Membangun Wibawa Sekolah
M. Tata Taufik
Mengawali tulisan ini saya akan bercerita sedikit pengalaman, pada tahun 2002 penulis diminta ceramah maulid di suatu SLTA, ketika penulis hendak menyampaikan ceramah, suasana gaduh dan tidak teratur siswa sangat mengganggu, sampai kepala sekolah berteriak-teriak meminta supaya siswa diam dan mendengarkan ceramah. Al-hasil upaya kepala sekolah pun tidak berhasil dengan baik. Ini mungkin pengalaman pertama dalam penyampaian ceramah saya mendapatkan kondisi tersebut. Lalu pada tahun 2013 tepatnya 1 Februari lalu, penulis diminta juga menyampaikan ceramah oleh salah satu SLTA dengan kegiatan yang sama, peringatan maulid. Sebelum ceramah yang terbayang oleh penulis adalah bad story 11 tahun yang silam.
Dalam kenyataan pra kondisi yang disaksikan menunjukkan ada kesamaan dengan kondisi 11 tahun yang silam di sekolah yang berbeda. Hal itu terlihat ketika sambutan atas nama kepala sekolah, direspon dengan riuh gemuruh siswi dan tepuk tangan serta siulan. Dari informasi yang didapat beberapa guru yang ditemui menyatakan pengalaman yang sama, dengan satu ungkapan: “Dikirain saya saja kang, saya juga mengalami begitu” tentu saja di sekolah yang berbeda. Sementara guru yang mengundang penulis memberikan gambaran kondisi siswa yang relatif sulit untuk diatur, dengan mengajukan pesan sponsor agar berbicara tentang akhlak dan menghormati guru. Menurut pengakuannya para siswa akan lebih asyik berdiskusi tentang kelompoknya mungkin maksudnya “peer group” ketimbang menyimak apa kata guru mereka.
Sambil memperhatikan jalannya acara dari awal, penulis memikirkan strategi apa yang dipakai supaya audienyang mayoritas para siswa itu bisa terkuasai. Strategi tersebut ternyata berhasil dan penyampaian materi bisa berjalan dengan baik.
Adapun strategi yang saya siapkan dalam menghadapi khalayak seperti itu, pertama setelah menyampaikan salam dan pembukaan, saya sampaikan kepada para siswa bahwa saya mendapat mandat dari kepala sekolah untuk menyampaikan “pesan” dalam rangka peringatan maulid, artinya waktu sekarang milik saya. Kedua, saya minta kepada seluruh siswa, yang ada di pojok-pojok dan pinggiran Gedung sekolah semuanya supaya maju dan mengisi tempat yang sudah disediakan. Setelah mereka berada pada posisi yang tepat, lalu saya awali dengan cerita tentang diri saya pada saat seusia mereka. Strategi ini sengaja dipilih bukan tanpa alasan, tyjyannya tiada lain utuk membangun suasana interaktif dengan khalayak pendengar serta membangkitkan rasa ingin tahu (curiosity) mereka. Sadar bahwa memulai suatu presentasi dengan bercerita – storytelling— adalah strategi no 15 yang ditulis Tate dalam langkah-langkah untuk menumbuhkan sel-sel otak para pemirsa saat mengikuti presentasi. (Tate, 2012).
Ceritanya begini, pada saat saya seusia kalian, saya ditanya oleh wali kelas, apa cita-cita kamu Ta? Saya jawab dengan sedikit diplomatis; cita-cita saya ingin agar pembicaraan saya didengar. Cita-cita kok begitu komentar wali kelas tersebut. Iya, jawab saya, saya ingin agar pembicaraan saya didengar, di kalangan keluarga, di kalangan Rt, Rw, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, Nasional dan bahkan Internasional. Mendengar jawaban itu wali kelas saya tersenyum-senyum. Kemudian saya minta kepada para siswa SLTA tersebut mohon bantuannya agar saya dapat mewujudkan cita-cita itu. Lalu saya tanyakan apa cita-cita saya? Secara serempak mereka menjawab: Ingin pembicaraannya didengar. Kemudian saya ulangi pertanyaan itu, sekali lagi dengan serentak mereka menjawab: Ingin pembicaraannya didengar. Ya, bantulah saya untuk mencapai cita-cita tersebut, jawab saya.
