Hari Guru Untuk Apa?
DI kalender ponsel saya pada 25 November tertulis Teacher’s Day, Hari Guru. Tanpa pengingat sukarela tersebut saya tidak pernah tahu kapan Hari Guru itu ada dan untuk apa juga mesti diingatkan. Setahu saya cuma mengajar dan mengajar sesuai jadwal, tidak juga terpikir itu dan ini.
Sejak masa purba, mungkin guru telah ada. Pada mulanya ibu kita mengajarkan bicara. Dimulai dengan vokal sederhana, menuntun pengucapan simbol bunyi sesuai dengan bahasa kita, kemudian menuntun cara berjalan, melatih, menggendong, menyuapi, dan seterusnya seperti yang pembaca rasakan dahulu.
Setelah ibu kita, ada juga anggota keluarga yang lain, seperti ayah, nenek, kakek, kakak, dan seterusnya. Mereka aktif memberikan pelajaran pokok yang sangat dibutuhkan. Mulai dari skilldan bahasa, selanjutnya berkembang dengan materi pelajaran.
Berikutnya tata krama. Mulai dikenalkan boleh dan tidak boleh, serta wajib dan tidak wajib. Dikenalkan juga ajaran-ajaran penyebutan doa-doa dan ayat-ayat dari kitab suci. Semuanya dilakukan dengan ikhlas, tanpa pamrih, dan berjalan secara alamiah. Sampai di sini, pekerjaan mengajarkan sesuatu, membimbing, mengarahkan, dan memelihara pertumbuhan anak yang dilakukan di keluarga, tidak disebut guru. Walaupun melakukan pekerjaan guru.
Setelah usia anak di atas 5 tahun, ketika para orang tua tidak lagi sanggup memberikan pelajaran secara lebih sistematis, entah karena kesibukan kerja atau karena alasan lain seperti keterbatasan pengetahuan atau bisa juga karena tradisi yang dibangun oleh regulasi negara, baru mereka mencarikan guru yang tepat untuk anak-anaknya.
Karena kehidupan pada masa-masa silam sangat bergantung kepada pemimpin yang memiliki otoritas terutama yang berhubungan dengan hubungan manusia dengan tuhannya, maka para guru biasanya diletakkan dengan kepemimpinan keagamaan.
Istilah guru dalam berbagai ensiklopedia seperti Encarta atau Britannica dijelaskan sebagai 1 dari 10 pemimpin pertama agama Sikhism. Dan muridnya disebut sikh. Setiap sikh adalah murid dari guru (pembimbing spiritual).
Sebelum Indonesia merdeka, ada sekolah Kweekschool. Satu jenjang pendidikan resmi untuk menjadi guru pada zaman Hindia Belanda.
Setelah Indonesia merdeka pada 1945, permasalahan yang dihadapi dalam pendidikan adalah pengadaan guru. Ketika sekolah dan madrasah mulai didirikan dengan jumlah kawasan yang sangat luas, ketersediaan guru menjadi perhatian.
Perkembangan selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak bangsa didirikanlah sekolah pendidikan guru, pendidikan guru agama, dan pendidikan guru olahraga. Sepertinya diilhami oleh model pendidikan masa penjajahan. Lalu pada era 1990-an sekolah pendidikan guru sudah tidak beroperasi lagi. Yang ada tinggal SMA dan SMEA serta Madrasah Aliyah.
Nasib guru di Era Reformasi
Masalah guru dengan gaji kecil juga menjadi perbincangan. Sehingga, Guru Umar Bakri karya Iwan Fals yang sangat populer itu dapat mewakili kondisi guru dan kondisi kehidupannya.
Sampai saat ini (Orde Reformasi) gaji guru honorer SD hanya berkisar antara Rp300 ribu hingga Rp1 juta per bulan. Informasi seperti ini bisa dengan mudah didapat dengan menanyakan kepada beberapa guru honorer yang ditemui atau kepala sekolah di berbagai tempat.
Guru di Orde Reformasi pada awalanya seperti akan mendapatkan perhatian terutama dari segi pendapatan. Hal ini tampak setelah UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang kemudian diikuti dengan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen hadir. Seakan memberi harapan bagi para guru.
Dalam aturan itu disebutkan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Kemudian pada Pasal 15 dan Pasal 16 disebutkan juga hak-hak guru. Di antaranya untuk mendapatkan tunjangan profesi bagi yang sudah tersertifikasi.
Beberapa guru terutama yang bernaung di bawah Kemendikbud sudah mendapatkan haknya, walau ada juga yang belum. Tunjangan profesi guru yang sedianya disebutkan besarannya satu kali gaji pokok, cukup menghebohkan dan dapat dinikmati oleh sebagian guru yang sudah tersertifikasi.
Ini pun dalam perjalanannya tidaklah mulus. Bahkan dalam RUU Sisdiknas yang dibatalkan Baleg DPR beberapa bulan lalu, terlihat akan dihapus. Kecuali bagi mereka yang sudah berjalan sebagai penerima tunjangan profesi guru (TPG).
Lain halnya dengan para guru honorer karena gaji pokoknya juga tidak jelas. Seperti yang terjadi pada guru di bawah naungan Kementerian Agama. Biasanya dipukul rata dengan nominal Rp1,5 juta saban bulan.Itu pun bisa cair bisa tidak. Karenanya tidak bisa dijadikan sebagai penghasilan bulanan yang tetap.
Adapun honorer yang tidak mendapatkan TPG diberikan insentif sebesar Rp250 ribu per bulan. Bahkan ada yang lebih menarik lagi di tahun 2022 ini. Salah satu direktorat di satu kementerian membatalkan SK Pencairan TPG bagi guru untuk dialihkan kepada yang lebih penting.
Pilu di Hari Guru
Jadi, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 78 Tahun 1994, yang menetapkan tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional, termasuk sangat menyedihkan. Apalagi jika dihubungkan dengan kasus terakhir seperti paragraf di atas.
Dengan rasa pilu saya tetap mengatakan selamat Hari Guru Nasional. Tetaplah menjadi guru profesional dengan tidak terhambat oleh berbagai persoalan material dan pendapatan. Sebagaimana kedua orang tua kita yang tetap mengajari kita tanpa disebut guru dan tanpa pamrih. Secara alamiah mereka terus menjalankan tugas dan perannya.
Seraya berdoa dan berkeyakinan, tidak ada amal dan tindakan kita yang gratis di mata Tuhan, karena Allah tidak menyia-nyiakan pahala bagi orang-orang baik.[]
Sumber: https://www.medcom.id/pilar/kolom/nbwDZ1Ek-hari-guru-untuk-apa
Comments are Closed