media berbagi dan silaturahmi

HOTS SEBAGAI VIRUS POSITIF

Print Friendly, PDF & Email

M. Tata Taufik

Sesungguhnya aku diutus sebagai guru (Hadis)        

Guru profesional adalah seorang yang belajar dari bagaimana dia mengajar, bukan orang yang telah selesai mempelajari bagaimana cara mengajar. (Darling & Hammod, 2008).

            Karena manusia makhluk berpikir maka sebenarnya dia tidak bisa tidak berpikir; setiap saat dia selalu mengambil keputusan. Masalahnya apakah pemikirannya itu dilanjutkan kepada aksi atau tidak? Atau sekedar tahu belaka, atau berhenti pada tahap aplikasi saja….dan ini kebanyakan yang terjadi. Perlu suntikan virus HOTS supaya maju. (Taufik, 2021)

            Judul di atas sengaja saya pilih untuk pelatihan Kepala Sekolah SMA & SMK yang diselenggarakan oleh P2KPTK2 Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu pada Juni 2021 lalu, ini juga sebagai bentuk inovasi dan pengalihan pandangan dari pembahasan yang biasa diberikan dalam pelatihan. Sementara ini pembahasan tentang Higher Order Thinking Skills (HOTS) sering dijadikan sebagai objek dan diajarkan sebagai suatu yang penting bagi orang lain. Setelah memperhatikan kondisi di lapangan terpikir –tentu saja berupa asumsi—bahwa yang membutuhkan HOTS itu para kepala sekolah itu sendiri. Mereka membutuhkan “senjata” yang ampuh dalam menghadapi berbagai persoalan kependidikan di sekolahnya masing-masing. Senjata itu adalah kemampuan berpikir pada level tinggi yang bisa menuntunnya untuk lebih berprestasi. 

            Dalam tulisan ini tidak melulu disajikan berbagai teori berpikir misalnya, tapi ada juga cerita dan kisah yang diambil dari pengalaman penulis untuk sengaja dibagikan bersama pembaca. Gaya bahasa yang dipilih juga tidak kaku sebagaimana sering dipakai dalam penulisan ilmiah, tapi lebih bersifat dialog antara saya dengan pembaca yang siap menjadi kepala sekolah terbaik. Harapannya agar komunikasi bisa mengalir, pesan bisa tersampaikan, kadang kita serasa berhadapan kadang  terasa ilmiah karena informasi teoritik yang disampaikan. Artikel ini akan bermanfaat jika Anda membacanya sampai tuntas. 

Isu HOTS:

            Berbicara tentang berpikir sangat mengasyikkan walaupun tidak pernah ada kata sepakat tentang apa itu berpikir dan bagaimana berpikir yang baik, yang ada hanyalah  upaya-upaya yang dilakukan seseorang untuk menjelaskan apa itu berpikir dengan pendekatan masing-masing sesuai perspektif dan latar belakang pengetahuannya serta tujuan dari pembahasannya.

            Berpikir merupakan kegiatan manusia yang asasi, tidak ada manusia yang tidak berpikir dalam hidupnya, semuanya pasti mencoba untuk selalu memikirkan sesuatu; setelah melihat mengamati dengan seksama, lalu memutuskan untuk menilai dan mengambil keputusan, semuanya merupakan rangkaian berpikir. 

            Kemampuan berpikir tingkat tinggi mulai didengungkan sejak tahun 1930an sebagai upaya perbaikan kurikulum pendidikan di Amerika Serikat untuk membangun demokrasi dengan menciptakan warga negara yang loyal terhadap demokrasi. Dalam laporan yang berjudul The Purposes of Education in American Democracy yang terbit pada tahun 1938 menyebutkan bahwa aspek terpenting dalam laporan tersebut adalah tentang berpikir kritis. (Presseisen, 1986). Sejak itu berkembang pemikiran dalam pendidikan di AS tentang perlunya pengajaran berpikir kritis di sekolah. 

            Edward Glaser mengajukan lima aspek kemampuan berpikir kritis: inferensi, asumsi, penalaran deduktif penarikan kesimpulan dan evaluasi argumen. Instrumen yang digunakan selama satu tahun dalam sejumlah penelitian tersebut berusaha untuk menentukan apakah praktik tertentu membantu siswa sekolah menengah  menjadi pemikir yang kritis? Berpikir kritis kemudian menjadi tujuan kurikulum Bahasa Inggris dan bahkan matematika pada masa ini.

            Pada tahun 1950an Dewan Pendidikan Amerika memprakasai studi kooperatif  tentang evaluasi umum atas pendidikan dan mengeksplorasi penerapan pemikiran kritis sebagai tujuan baru untuk sekolah. 