Selanjutnya saya sampaikan dengan cita-cita yang aneh dan sederhana ini, alhamdulillah saya bisa seperti sekarang ini, saya didengar di keluarga, di lingkungan RT, Rw, Desa, Nasional bahkan Internasional; bermodal dari cita-cita itu saya bisa berbicara pada skala regional, seperti mengisi berbagai pelatihan atau seminar, skala Nasional dan Internasional dalam berbagai seminar dan symposium, saya bisa bicara di Amerika, dan kegiatan-kegiatan internasional yang diadakan di dalam negeri –waktu itu baru Amerika yang penulis kunjungi– Saya tanyakan lagi apa cita-citanya tadi? Ingin didengar jawab mereka kompak. Suasana pun menjadi kondusif dan ceramah bisa disampaikan dengan lancar, tertib dan terkendali sampai akhir acara. Di akhir ceramah penulis minta agar tidak usah undang saya lagi sampai sekolah ini maju, kalau sudah maju baru boleh mengundang saya. Kini penulis perhatikan banyak kemajuan dan prestasi yang dicapai sekolah tersebut dilihat dari pantauan statusnya di media sosial. (Ceramah Maulid, 2013)
Berangkat dari dua pengalaman ini –kegagalan komunikasi publik pada pengalaman pertama, dan keberhasilan komunikasi pada pengalaman kedua—menginformasikan kondisi persekolahan yang ditemui penulis, bisa dilihat bahwa permasalahan utama yang dihadapi sekolah tersebut adalah persoalan wibawa; terlihat dari gambaran yang disampaikan para guru serta situasi yang terjadi pada suatu event menunjukkan kemiskinan wibawa tersebut. Suatu kondisi yang patut mendapat perhatian secara lebih serius dalam konteks penyelenggaraan pendidikan.
Keluhan Sang Guru:
Pertanyaannya bagaimana kegiatan pembelajaran akan bisa efektif dan berdaya guna jika kondisi sekolah belum bisa mencerminkan siapa-memengaruhi siapa, siapa mengajar siapa dan siapa mengatur siapa? Lebih parah lagi jika guru masabodoh terhadap kondisi tersebut dan tidak melakukan perubahan apa pun.
Kenyataan ini memang bisa dengan mudah dilemparkan kepada orang tua murid, dengan menganggap bahwa mereka tidak peduli terhadap anaknya, mereka sibuk, bahwa anak-anak di rumah tinggal tanpa orang tua, karena orang tua mereka jauh di rantau. Tapi bukankah kondisi itu masih bisa dipandang sisi positifnya, misalkan bahwa mereka (para orang tua murid) telah memberikan kepercayaan kepada guru ketika mereka memasukkan anaknya ke sekolah? Tapi ternyata itu pun tidak bisa dianggap mudah, sebab kepercayaan orang tua terhadap guru juga demikian lemah, coba simak pernyataan dari seorang guru yang dimuat CNN ini:
We are educators, not nannies. We are educated professionals who work with kids every day and often see your child in a different light than you do. If we give you advice, don’t fight it. Take it, and digest it in the same way you would consider advice from a doctor or lawyer. I have become used to some parents who just don’t want to hear anything negative about their child, but sometimes if you’re willing to take early warning advice to heart, it can help you head off an issue that could become much greater in the future. (Clark, 2013).
Kami adalah pendidik, bukan pengasuh. Kami adalah profesional terdidik yang bekerja dengan anak-anak setiap hari dan sering melihat anak Anda dengan cara yang berbeda dari Anda. Jika kami memberi Anda saran, jangan melawannya. Ambillah, dan cerna dengan cara yang sama seperti Anda akan mempertimbangkan saran dari dokter atau pengacara. Saya telah terbiasa dengan beberapa orang tua yang hanya tidak ingin mendengar sesuatu yang negatif tentang anak mereka, tetapi kadang-kadang jika Anda bersedia untuk mengambil nasihat peringatan dini, itu dapat membantu Anda mencegah masalah yang bisa menjadi jauh lebih besar di masa depan. Ungkapan ini dicetuskan oleh Ron Clark, seorang guru yang dinobatkan sebagai teacher of the year di Atlanta.
Kondisi umum yang banyak juga dikeluhkan guru adalah sekitar protes orang tua murid seperti kurang percaya terhadap informasi yang diberikan guru kepada orang tua, kadang-kadang ketika orang tua diberi tahu bahwa anak mereka memiliki masalah perilaku, bisa terlihat amarah mereka naik dan siap untuk melawan dan membela anak mereka, dan itu melelahkan. Misalnya ketika memberi tahu seorang ibu tentang sesuatu yang dilakukan putranya, dia berbalik, menatapnya dan bertanya, “Apakah itu benar?” Lalu mencari konfirmasi kepada teman-temannya, sutau tindakkan yang dapat merendahkan guru dan melemahkan kemitraan antara guru dan orang tua. Demikian juga dengan guru yang memberikan nilai rendah, dengan tujuan untuk meningkatkan pencapaian yang diharapkan, secara jujur sebetulnya itu merupakan guru yang benar. Tapi ketika itu terjadi pada anak mereka, orang tua akan mengadukan hal itu kepada kepala sekolah.
