Kemana Arah Demokrasi Kita?
Pada suatu hari di salah satu hotel di Jakarta 14-11-23 saya ditanya oleh seorang teman yang duduk di hadapan saya, pertanyaannya sekitar politik sepertinya. “Bagaimana pak terkait Gibran?” saya mencoba menjawab dengan memilih diksi yang singkat tapi bisa mewakili pandangan secara lebih makro tentang politik Indonesia dewasa ini. Saya sampaikan: “saya kok melihatnya Indonesia sedang menuju ke Afrika ya, demokrasi kita berjalan menuju Afrika, bukan menuju wilayah-wilayah lain yang lebih demokratis. Itu analisis saya, sangat disayangkan. Untuk mempertahan kekuasaan, banyak negara yang memilih melakukan perubahan perundangan dan regulasi terkait.” Dengan jawaban itu sang penanya sepertinya membaca kalau saya tidak tertarik dengan topik Gibran, karenanya beliau tidak meneruskan diskusi topik ini dan mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain.
Rhenald Kasali (10 Des 23) mewawancara Burhanudin Muhtadi terkait isu yang sama, di antara pernyataan Muhtadi bahwa politik uang di Indonesia tertinggi di Dunia, namun secara persentase nomor 3 di dunia, 33.1 persen di bawah Uganda. Yang kemudian disela oleh Renald; ooh kita berbanding dengan negara-negara seperti itu, sebagai negara demokrasi yang kita harapkan sudah modern dan sudah siap tinggal landas.
Sampai di sini saya merasa dikuatkan dengan pernyataan Burhan dan Rhenald di atas. Setidaknya komen saya terhadap pertanyaan kawan yang duduk di hadapan saya itu tidak terlalu salah, bahwa negeri kita sedang mengarah pada model politik Afrika.
Walaupun Almas sang penggugat batasan usia capres mengaku tidak ada intervensi dari siapa pun, sebatas uji nyali keilmuan, namun apakah secara kebetulan atau bukan, hasil keputusan MK itu bisa langsung disambut dengan pencalonan Gibran. Ini menjadi sangat menarik banyak kalangan dan menghubungkannya dengan politik kekuasaan. Bagaimana tidak, yang mendaftar kebetulan juga sesuai dengan materi yang digugat, artinya jika materi itu tidak digugat, maka Gibran tidak bisa mencalonkan diri, namun berkat kemenangan gugatan Almas, ia bisa lolos. Yang menarik berikutnya karena dia juga salah seorang anak presiden yang sedang aktif bertugas. Kepolosan yang disampaikan Almas dengan begitu akan tetap menjadi pemicu opini masyarakat atas kemungkinan adanya intervensi, serta mengaitkan berbagai kenyataan satu sama lainnya.
Beberapa pertanyaan bisa saja muncul setelah pencalonan Gibran menjadi cawapres: Apakah gugatan sebagai media meloloskan bakal calon tertentu? Apakah ada intervensi kekuasaan dalam putusan? Apakah cawapres belia termasuk yang pandai membaca kondisi sehingga langsung pasang badan memanfaatkan putusan? Dan banyak pertanyaan lain yang bisa diajukan.
Sepertinya jawaban pertanyaan pertama lebih meluas dan cenderung diiyakan, ungkapan bahwa demokrasi kita menuju ke gaya Afrika, lebih berkonotasi tudingan akan kebenaran hal ini. Anjuran Presiden dalam berbagai kesempatan yang mengangkat isu kerukunan dan akur setelah pemilu yang sejak awal sudah dikumandangkan juga semakin memperkuat dugaan ada rencana ke arah sana. Artinya bangun dulu isi kesatuan dan kerukunan, kemudian berulah, lalu di akhir nanti menjadikan isu kerukunan itu menjadi media peredam jika ulahnya berhasil.
Sebenarnya akan elok perubahan konstitusi itu tidak berlaku dalam waktu untuk pemilu 2024 ini, dengan begitu akan menepis anggapan adanya rekayasa politik dan membuat gugatan Almas terkesan murni keilmuan tanpa intervensi. Apakah misalnya keputusan itu tidak langsung dimanfaatkan oleh pendaftar dengan kualifikasi sesuai batasan usia yang digugat atau dengan menunda sidang putusan gugatan sampai pada periode awal presiden terpilih 2024. Sehingga perjuangan konstitusinya Almas bisa dipersiapkan untuk masa pemilu mendatang, dan ada cukup waktu edukasi politik bagi masyarakat tentang penghargaan usia muda untuk maju ke panggung politik sejak dini.
Comments are Closed