            Benjamin S Bloom pada tahun 1956 menggagas tujuan pendidikan dengan memperhatikan tiga domain Cognitive DomainAffective Domain dan Psychomotor Domain. Domain kognitif yang ditawarkannya kemudian menjadi popular dan dijadikan referensi sebagai pembahasan kemahiran berpikir yang terdiri dari tingkatan: Pengetahuan (Knowledge), Pemahaman (Comprehension), Penerapan (Application), Menganalisis (Analysis), Sintesis (Synthesis) dan Evaluasi (Evaluate) (Aubrey & Riley, 2022). Pada perkembangannya  level tersebut diubah menjadi mengingat (remember), memahami (understand), menerapkan (apply), menganalisis (analysis), mengevaluasi (evaluate) dan terakhir mencipta (create). 

            Lalu pada tahun 1962 Robert Ennis menulis artikel tentang berpikir kritis berjudul Harvad Educational Reviewmenurutnya pemikiran kritis itu harus berfokus pada penilaian pernyataan yang benar, yang menurutnya minimal ada dua belas pertanyaan: Memahami arti suatu pernyataan, memahami apakah ada ambiguitas dalam garis penalaran, menilai apakah pernyataan tertentu saling bertentangan, menilai apakah kesimpulan mengikuti suatu yang perlu, menilai apakah suatu pernyataan cukup spesifik, menilai apakah suatu pernyataan benar-benar merupakan penerapan prinsip tertentu, menilai apakah pernyataan observasi dapat diandalkan, menilai apakah kesimpulan induktif dapat dibenarkan, menilai apakah masalah telah diidentifikasi, menilai apakah sesuatu itu dianggap asumsi, menilai apakah suatu definisi sudah memadai, dan menilai apakah pernyataan yang dibuat dugaan otoritas dapat diterima.

            Model ini kemudian menjadi popular dalam dunia pendidikan terutama dalam kaitannya dengan pembelajaran berpikir kritis di kelas. Perkembangan berikutnya berbagai tes mata pelajaran dengan dalih berpikir kritis menjadi pola tes multiple choice yang terus belaku hingga sekarang. 

            Jadi istilah berpikir kritis pada awalnya ingin mengajarkan kepada siswa bagaimana supaya mereka bisa berpikir kritis melalui berbagai mata ajar yang diajarkan di sekolah. 

            Era reformasi pendidikan Amerika yang berlangsung 1983-1985 banyak laporan yang memuat kritikan terhadap kinerja sekolah yang tampak biasa-biasa saja. Di hampir setiap laporan menyodorkan fakta bahwa siswa Amerika secara keseluruhan adalah pemikir yang buruk, terutama Ketika perhatian dipusatkan pada proses kognitif tingkat tinggi.

            Bill Honig dari California State Superintendent sebagaimana yang dikutip (Kean, 1985) menyatakan; di tahun 60-an dan 70-an, kami memberi tahu anak-anak, “Anda memutuskan apa yang relevan dan menyenangkan serta mempelajarinya.” Itu adalah pelepasan peran kami sebagai pendidik. Kemudian, ketika orang tidak berpikir bahwa anak-anak sedang belajar, kami kembali ke dasar (back to basic). Publik tidak pernah salah mengartikan apa yang dimaksud dengan kembali ke dasar — sejarah, sastra, sains, menulis, harapan yang tinggi, pekerjaan rumah, ketertiban di kelas — tetapi para pendidik melakukannya. Apa yang dilakukan para pendidik adalah mempersempit kurikulum menjadi keterampilan dasar. (Kean, 1985) Apakah perlu secara eksplisit mengajarkan keterampilan berpikir tingkat tinggi? Mengingat semakin banyaknya bukti bahwa siswa kami kurang dalam keterampilan seperti itu, saya pikir jawabannya jelas ya. Apakah mungkin untuk mengajar dan menguji keterampilan seperti itu? Banyak bukti menunjukkan bahwa memang demikian.

            Apakah cukup eksplisit untuk mengajarkan keterampilan berpikir tingkat tinggi? Sama sekali tidak ! Saya pikir komunitas pendidikan perlu melihat dengan seksama apakah komunitas pendidikan menyediakan lingkungan di mana keterampilan berpikir, setelah diperoleh, dapat berkembang atau tidak. Menyediakan lingkungan itu dalam jangka panjang setidaknya sama pentingnya dengan pengajaran formal, pengujian, dan perbaikan apa pun yang dapat kami berikan (Kean, 1985).

             Beberapa negara bagian sedang mengembangkan dan menerapkan program penilaian yang ditujukan untuk keterampilan berpikir tingkat tinggi, penerbit buku teks dan perusahaan pengujian menjadi semakin aktif di arena ini, dan konferensi yang berpusat pada topik ini bermunculan di seluruh Bangsa. Salah satu konferensi ini adalah Konferensi Pengujian Sekolah Michigan Tahunan 1985 yang mengambil tema, “Menilai Keterampilan Tingkat Tinggi. (Kearney, 1985)

            Berdasarkan pada paparan di atas tampak bagaimana berpikir tingkat tinggi terutama berpikir kritis  ingin dicapai melalui kurikulum dan menjadi tujuan pendidikan, berbagai upaya dilakukan agar para peserta didik memiliki kemahiran berpikir tingkat tinggi melalui mata ajar dan kegiatan pembelajaran, sejak tahun 1930an dan belum nyata hasilnya sampai tahun 1985an di Amerika. Seperti biasa sesuatu terutama kebijakan yang datang dari Amerika dengan sangat cepat bisa menyebar dan diterima tanpa perdebatan oleh negara-negara lain. Alhasil semua negara di Dunia dalam konteks pendidikan saat ini berbicara tentang HOTS.