Di negara kita juga banyak kasus yang ditemui yang menggambarkan perlakuan terhadap guru oleh orang tua. Contoh yang menurut penulis tidak mudah dilupakan, ketika guru Pembina OSIS di SMP 4 Wado Sumedang dilaporkan kepada yang berwajib hanya karena menghukum siswanya dengan jalan merangkak saat latihan Paskibra di tahun 2004an. Kejadian in tentu saja membuat guru menjadi serba salah dalam mendidik, sekaligus merupakan gambaran umum lemahnya pemahaman para orang tua murid terhadap proses pendidikan, dan disisi lain akan melahirkan sikap guru yang serba takut dalam melangkah. (Taufik M. , 2004).
Ditambah lagi cerita Clark yang dimuat CNN, dia mengisahkan pertemuannya dengan seorang kepala sekolah: Musim panas ini, saya bertemu dengan seorang kepala sekolah yang baru-baru ini dinobatkan sebagai administrator tahun ini di negara bagiannya. Dia dicintai dan dipuja oleh semua orang, tetapi dia mengatakan kepada saya bahwa dia akan meninggalkan profesinya. Saya sampaikan, “Kamu tidak bisa meninggalkan kami,” dan dia dengan blak-blakan menjawab, “Dengar, jika saya mendapat tawaran untuk memimpin sistem sekolah anak yatim, saya akan menjalaninya sampai selesai, tetapi saya tidak bisa berurusan dengan orang tua.
Sayangnya, sentimen ini tampaknya menjadi semakin umum, lanjut Clark, saat ini, guru tetap dalam profesi kami rata-rata hanya 4,5 tahun, dan banyak dari mereka mencantumkan “masalah dengan orang tua” sebagai salah satu alasan mereka menyerah. Kata-kata menyebar, dan semakin banyak hal negatif yang diterima guru dari orang tua, semakin sulit untuk merekrut yang terbaik dan terpintar dari perguruan tinggi. Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk membendung air pasang? Apa yang benar-benar perlu dipahami oleh para guru? (Clark, 2013)
Artinya tantangan menghadapi orang tua demikian sulitnya, tapi menjaga kewibawaan sekolah juga perlu, menjadi guru secara profesional juga harus. Sementara hak rasa aman yang terecantum dalam berbagai konstitusi tentang guru kurang begitu popular di mata masayarakat. Hal ini tentu saja memerlukan pembahasan lain yang lebih serius –tidak mngkin penulis bahas pada kesempatan ini– dalam konteks pendidikan secara umum, termasuk pendidikan di negara kita.
Pengertian Wibawa
Apa itu wibawa? Beberapa peserta pelatihan diminta menuliskan satu kata yang menunjuk pada wibawa. Dari kata-kata yang mereka tulis antaranya; citra, kesan, aura, penampilan, pengaruh, nama baik, penguasaan, rapi, martabat, pembawaan, kehormatan. Benar kata-kata tersebut semua terkait dengan wibawa. Secara lebih jelas medan makna wibawa dapat dilihat pada bagan berikut.
Figure 1 Medan Makna Wibawa
Dalam KBBI disebutkan bahwa wibawa adalah pembawaan untuk dapat menguasai, memengaruhi, dan dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik. Berwibawa berarti mempunyai wibawa sehingga disegani dan dipatuhi. (Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2016).
Kata wibawa sebagaimana pada bagan di atas paling sedikit berkaitan dengan enam hal: Pertama mengandung arti prestise; rasa hormat dan kekaguman yang meluas dirasakan untuk seseorang atau sesuatu atas dasar persepsi pencapaian atau kualitas orang atau sesuatu tersebut. Kedua penghormatan/penghargaan; rasa hormat, dan martabat yang dimiliki seseorang –pendapat/kesan yang baik tentang dirinya. Ketiga wibawa juga berkaitan dengan otoritas; seseorang atau organisasi yang memiliki kekuasaan atau kendali dalam bidang tertentu, biasanya politik atau administratif. Keempat mengandung arti status atau kedudukan di mata orang banyak karena prestasinya. Kelima berarti diperhitungkan orang, dan keenam berpengaruh, artinya mampu memengaruhi orang lain.
Seorang yang berwibawa berarti dia orang yang disegani, dihormati, dihargai, dikesankan baik, memiliki otoritas atau kekuasaan, memiliki status yang tinggi dan diperhitungkan serta berpengaruh bagi sekelilingnya. Demikian juga halnya dengan sekolah, sekolah berwibawa jika disegani, dihormati, dan diperhitungkan serta memiliki status tersendiri di mata para usernya, dalam hal ini masyarakat.
Pertanyaan berikutnya siapa yang berwibawa? Menjawab pertanyaan ini kalau diinventarisir sedikitnya ada lima bagian yang satu sama lainnya saling memengaruhi; Kepala Sekolah, guru, tenaga kependidikan, siswa dan terakhir sekolah sebagai lembaga. Kepala sekolah sesuai dengan pengertiannya adalah guru juga, a teacher who is in charge of school atau guru yang memimpin suatu sekolah; guru kepala. Dalam Permen Dikbud disebutkan: Kepala Sekolah adalah guru yang diberi tugas untuk memimpin dan mengelola satuan pendidikan yang meliputi taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), atau Sekolah Indonesia di Luar Negeri. (Mendikbud, 2018).
