang, yang pertama kali saya temui adalah putra-putriku yang berbaris di bawah terik matahari, dan saya melihat butiran keringat di wajah mereka, untuk itu saya sampaikan terima kasih yang tak terhingga, dan mohon agar mereka bisa berteduh, dan bisa masuk ke ruangan ini….”
Pernyataan ini menarik untuk diperhatikan dengan beberapa alasan. Pertama menunjukkan kekagumannya mendapat sambutan semeriah itu dan ungkapan terima kasih atas penyambutannya. Kedua menunjukkan rasa kasih sayang kepada para santri, dari segi panggilan saja, beliau memanggilnya dengan sebutan “putra-putriku” artinya memosisikan sebagai orang tua bagi para santri, secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa para peserta didik tidak disebut peserta didik, tapi disebut putra-putriku, anak-anakku. Ini penting untuk membangun hubungan
Guru – murid sebagaimana hubungan ayah dan anak. Ketiga dari permintaan yang disampaikan agar para santri yang menyambut di pinggir jalan tadi supaya berteduh, karena teriknya Matahari juga menunjukkan rasa kasih sayang dan mengisyaratkan perlunya perlindungan bagi mereka.
Dalam konteks ini Rasulullah SAW bersabda: Aku bagimu seperti seorang ayah bagi anaknya. Aku mengajari kalian…. hadis riwayat Ibnu Mâjah ini menjelaskan bagaimana Rasulullah SAW memosisikan dirinya di hadapan para sahabat ketika ia mengajari sesuatu. Sekaligus juga mengajarkan sikap yang seharusnya dimiliki seorang guru dalam mendidik muridnya.
Berkaitan dengan sikap guru, Imam Ghazali menyebutnya sebagai kewajiban guru. Di antaranya: Pertama kasih sayang terhadap muridnya serta memperlakukan mereka sebagaimana perlakuan terhadap anak-anak kandung mereka. Kedua mengikuti teladan Rasulullah SAW yakni tidak mengajar untuk mencari upah atau imbalan, baik berupa materi maupun ucapan terima kasih. Ketiga tidak bosan untuk memberi nasihat kepada muridnya. Keempat hendaknya memberi peringatan kepada murid yang buruk perangainya dengan menyingkapnya semaksimal mungkin tapi tidak terang-terangan, dengan kasih sayang, bukan dengan kecaman. Kelima guru harus melaksanakan ilmunya, artinya perbuatannya tidak berlawanan dengan apa yang diajarkannya.
Selanjutnya karena hubungan guru-murid itu diumpamakan hubungan seorang ayah dengan putranya, maka sebagaimana layaknya anak-anak dari seorang ayah dalam suatu keluarga masing-masing dituntut untuk saling menyayangi dan saling tolong-menolong guna mencapai berbagai tujuan yang diidamkan. Demikian juga halnya dengan murid atau santri dari suatu lembaga perguruan yang sama dengan guru yang sama pula hendaknya bisa menciptakan suasana tersebut.
Semoga kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar ke Pesantren Darunnajah Jakarta dapat menginspirasi para pendidik menghidupkan kembali sikap dan sifat kebapakannya dalam mendidik putra-putrinya maksudnya murid-muridnya.
Comments are Closed