Berkaca Dari Pengalaman:

            Sedikit cerita suatu saat kami berkunjung ke beberapa sekolah di OHIO, tepatnya di wilayah Cincinati, beberapa pertanyaan yang diajukan oleh siswa setingkat SMP berkisar pada berapa jauh Indonesia, adakah di tempat Anda telepon seluler? Apa makanan pokok di negara Anda? Dan lain sebagainya semua berkisar informasi sederhana yang mereka ingin tahu. Tidak ada pertanyaan yang berbobot sekitar pengetahuan. Lain halnya ketika Namji Steinemann, direktur  the AsiaPacificEd Program for Schools, East-West Center berkunjung ke Indonesia di tahun 2009, Ketika ia berdialog dengan para santri di PP Al-Ikhlash, banyak pertanyaan yang diajukan justru membuat dia tercengang, komentarnya bahwa anak-anak mengajukan pertanyaan sangat luar biasa, sampai berkali-kali dia mengucapkan selamat kepada kami. 

            Dari kisah ini menunjukkan bahwa apa yang disampaikan oleh Presseisen di tahun 1980an itu benar adanya dan masih berlangsung sampai tahun 2008an. Belum lagi rendahnya minat dari para siswa untuk melanjutkan kuliah, dari jumlah lulusan setiap tahunnya hanya 40% saja yang minat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan 60%nya lebih memilih dunia kerja. Berkaitan dengan ini penulis berkomentar kepada para guru dan superintendent dan education board di wilayah tersebut: artinya Anda belum menyiapkan pemimpin, lantas siapa yang menyiapkan pemimpin sebagai kader nantinya? Ini harus dipikirkan juga, ungkap penulis.  Kenyataan ini juga berbeda dengan para santri yang hampir 100% berniat untuk melanjutkan ke bangku kuliah. Dari beberapa kuesioner yang dilakukan di al-Ikhlash bagi santri kelas 6 pada umumnya berniat melanjutkan ke perguruan tinggi. 

            Dari pengalaman ini kemudian penulis kembangkan dengan bertanya kepada teman-teman peserta program, apa kesan Anda tentang pendidikan di Amerika? Ada banyak komentar, ada yang melihat dari sisi teknologi, ada yang melihat dari metode belajar, ada yang melihatnya dari fasilitas, lantas kami tanyakan kepada teman-teman apa yang Anda lakukan sekembalinya ke Indonesia? Wah kelihatannya sulit kita meniru pendidikan di sana, ya tentu berbiaya mahal, ada juga yang menyatakan akan melakukan inovasi sedapat mungkin. Dari sekian jawaban itu penulis ungkapkan kepada mereka; justru saya optimis dengan bangsa kita, mereka cerdas-cerdas, dan mau berpikir. Saya akan membangun Asia Raya saat sampai Indonesia, Bangsa kita ini ternyata lebih bisa untuk diajak maju, semangat mencari ilmunya tinggi, kesungguhannya juga luar biasa. Semua pernyataan itu penulis sampaikan kepada teman-teman dengan satu tujuan; membangun percaya diri bangsa, dan tidak selalu menganggap apa yang dilakukan Barat adalah yang terbaik dan harus ditiru dengan tidak mengkritisnya terlebih dahulu. 

            Lain lagi cerita Ketika Barbara Laman Rice seorang guru musik di Scarsdale Public Schools New York berkunjung ke Al-Ikhlash pada Januari 2009. Dia saya ajak mengunjungi beberapa sekolah di wilayah kecamatan Ciawigebang. Di Madrasah Aliyah Ciawigebang dia diterima oleh para guru di ruangan guru. Saya jelaskan bahwa ini ruangan khusus guru, dan setiap guru memiliki mejanya sendiri, saat-saat mereka tidak ada kelas, mereka berkumpul di sini -di benak penulis terpikir bahwa dia akan komen negatif—tapi ternyata malah kebalikannya. Dia sampaikan bahwa ini suatu yang bagus yang akan saya bawa ke Amerika. Ada tempat untuk guru bisa saling bertemu dan bisa saling berbagi banyak hal. 