Sebagai pemimpin suatu lembaga kepala sekolah dituntut untuk memiliki wibawa di lingkungan kerjanya. Sebagaimana yang telah dikemukakan di muka, bahwa persoalan wibawa yang merupakan rangkuman akhir dari berbagai sifat yangh harus dimiliki seseorang dalam menjalankan kepemimpinan maka tak bisa tidak ia harus berwibawa. Terlebih lagi bahwa asfek kewibawaan ini menjadi salah satu kompetensi kepribadian yang harus dimiliki seorang guru, apa lagi kepala sekolah yang bertugas memimpin para guru.
Kata wibawa mengandung arti pembawaan untuk dapat menguasai dan memengaruhi orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik. Seorang disebut berwibawa jika ia disegani dan dipatuhi. Jadi medan makna kata “wibawa” erat sekali dengan kepemimpinan, tingkah laku, daya tarik, kepatuhan dan rasa segan, hal ini pula bisa dijadikan alat ukur kewibawaan.
Guru juga harus memiliki wibawa untuk bisa sukses menjalankan tugasnya sebagai pengajar di suatu sekolah. Bagaimana bisa menguasai kelas dan menyampaikan tugas dengan baik jika tidak didukung oleh wibawa? Faktor menguasai kelas, memimpin kegiatan belajar dan menjalankan berbagai intruksi membutuhkan kekuatan lain yang melekat pada diri seorang guru, kekuatan tersebut dinamakan wibawa.
Mengenai wibawa guru dalam pendidikan merupakan pra syarat mutlak yang harus dimiliki guru, dalam berbagai teori pendidikan senantiasa mencantumkan wibawa sebagai sifat yang harus dimiliki guru. Sebagai penjabaran dari UU No 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen pasal 10 ayat 1, Permendiknas Nomor 16 TAHUN 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Guru pada point 13 dari Kompetensi Kepribadian dinyatakan sebagai berikut: “Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa.”
Berkaitan dengan hal ini poling yang diberikan kepada para peserta pelatihan kepala sekolah saat diajukan pertanyaan; “mana yang paling berperan secara individu dalam menjalankan tugas anda.” 16% menyatakan pribadi mantap, 13% stabil, 31% dewasa, 16% pribadi arif dan berwibawa 25%. Dari semuanya itu sebetulnya bisa disatukan dalam satu pernyataan “berwibawa.”
Selain kepala sekolah dan guru, tenaga kependidikan juga dituntut untuk tampil sebagai poribadi yang berwibawa, sehinga bebagai aturan yang berkaitan dengan tata kelola dan menjerial yang berada dalam kekuasaannya bisa berjalan dengan baik sesuai harapan atau aturan yang berlaku di sekolahnya.
Pada gilirannya para siswa juga diharapkan memiliki wibawa di mata teman-temannya, tingkat yang paling atas berwibawa di hadapan adik-adik kelasnya, dan begitu seterusnya sesuai jenjang tingkatan siswa tercipta suasana yang penuh kewibawaan. Jika dalam lingkungan internal sekolahnya para siswa sudah berwibawa, dan informasi itu menyebar di kalangan sekolah lain, maka pada tahap tertentu, siswa sekolah tersebut juga akan berwibawa di mata siswa sekolah lainnya.
Selanjutnya sekolah juga harus memiliki wibawa, ia merupakan buah dari kewibawaan semua komponen warga sekolah yang terlibat. Wibawa sekolah akan naik di kalangan lembaga yang semisal bila semua yang terlibat sudah berwibawa.
Tingkatan wibawa pada lingkungan sekolah dapat digambarkan sesuai dengan peran dan fungsinya dalam Lembaga, ada yang sangat berperan dan berpengaruh sehingga bisa menciptakan wibawa mereka yang berada di bawahnya, dalam hal in tentu saja yang memiliki otoritas dan prestasi serta berperan sebagai pemimpin menjadi sangat dominan. Gambar berikut dapat memvisualkan bagaimana wibawa bisa mengalir dari satu tingkatan kepada lainnya:
Figure 2 Tingkatan Wibawa
Artinya Kepala sekolah memiliki porsi yang lebih luas untuk bisa membangun wibawa secara keseluruhan dari warga dan lembaga yang dipimpinnya. Kepala sekolah yang berwibawa bisa mentransfer wibawanya kepada para guru dan tenaga kependidikan yang ada di lingkungan kerjanya, kemudian semakin menurun akan merembes kepada para siswa yang pada akhirnya sekolah juga akan berwibawa.
Menciptakan Wibawa
Ada yang luput dari perhatian kita, Ketika berbicara wibawa, sering kali kita hanya tertuju pada guru atau perorangan, tidak pernah dihubungkan dengan Lembaga atau sekolah, padahal wibawa Lembaga juga sangat penting untuk dibicarakan.
Pada suatu pelatihan kepala SMA ditanyakan tentang judul ini apakah perlu pembahasan? Jawaban mereka menyatakan tertarik dan perlu 60% dan sangat tertarik dan perlu sekali 40%. Apa komentar para peserta pelatihan saat diminta kesan mereka pada waktu memasuki gerbang sekolah pertama kali, Ketika mereka mau mendaftar sekolah.
Ketika masuk ke suatu gerbang sekolah apa yang dirasakan? Kalau sekolahnya bagus kagum, karena suasananya. Fisik bangunan menunjukkan ada pengelolaan yang baik, kagum dan kepercayaan. Demikian seorang pe (Al-Jarnuji) (الغزالي)serta menyatakan perasaannya. Peserta lain mengisahkan; ketika masuk ke SPG saya merasa takut, takut tentang disiplin, karena banyak tulisan-tulisan tentang disiplin. Sementara peserta lain lagi bertutur; ketika masuk sekolah itu timbul banyak pertanyaan ada apa saja di sekolah ini, lulus apa tidak ya ketika dites. Ketika masuk gerbang saya pikirkan bagaimana sambutan dari personil sekolah tersebut, apakah jutek-jutek atau tidak? Kalau jutek gak jadi daftar, cari sekolah yang lain. Demikian tutur peserta lainnya. Ada lagi yang menyatakan kagum, oh ini ya sekolah favorit, banyak ornamen kuno yang terpampang. Ini sekolah mumpuni untuk yang mau belajar dan banyak prestasi dan gurunya kebapakan dan keibuan, sekolah itu wah, bayaran murah dan kualitasnya bagus. Dan banyak lagi cerita tentang pengalaman pertama para guru saat mereka masuk ke gerbang sekolah saat mendaftar dulu.
Dari berbagai kisah tersebut sudah dapat diketahui bahwa sekolah telah mendapat penghargaan dan penilaian tersendiri di mata para calon siswanya. Jadi pada dasarnya sekolah sudah memiliki modal awal, sebetulnya sekolah itu sudah punya wibawa, karena berbagai alasan seperti favorit, ornamennya bagus, bangunannya bagus, sambutannya ramah, mumpuni, prestasi, wah, karena informasi yang didapat menilai Lembaga itu sangat wah, sangat berperan dan bisa menjanjikan profesi dan lain sebagainya. Masalahnya tinggal apakah wibawa itu bisa naik atau menurun, itu tergantung para pengelolanya.
Kegiatan membangun wibawa adalah kegiatan membangun opini public (public opinion) sehingga publik memiliki gambaran utuh tentang Lembaga yang kita kelola. Apa yang ditampilkan dari kisah pertama memasuki gerbang sekolah di atas adalah proses analisis dari gambaran di kepala masing-masing kita dikaitkan dengan kondisi dunia luar diri kita. Ciri-ciri dunia di luar yang ada hubungannya dengan perilaku manusia lain, sejauh perilaku itu melintasi kita, tergantung pada kita, atau menarik bagi kita, kita sebut urusan publik. Gambar-gambar di dalam kepala manusia ini, gambar diri mereka sendiri, orang lain, kebutuhan, tujuan, dan hubungan mereka, adalah opini publik mereka. (Lipman, 1922).
Analisis kemudian berubah dari keterbatasan eksternal yang kurang lebih ini menjadi pertanyaan tentang bagaimana tetesan pesan dari luar ini dipengaruhi oleh gambar yang tersimpan, prasangka, dan prasangka yang menafsirkan, mengisinya, dan pada gilirannya dengan kuat mengarahkan permainan perhatian kita, dan visi kita sendiri. Dari sini ia melanjutkan untuk memeriksa bagaimana dalam individu pesan terbatas dari luar, dibentuk menjadi pola stereotip, diidentifikasi dengan kepentingannya sendiri saat ia merasakan dan memahaminya. Pada bagian berikutnya ia meneliti bagaimana pendapat dikristalisasi menjadi apa yang disebut Opini Publik, bagaimana Kehendak Nasional, Pikiran Kelompok, Tujuan Sosial, atau apa pun yang Anda pilih untuk menyebutnya, terbentuk. (Lipman, 1922).
Ya, opini publik inilah yang akan kita bangun tentang sekolah kita, tentang bagaimana gambaran sekolah kita di kepala setiap individu yang memasukinya, melihat dan menilainya, kemudian dikembankan dengan memberikan “informasi luar” kepada setiap individu tersebut sehingga terbentuk opini publik bahwa sekolah kita itu bagus dan berwibawa. Ada beberapa Langkah yang bisa ditempuh dalam membangun wibawa ini.