            Cerita lain lagi pada 11-14 November tahun 2021 lalu penulis berkesempatan untuk mengikuti seminar internasional di Trabzon Turki, pesertanya terdiri dari para ilmuwan dan para rektor perguruan tinggi dari berbagai negara seperti Yaman, Irak, Tunisia, Yordania, Malaysia, Maroko dan Turki. Ketika mereka mengetahui saya dari Indonesia, mereka bercerita bahwa banyak mahasiswa dari Indonesia di kampusnya, dan mereka rata-rata berprestasi. Demikian juga diungkap oleh seorang dosen dari Malaysia, ia mengatakan bahwa ia suka mahasiswa Indonesia, mereka rajin dan mau bekerja, kalau mahasiswa lain –menyebut nama negara—mereka malas dan banyak tidur –sambil mempraktikkan gaya tidur. Komentar tentang prestasi mahasiswa kita di luar negeri bukan hal yang baru penulis dengan, in biasa diungkap oleh para dosen luar saat bertemu dengan kita.

            Apa yang bisa dikatakan dengan cerita-cerita di atas adalah bahwa tidak sepantasnya kita minder dan mentransfer rasa minder kepada anak didik kita. Di sisi lain bahwa kita pun tidak boleh minder dan merasa tidak mampu, kurang mampu dan lain sebagainya, yang harus dibangun adalah percaya diri kita apa pun profesinya, tak terkecuali sebagai kepala sekolah. Bangsa-bangsa lain memiliki rasa superior yang tinggi –kadang tak beralasan—dengan selalu menganggap warga negara lain berada di bawahnya, ini tidak boleh terjadi pada kita. Kita harus bisa menunjukkan sekecil apa pun inovasi yang kita buat untuk pendidikan dan bila mana perlu kita transfer kepada dunia internasional, karena boleh jadi inovasi kita yang terlihat sepele –atau dirasa sepele—bagi bangsa lain adalah hal yang luar biasa seperti pada cerita  Barbara di atas. 

            Dalam suatu pelatihan pernah seorang guru SMP di Hawaii menyajikan Game yang mereka ciptakan dengan penuh serius dan kesungguhan, disampaikan dengan rasa bangga seakan itu temuannya tidak ada orang lain yang bisa, ada lagi yang memberikan tutorial tentang penggunaan album dalam aplikasi picasa milik google saat itu—kini berganti nama menjadi photos– dengan penuh antusias dan serius, seakan orang Indonesia tidak bisa melakukannya, begitulah percaya diri mereka dalam menyampaikan “sesuatu” yang mereka miliki.  

Berpikir & Kemahiran Berpikir:

            Ada perbedaan antara berpikir dengan kemahiran berpikir; berpikir semua kegiatan akal dengan menggunakan simbol, artinya secara bergantian menggunakan simbol-simbol tentang sesuatu, perorangan, kondisi dan berbagai kejadian dihubungkan dengan kegiatan seperti mengonsep, memvisualkan, berargumen, menganalisis argumen, membatasi dan menilai, generalisasi, menganalisis, mengkritisi dan lainnya.

            Berpikir merupakan proses akal dari kondisi yang diketahui untuk mengetahui yang belum diketahui dengan cara dan langkah tertentu. Merupakan kegiatan akal semata; mengumpulkan informasi sebagai input dasar untuk membentuk ide, menyimpulkannya atau menilainya termasuk persepsi, pengalaman masa lalu pemrosesan kesadaran berupa intuisi untuk mendapatkan makna.

            Sedangkan skill atau kemahiran adalah kemampuan seseorang dalam berhubungan dengan sesuatu dengan cepat dan tanpa merasa kesulitan. Sejumlah kemampuan dan Tindakan yang dibutuhkan untuk mewujudkan metode berpikir dan pengetahuan dengan benar. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kemampuan berpikir adalah pelaksanaan berbagai kegiatan kognitif serta dapat mencapai kesimpulan yang diharapkan dan menjelaskannya secara ilmiah dengan tepat. (حسن التميمي، ٢٠١٦). Maka keterampilan berpikir adalah proses khusus yang kita praktikkan dengan sengaja dalam memproses informasi untuk mencapai tujuan.

            Banyak didiskusikan tahapan-tahapan berpikir, dan sangat populer pembagian tahapan tersebut dimulai dari berpikir tingkat rendah, menengah dan tinggi. Berpikir tingkat rendah terdiri atas beberapa kemahiran antara lain; pengetahuan (cara mendapatkannya dan mengingatnya) pengamatan, perbandingan dan pengelompokan. Kemahiran berpikir seperti ini tetap dijadikan dasar untuk meningkat kepada kemahiran berpikir level berikutnya. Tahapan kedua baru pada level aplikasi, yakni menerapkan apa yang diketahui dalam kehidupan nyata, Adapun level berikutnya sering disebut berpikir tingkat tinggi; berpikir pada level ini disebut juga berpikir yang komprehensif, ada beberapa kemahiran berpikir di sini antara lain; berpikir kritis, berpikir kreatif, berpikir supra kognitif, menyelesaikan masalah, dan mengambil keputusan. (حسن التميمي، ٢٠١٦).