Pertama, membangun opini publik dengan menciptakan suasana kinerja yang maksimal, dimulai dari kepala sekolah, guru dan terus akan menyebar kepada yang ada di bawahnya. Sekolah yang berwibawa adalah produk guru berwibawa, atau sebaliknya, guru akan menyesuaikan pribadinya dengan wibawa sekolah. Ini sebuah lingkaran yang saling memengaruhi satu sama lain. Jika sekolah sudah berwibawa sebelumnya maka guru yang bergabung dengannya akan menyesuaikan dengan wibawa sekolah serta aturan main yang ada pada sekolah tersebut, karena kalau tidak maka ia akan “menyendiri” tanpa bisa berbuat apa-apa. Demikian juga sebaliknya jika sekolah belum berwibawa para guru yang berwibawa akan dapat membentuk sekolah itu menjadi berwibawa pula.
Kinerja maksimal ini harus bisa dirasakan dan digambarkan oleh “orang lain” yang melihat dan menyaksikan sepak terjang mereka. Sehingga tercipta “gambar di kepala” mereka tentang apa yang mereka saksikan sesuai dengan penilaiannya masing-masing. Gambar-gambar tersebut kemudian dibantu dengan sejumlah informasi yang diberikan sekolah kepada mereka, misalkan tentang prestasi sekolah, disiplin dan tata tertib sekolah yang dipatuhi, juga dengan beberapa informasi tentang penegakkan disiplin yang ada di sekolah. Hal in sangat berarti karena kondisi “dalam” sekolah bisa diketahui dengan melihat tata tertib dan disiplin pelaksanaannya. Kepala sekolah misalkan dengan timnya memantau dan menguasai semua gerak-gerik yang ada di sekolah, termasuk siswa dan guru dalam rangka menciptakan disiplin sekolah, dengan semangat perbaikan/islah terhadap berbagai persoalan yang dihadapi.
Sementara ini memang ada anggapan salah tentang disiplin yang kadang memengaruhi kebijakan sekolah, misalnya dengan memberikan kelonggaran akan menambah jumlah siswa, ada juga, bisa juga karena kesalahan dalam memahami arti “demokrasi” dalam pembelajaran, atau karena unsur kemanusiaan seperti secara klasik diungkapkan dengan bahasa “kasihan” yang bukan pada tempatnya. Padahal yang dikhawatirkan itu kadang terjadi sebaliknya.
Pada akhir semester dua seusai pelaksanaan UN penulis mendapat telepon Dario seorang teman, dia mengadu kepada saya bahwa siswanya 40% tidak lulus UN, bagaimana ini nasib sekolah saya, keluhnya. Kemudian saya jawab: Tenang saja, para wali murid justru akan lebih menghargai Lembaga Pendidikan seperti itu. Logikanya Ketika semua sekolah para siswanya dinyatakan lulus UN semua, lalu didapati sekolah yang ada siswanya tidak lulus, mereka akan “berpikir ada apa dengan sekolah ini?” Dan pasti pandangan menjadi positif, percayalah pada saya. Kemudian apa yang terjadi, ternyata benar, saat penerimaan siswa baru, ternyata jumlah pendaftar menjadi lebih banyak dari sebelumnya, dan kejadian UN itu tidak memengaruhi apa-apa saat pendaftaran. Atau bisa juga diartikan bahwa kepercayaan terhadap sekolah tersebut tidak terganggu oleh hasil UN, bahkan bertambah.
Bertambahnya kepercayaan ini karena telah terbangun opini publik yang baik tentang sekolah tersebut, sehingga apa yang biasanya dipandang negative –seperti kasus kelulusan UN—justru malah dipandang positif, misalnya berarti pelaksanaan ujiannya benar atau penilaian lain karena melihat sisi lain dari sudut kegiatan atau keunggulan lainnya.
Kedua menciptakan sekolah yang teratur, seorang praktisi pendidikan menyatakan begini: “ciri-ciri sekolah yang teratur adalah jika guru masuk kelas, anak-anak sudah siap, duduk dengan rapih di kursinya masing-masing, jika guru berbicara, para siswa mendengarkan dengan seksama, jika ditanya guru mereka menjawab dengan semangat, semua gerak di sekolah bisa dilakukan dengan mudah cepat dan rapih.” (Zarkasyi I. , 1980).
Gambaran sekolah ideal seperti ini mencerminkan terwujudnya wibawa sekolah dengan baik. Namun kondisi seperti ini tidak bisa diwujudkan dengan cuma-cuma tanpa ada usaha keras dari team sekolah yang paling dominan dalam hal ini adalah kepala sekolah dan guru. terlalu jauh jika menghubungkan –melemparkan masalah– penciptaan kondisi, budaya dan wibawa sekolah kepada tingkatan yang ada di atasnya seperti sistem pendidikan, pengawas sekolah serta regulasi, karena walaupun ia berperan, justru sistem telah memberikan mandat kepada team sekolah untuk menciptakan kondisi tersebut, untuk itulah sebuah team dibentuk.
Figure 3 Manfaat Disiplin
Sekolah yang memiliki peraturan tegas yang dibuat dan dirumuskannya bersama komite kemudian dilaksanakan dengan sepenuh hati akan membuat sekolah tersebut berwibawa. Berwibawa di hadapan orang tua siswa dan berwibawa juga di hadapan para siswanya. Kalau diamati secara mendalam tampaknya faktor wibawa sekolah ini kurang mendapat perhatian dari team pengelola sekolah. Ini terbukti ketika berhadapan dengan orang tua murid atau dengan ancaman siswa, peraturan cenderung dilunakkan, akibatnya tidak jelas lagi siapa mengatur siapanya.
Ketiga menjaga wibawa sekolah yang sudah melekat pada diri peserta didik atau siswa sejak awal mereka menginjakkan kakinya di lingkungan sekolah. Seperti telah diungkapkan di awal bahwa pada dasarnya sekolah telah berwibawa di mata para siswanya sejak, sisanya tingal memelihara kewibawaan tersebut agar tidak tercerabut dari pandangan para siswa, tentu saja dengan mempertahankan kebiasaan baik yang sudah dimiliki sekolah dan selalu meningkatkannya. Dengan kata lain jangan sampai para siswa kurang percaya terhadap sekolahnya.
Keempat, bermula dari kepedulian semua pihak, untuk memupuk kewibawaan guru supaya proses pendidikan memiliki aoutput dan outcome yang diharapkan. Kalau diamati secara lebih jeli, tampak bahwa “wibawa” akan dimiliki seseorang apa bila dia peduli dan tanggap terhadap persoalan-persoalan yang berhubungan dengan tugas dan profesinya. Seorang guru akan dapat memimpin anak didiknya, membina dan mengarahkan jika ia tanggap dan peduli terhadap persoalan yang menimpa (dilakukan) anak didiknya, tanggap terhadap sekeliling terutama terkait disiplin waktu/ ketepatan kehadiran/ guru, siswa dan lainnya.
Dalam komunitas pendidikan siapa yang paling banyak menegur, menyapa, mengarahkan dan memperhatikan apa yang dilakukan siswa-siswinya, ia akan lebih didengar dan dipatuhi ketimbang yang bersikap acuh dan masa bodoh. Semakin banyak didapat sesuatu yang bermakna darinya maka akan semakin terbuka juga jalan baginya untuk dipatuhi dan disegani. Dalam hal ini hendaknya para siswa diasumsikan sebagai sosok yang siap menerima ajakan dan arahan positif dari gurunya, jika memang ditemui persoalan yang menunjukkan bahwa siswa berperilaku anti aturan dan tidak kooperatif, sebaiknya disikapi dengan pendekatan proses, dengan pendekatan yang intensif niscaya sikap penolakan tersebut akan memudar dan berganti dengan sikap kooperatif. Mengingat bahwa istilah guru secara bahasa berarti pemimpin kegamaan –berasal dari bahasa India, dapat juga diartikan sebagai orang yang sangat berpengaruh dalam bidang tertentu.
Figure 4 Kriteria Sekolah Baik
Kelima menciptakan budaya sekolah yang menjadi ciri khas dari sekolah kita, budaya sekolah bisa dirumuskan Bersama dengan para gurtu dan user, memuat tentang tradisi apa yang akan dikembangkan di sekolah, bisa saja dimulai dengan tergur-sapa, tata kelola kebersihan dan perilaku hidup bersih, tata cara masuk kelas, pakaian serta hal-hal lain yang berhubungan dengan karater yang ingin dihasilkan. Bagaimana awal kedatangan siswa, penyambutan guru, bagaimana cara duduk di kelas, bagaimana saat upacara, kegiatan dan acara-acara dalam kegiatan tersebut, dan lain sebagainya.
Membangun budaya sekolah sebenarnya termasuk kemahiran berpikir tingkat tinggi juga, karena di situ ada penciptaan tradisi baru, misalkan tradisi berpakaian rapi, atau berambut rapi. Tradisi ini akan dirasa berat bagi yang sebelumnya memiliki tradisi yang berbeda, bisa dikategorikan HOTS bagi siswa, karena dia akan belajar mengambil keputusan, keputusan untuk mengganti tradisi lamanya dengan tradisi baru yang dibangun di sekolah, atau atas arahan sekolahnya. Menmgenai kekuatan tradisi (kebiasaan) tidak diragukan lagi, kebiasaan bisa membuat seseorang melakukan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu, ia akan secara otomatis melakukannya tanpa ada rasa berat atau enggan (Duhigg, 2012)
Keenam mengatur pola hubungan guru-murid; pendidik masa klasik memiliki cara sendiri untuk mengatur pola hubungan guru-murid. Misalkan sebelum lebih jauh melangkah dalam proses transfer pengetahuan, mereka mengajarkan terlebih dahulu pedoman pergaulan antara guru-murid, sebut saja buku Ta’lîm al-Muta’alim yang berisi tata kelakuan murid terhadap guru dan tata cara mempelajari ilmu. (Al-Jarnuji).