            Berpikir kritis, berarti Anda menunjuk pada sisi faktual, orang-orang yang berpikir kritis tentang berbagai hal biasanya menunjukkan fakta tentang berbagai hal sambil bersikap sedapat mungkin untuk tidak bias dalam melakukannya. (IntroBook, 2019). Berpikir kritis adalah berpikir atas dasar fakta yang ada untuk mengambil keputusan yang lebih rasional. Bukan seperti berpikir kritis yang merupakan pemikiran di luar kotak yang mengambil risiko untuk menciptakan solusi. 

            Berpikir kreatif merupakan kemampuan untuk mengembangkan sesuatu yang sudah ada, kadang disebut juga pemikiran inovatif. Yakni kemahiran dalam memikirkan sesuatu yang ada untuk mencari sisi lain dari berbagai kemungkinan yang bisa dikembangkan. Dalam hal ini seorang berpikir kreatif tidak menerima apa adanya dari suatu aturan yang ada, tapi mencoba mencari celah yang mungkin bisa dikembangkan. 

            Olson 1999 Mendefinisikan sebagai proses mental untuk menghasilkan atau memodifikasi  ide-ide secara individu dari pengetahuan dan pengalaman sebelumnya serta memberikan solusi baru untuk masalah yang tidak dapat dibentuk oleh individu yang tidak memiliki pengalaman dan keahlian sebelumnya. Yaitu kemampuan untuk membentuk ide-ide baru dengan menggunakan proses mental dengan konsep dan visualisasi.

            Berpikir kreatif (Ennis) Pola berpikir yang peka terhadap norma, transendental yang diatur oleh konteks inferensial dan mungkin reflektif atau non-reflektif. (Dance 1993) proses mental yang bertujuan untuk mengumpulkan fakta dan melihat bahan, pengalaman dan informasi dalam struktur yang baru dan memberi solusi. (حسن التميمي، ٢٠١٦)

            Metakognisi juga melibatkan pemikiran tentang proses berpikir sendiri seperti keterampilan belajar, memori, dan kemampuan memantau pembelajaran. Konsep ini perlu diajarkan secara eksplisit bersama dengan instruksi konten.

            Supra kognisi suatu proses yang melibatkan emosional dalam belajar mandiri (emotional self-learning) ketika seorang individu berpikir tentang apa yang dia pelajari, sebagai bagian dari teori pemrosesan informasi yang bertujuan untuk mengontrol pengetahuan untuk memecahkan masalah. (Hassan, 2021)

            Menyelesaikan masalah juga termasuk kemahiran tersendiri dalam berpikir tingkat tinggi, demikian juga dengan mengambil keputusan. Kemampuan ini harus dibarengi dengan  kemampuan untuk mengukur dan mengevaluasi alternatif dengan benar yang merupakan inti dari berpikir kritis. 

Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Sebagai Virus:

            Pada posisi saat ini Anda seorang kepala sekolah atau calon kepala sekolah, pengetahuan Anda tentang berpikir dan cara serta kemahiran berpikir sudah tidak diragukan lagi. Berbagai bekal pengetahuan telah Anda persiapkan sebelumnya melalui perkuliahan atau berbagai pelatihan yang diikuti, Anda juga sudah mengembangkan diri dengan membaca dan menggali pengetahuan secara mandiri. Beberapa kualifikasi kepala sekolah juga sudah Anda capai dengan penuhi dengan gemilang, berbagai regulasi, aturan dan juknis  sebagai kepala sekolah dengan tugas pokok dan fungsinya pendek kata Anda sudah siap untuk menjadi kepala sekolah terbaik saat ini.

            Kini Anda tinggal menggunakan berbagai pengetahuan dan bekal tersebut untuk berpikir dan bertindak dalam rangka membangun sekolah Anda ke arah kemajuan yang gemilang. Semuanya Anda bisa lakukan mulai saat ini, dimulai dengan berpikir, ya mulailah dari mencoba untuk berpikir sejak sekarang. Berpikirlah sebelum memulai suatu pekerjaan.

            Anda sementara ini sibuk memikirkan bagaimana pembelajaran berbasis Higher Order Thinking Skills (HOTS) dengan segala kerumitannya, seperti teknik membuat soal berbasis HOTS, dan lain sebagainya. Sampai tahap ini Anda baru menganggap kemampuan berpikir itu bagaimana harus dicapai oleh anak didik Anda, kemampuan berpikir baru dipandang sebagai objek atau suatu capaian yang harus dicapai dalam pembelajaran karena tuntutan regulasi dan sejumlah informasi tentang pembelajaran modern. Kesibukan Anda saat ini terlalu didominasi oleh cara pandang Anda tentang kemahiran berpikir tersebut. Sementara di sisi lain Anda ditunggu untuk menggunakan kemampuan Anda yaitu demi kemajuan Lembaga 

            Mari kita mulai berpikir secara aplikatif, maksudnya bagaimana Anda memulai menggunakan kemahiran berpikir itu untuk mendukung tugas Anda sebagai kepala sekolah. Untuk itu yang pertama harus kita lakukan adalah merubah cara pandang kita tentang HOTS. Merubah dari sesuatu yang diajarkan dan ditargetkan kepada peserta didik diubah menjadi alat yang kita pakai untuk menjalankan tuas kita. 