Seperti halnya al-Gozli juga memandang perlu menuliskan adab al-mu’ta’alim dan adab al-mu’alim (kode etik murid dan kode etik guru) di bagian awal bukunya yang populer Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn. Dari sepuluh poin tentang kode etik murid misalnya dia menyatakan bahwa murid harus tidak sombong terhadap guru dan patuh atas apa yang diperintahkannya.
Adapun dari sudut kode etik guru ada delapan poin yang diajukan Gozali, dalam konteks tulisan ini dapat dikemukakan tiga di antaranya: pertama seorang guru mengajar harus dengan cinta dan kasih sayang, menganggap anak didik sebagai anaknya sendiri. Kedua harus senantiasa memberi nasihat terhadap muridnya. Ketiga senantiasa mengingatkan dan memberi sangsi terhadap murid yang melanggar aturan serta berperilaku kurang baik dengan teguran yang menyenangkan, tidak mencemoohnya atau memakinya dengan teriakan. (الغزالي)
Belajar dari para pendidik klasik tersebut tampaknya perubahan paradigma dalam pendidikan harus mulai diubah dengan menjadikan para siswa sebagai pusat perhatian para pendidik yang berwibawa; children ore our business.
Ketujuh membangun hubungan dan komunkasi yang baik dengan wali murid. Ini sangat penting terutama berkautan dengan sosialisasi tata tertib dan disiplin sekolah. Dengan adanya pemahaman wali murid yang baik terhadap tata tertib dan disiplin sekolah, kita bisa memohon dukungan mereka ungtuk menjalankan disiplin tersebut; agar mereka senantiasa mengingatkan putra-putrinya untuk taat aturan sekolah.
Dengan beberapa tahapan di atas kini sekolah kita siap menjadi yang terbaik dan berwibawa, berwibawa bagi guru-guru, bagi tenaga kependidikan, bagi siswa dan masyarakat penggunanya secara khusus, dan bagi masyarakat luas secara lebih umum lagi. Kini sekolah kita akan mendapatkan gelar “sekolah fafvorit.” Dan diidamkan orang banyak. Sekolah yang berwibawa akan menjadi destinasi belajar, serta semua yang terlibat di dalamnya akan bersama-sama menjaga citra sekolahnya.
Bibliography
Ceramah Maulid (2 1, 2013).
Taufik, M. T. (2012). Etika Komunikasi Islam. bandung: Pustaka Setia.
Taufik, M. T. (2018). Tafsir Inspiratif Ayat-ayat Al-Qur’an Pilihan Penggugah Jiwa (Ke I ed.). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Bok, S. (1989). Lying: Moral Choiice in Public and Private Life. New York:: Vintage.
Hootsuite & We Are Social. (t.thn.). DIGITAL 2019: GLOBAL INTERNET USE ACCELERATES. Dipetik October 12, 2019, dari https://wearesocial.com/blog/2019/01/digital-2019-global-internet-use-accelerates#
Taufik, M. T. (2020). Dua Kutub Pesantren. Dalam I. Islam, Buku Putih Mu’adalah (hal. 9). Ponorogo: Forum Pesantren Mu’adalah.
Dofier, Z. (1984). Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.
Lipman, W. (1922). Public Opinion. New York: Macmilan.
Mccomb, M. (2011). The Agenda-Setting Role of the Mass Media in the Shaping of Public Opinion. .
Tate, M. L. (2012). Sit & Get Won’t Grow Dendrites. California: Corwin.
Mardiyah. (2012). Kepemimpinan Pesantren Dalam Memelihara Budaya Organisasi. Malang: Aditya Media Publishing.
Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, DKI, Indonesia.
Clark, R. (2013, March). What teachers really want to tell parents. Diambil kembali dari edition.cnn.com: https://edition.cnn.com/2011/09/06/living/teachers-want-to-tell-parents/index.html
Zarkasyi, I. (1980). Pekan Perkenalan Pondok Modern Darussalam Gontor. Gontor: KMI Gontor.
Zarkasyi, A. S. (2011). Bekal Untuk Pemimpin. Ponorogo: Trimurti Press.
Taufik, M. T. (2004). Rekonstruksi Pesantren Masa Depan. Jakarta: PT. Listafariska Putra.
Taufik, M. (2004, Oktober 30). Hukuman & Hadiah: catatan untuk pelaku pendidikan. Harian Mitra Dialog.
Mendikbud. (2018). PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG PENUGASAN GURU SEBAGAI KEPALA SEKOLAH. Peraturan Menteri. Kemendikbud.
Duhigg, C. (2012). The Powe of Habit. New York: Random House Publishing Group.
Al-Jarnuji, B. (t.thn.). Ta’limu al-Muta’alim.
محمد ابن محمد الغزالي. (بلا تاريخ). احياء علوم الدين. ٢٠٠٥: دار ابن حزم.
Comments are Closed