            Perubahan mindsets (pola pikir) sebagai suatu sistem kepercayaan yang membentuk cara orang berpikir, memutuskan dan bertindak sehubungan dengan pengembangan ide orisinal, pola pikir yang sering kali meresap menjangkau seluruh bagian dalam organisasi, dan tidak hanya berada pada kepala sebagian individu belaka  (Roberto, 2019) sehingga memungkinkan kita untuk lebih mampu memproduksi ide-ide ketimbang menggeluti kenyataan dan rutinitas membosankan yang mengikat kita pada kenyataan apa adanya tanpa inovasi! Mindset ini harus dimiliki oleh seorang yang menjadi penggerak dalam suatu organisasi atau Lembaga, katakanlah seorang pemimpin atau kepala di suatu lembaga. Setelah kepala atau pemimpinnya memiliki mindset baru ini maka dia harus mentransfernya kepada staf yang ada dalam organisasinya, sehingga semua yang terlibat dalam organisasi tersebut memiliki mindset yang sama; kreatif, inovatif, problem solver dan pengambil keputusan.   

            Sampai di sini berarti Anda sudah mengubah pandangan Anda tentang HOTS, tidak lagi menjadi objek kajian atau pelajaran yang harus Anda pelajari atau Anda ajarkan kepada para siswa Anda, kini Anda sudah mulai melihatnya sebagai sebuah kegiatan yang sangat bermanfaat bagi Anda dalam menjalankan tugas Anda. Sedikit penjelasan, ketika keterampilan berpikir seperti berpikir kritis, berpikir kreatif dan inovatif sebagai kegiatan yang harus Anda lakukan, berarti Anda telah menyuntikkan virus yang bernama HOTS itu ke diri Anda, dengan demikian Anda sudah siap menjadi profesional dengan semangat HOTS yang Anda miliki.

            Secara sederhana HOTS merupakan tahapan-tahapan berpikir yang –pada dasarnya bersifat alamiah– dilalui seseorang untuk sampai pada suatu yang baru, untuk mencari celah pembaruan dalam menyikapi rutinitas kegiatan dan program-program yang sedang berjalan selama ini. Apa yang ada di hadapan kita adalah kenyataan sebagai objek pengembangannya. Karakteristik kenyataan itu ada yang sudah berjalan sesuai harapan, ada yang mendekati harapan dan ada yang masih jauh dari harapan kita. Melihat kenyataan atau fakta-fakta tersebut ada yang membiarkannya sebagaimana adanya dan ada yang menyikapinya dengan serius sebagai masalah yang harus diselesaikan. Ketika kita mempelajari kenyataan itu, mengamati dan menganalisisnya akan ditemukan persoalan yang harus diselesaikan, maka saat itu kita berpikir, kita sedang mengenali apa-apa yang dihadapi secara lebih serius dan sungguh-sungguh. Jika ini kita lakukan berarti kita sudah mulai sampai pada cara berpikir tingkat tinggi. Dengan pernyataan lain kita sudah mulai melihat kemampuan berpikir sebagai alat untuk menyelesaikan tugas-tugas yang kita emban.

Sebaiknya Anda Mulai:

            Seorang kiai dari Jawa Timur pemimpin pesantren yang terkenal mengatakan bahwa dia selalu menyelesaikan masalah dalam satu hari tidak kurang dari lima belas masalah. Dari mana dia tahu permasalahan tersebut? Bisa dari laporan stafnya, bisa juga dari penemuan secara mandiri. Bisa juga dari gagasan-gagasan yang timbul sebagai respons atas kemajuan-kemajuan atau keunikan yang dimiliki pesantren lai, kemudian ingin diadopsi sebagai bentuk inovasi di pesantrennya. 

            Kiai itu mengelilingi kampus pesantrennya dari A sampai Z, di antaranya kamar mandi, dia sering kali melihat kamar mandi dan membuka kran air apakah ada airnya atau tidak? Atau apakah ada kran air yang bocor dan seterusnya. Pekerjaan tersebut kelihatannya sepele, tapi sebenarnya hal besar menurut dia, coba nada bayangkan jika kran air tidak mengalir airnya, maka menurutnya itu salah satu kezaliman, karena pesantren meminta para santrinya berjamaah tepat waktu, tapi fasilitasnya tidak terpenuhi. Demikian juga halnya dengan evaluasi pembelajaran yang dilakukan secara rutin seminggu sekali; berisikan evaluasi kehadiran guru, ketepatan mengajar dan metodologinya, serta kedisiplinan dalam kehadiran dan disiplin kelas, semuanya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tidak jarang memberikan sanksi administratif bagi guru yang melanggar disiplin waktu misalkan atau lainnya. Apa yang terjadi dengan model “ke tanggapan” seorang pimpinan seperti itu? Ternyata dari situ melahirkan sikap para guru yang berorientasi pada hasil, berorientasi pada tugas, jangankan untuk diberi sanksi, untuk disebut saja Namanya dalam rapat evaluasi itu para guru sudah merasa segan. 

            Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa kiai tersebut sudah berpikir kritis dan menggunakannya dalam memimpin lembaganya. Sehingga hasilnya dapat dilihat dari kualitas lulusan dan peran alumninya di masyarakat. 

            Sebagai yang bertanggungjawab atas kemajuan sekolah Anda juga diharapkan mulai mengkritisi berbagai persoalan yang ada di hadapan Anda. Misalkan dari sisi keorganisasian bisa diajukan beberapa pertanyaan kritis; untuk apa adanya wakil kepala sekolah? Adanya Staf Tata Usaha? Sudahkan semuanya menjalankan tugas sebagaimana mestinya? Jika belum kenapa demikian? Apa saja yang perlu diperbaiki, kenali masalahnya! Lalu himpun informasi sebanyak-banyaknya, kemudian pelajari secara mendalam, konstruksi apa saja upaya perbaikan yang bisa dilakukan, buat argumen yang kuat, lalu ajak mereka diskusi, kemudian ajak mereka Bersama-sama mengambil keputusan dan laksanakan. 

            Dari sudut kesiswaan juga misalkan melihat kondisi kegiatan siswa yang cenderung jalan di tempat, kini saatnya Anda mulai mengritisi dan menghimpun akar permasalahannya untuk kemudian dicarikan jalan keluarnya, tentu saja dengan semangat kreativitas bisa Anda lakukan. Tidak sulit untuk bertindak kreatif, misalkan kegiatan kepramukaan di sekolah Anda hanya diikuti oleh pasukan khusus saja, atau kemampuan baris berbaris para siswa lemah, di sini Anda mulai melakukan inovasi dengan mewajibkan seluruh siswa ikut Gerakan Pramuka, dirancang Latihan setiap minggu dengan serius, ada beberapa argumen yang bisa Anda kemukakan, misalkan Gerakan Pramuka itu sebagai sarana pendidikan anak-anak muda yang paling tepat, di situ ada nilai-nilai dasa darma sebagai kode kehormatan yang kalau tertanam dalam jiwa-jiwa muda dapat menggerakkan mereka ke arah kemajuan. 

            Demikian juga halnya dengan latihan baris-berbaris, dalam suatu pelatihan waka kesiswaan saya pernah mengajukan pertanyaan pembuka kepada peserta; Adakah di sekolah bapak/ ibu diajarkan baris-berbaris? Spontan mereka menjawab tidak, ada yang menjawab ada Latihan Paskibra. Saya komentari jika hanya Latihan Paskibra berarti hanya sekitar puluhan siswa yang belajar baris-berbaris, kenapa tidak diajarkan lanjut saya, dengan baris-berbaris justru kedisiplinan akan mudah ditanamkan kepada siswa. Lagi pula jika para siswa sudah mahir baris berbaris, mereka akan mudah ditugaskan menjadi Paskibra, lebih dari itu jika mereka melanjutkan ke kedinasan seperti TNI atau Polri, mereka sudah memiliki bekal dasar, dan secara fisik mereka kuat dan biasa berdisiplin; mematuhi aturan sebagaimana dalam barisan. 

            Dalam suatu pelatihan Kepala Sekolah saya pernah mengajukan pertanyaan begini: Apakah semua program Anda berjalan dengan lancar? Jawabannya 22% menyatakan berjalan dengan lancar karena selalu dianalisis dan dievaluasi, 61% menyatakan ada yang berjalan dan ada yang tidak, sisanya 17% menyatakan berjalan semuanya tapi perlu kerja keras. Artinya ada pengakuan dari mayoritas kepala sekolah bahwa tidak semua programnya berjalan dengan baik.

            Kenyataan tersebut bisa terjadi karena team kerja yang kurang solid, bisa juga karena lemahnya kepemimpinan, bisa juga karena faktor lain seperti situasi dan ketentuan regulasi yang tidak mendukung seperti adanya lockdown karena pandemik atau hal lain yang menghambat kinerja. 

            Sebagai kepala sekolah yang baik tentu saja hal tersebut bisa dijadikan fakta untuk dikritisi serta dianalisis, kemudian disimpulkan tindakan apa yang bisa dilakukan. Jika permasalahan yang ditemukan –sebagai hasil kajian—tersebut berpulang kepada tim kerja yang kurang solid, maka dapat dihimpun informasi apa penyebabnya? Jika penyebabnya karena kurangnya intensitas pembinaan, kesenjangan komunikasi, maka kepala sekolah bisa memperbaiki keadaan dengan katakanlah membuat pertemuan informal yang melibatkan semua tim inti, memberi kesempatan kepada mereka untuk “ngopi bareng” sehingga mereka bisa berdialog secara terbuka tanpa adanya sekat-sekat birokrasi. Biasanya rencana-rencana besar bisa muncul dari kegiatan-kegiatan kecil seperti itu. 

            Dalam obrolan diperlukan seorang yang berperan sebagai pengarah ide, dan tidak terlalu rumit untuk menjadi pengarah ide, cukup dengan mengajukan pertanyaan kritis  tentang persoalan yang ingin kita perbaiki. Misalkan: “supaya para siswa aktif terlibat dalam berbagai kegiatan apa usaha kita ya?” Melalui pertanyaan sederhana tersebut anggota tim akan dengan senang hati mengajukan gagasannya, dari situ akan dapat tersaring banyak gagasan yang konstruktif. Setelah ditemukan ide unggulan, maka sisanya tinggal merancang perencanaan program dan kegiatannya bersama-sama dan mensosialisasikannya kepada warga sekolah untuk dieksekusi. Sampai di sini kita bisa membuat kaidah dalam diri kita “ajak mereka bicara.” 

            Adalah hal yang mudah untuk menjadi kreatif, banyak ide bisa terlahir dari hal-hal yang biasa bisa jadi dari bacaan kita. Membaca cerpen yang pada awalnya hanya sekedar hiburan, pada akhirnya bisa menjadi sumber ide kreatif, demikian juga halnya dengan nonton film bisa juga ditemukan pesan-pesan konstruktif yang disajikan oleh penulis cerita yang menjadi inspirasi untuk melahirkan ide kreatif. Cerpen karya Putu Wijaya berjudul Guru (Wijaya, 1995) misalnya yang menggambarkan proses pergantian mindset dari kepala sekolah tempo dulu dengan kepala sekolah era baru bisa menginspirasi pemilihan komunikasi yang dipakai dalam memimpin. Film berjudul Kindergarten Cop Garapan sutra dara Ivan Reitman di tahun 1990an juga bisa menginspirasi bagaimana teknik penanaman disiplin di sekolah (Reitman, 1990). Dalam hal kreativitas ini kata kuncinya adalah; membuat suatu yang baru, atau memodifikasi suatu yang lama menjadi baru, dan membuat yang sepele menjadi berharga. 

Bibliography

Darling, L., & Hammod. (2008). Teacher Learning That Support Student Learning. Dalam B. Z. Presseisen, Teaching for Intelligence (hal. 95). California: Corwin A Sage Company.

French, J. N., & Rhoder, C. (2011). Teaching Thinking Skills. New York: RToutledge.

اسماء فوزي حسن التميمي. (٢٠١٦). مهارات التفكير العليا. بغداد: مركز ديبونو.

Presseisen, B. Z. (1986). Critical Thinking and Thinking Skills, State of the Art Definitions and Practice in Public Schools. Philadelphia: RBS.

Duhigg, C. (2012). The Powe of Habit. New York: Random House Publishing Group.

John , F., & Mark, D. (1985). THE ASSESSMENT OF HIGHER – ORDER THINKING SKILLS. Michigan: The Psychological Corporation.

Bono, E. D. (1992). Serious Creativity. New York: Harper Collins Publishers.

IntroBook. (2019). Creative Thinking Methods. IntroBooks.

Hassan, S. A. (2021). The Level of Having Supra-Cognitive Thinking for Law Students at Prince Mohammad Bin Fahd University Based on Some Variables from Their Own Perspective. . Advances in Social Sciences Research Journal,, 300-315.

Roberto, M. A. (2019). Unlocking Creativity. New Jersey: John Wiley & Son. Inc.

Kean, M. H. (1985). Assesing Higher Order Thinking Skills: IAn Overview Of The Issues. Ann Arbor Michigan: Eric/TME Report 90.

Kearney, C. (1985). WHAT’S GOING ON IN THE ASSESSMENT OF HIGHER ORDER SKILLS ? Ann Arbor Michigan: Eric/TME Report 90.

Bloom, B. S. (1967). OWARD A THEORY OF TESTING WHICH INCLUDES MEASUREMENT – EVALUATION – ASSESSMENT . SYMPOSIUM ON PROBLEMS IN THE EVALUATION OF INSTRUCTION. Los Angeles: University of California.

Aubrey, K., & Riley, A. (2022). Understanding And Using Educational Theories. London: SAGE Publications. Inc.

Pink, D. H. (1995). Drive. New York: River Head.

Taufik, M. T. (2021, Juni 12). HOTS Sebagai Virus Positif. Peresentasi Pelatihan Kep SMA/SMK. Jakarta, DKI, Jakarta Utara: P2KPTK2 Jakut.

Wijaya, P. (1995). Protes: Kumpulan Cerita Pendek. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Reitman, I. (Sutradara). (1990). Kindergarten Cop [Gambar Hidup].

Comments are Closed