Jalur, Jenjang, Wajib Belajar, dan Evaluasi Pendidikan: Catatan untuk RUU Sisdiknas
PARTISIPASI publik dalam merevisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas)diharapkan tidak sekadar memenuhi tahapan administrasi. Menurut naskah akademiknya, RUU Sisdiknas ini merupakan upaya penyesuaian atas berbagai undang-undang yang berlaku sekarang dengan kondisi dan kebutuhan pendidikan saat ini.
Arah utamanya antara lain mencakup tujuh poin. Meliputi, reorganisasi sistem pendidikan; penguatan konsep dan implementasi wajib belajar; rumusan standar nasional pendidikan; penguatan Pancasila pada kurikulum pendidikan; perubahan paradigma evaluasi pendidikan; penguatan otonomi pendidikan tinggi; dan peningkatan efektivitas penyelenggaraan, pengelolaan, serta penganggaran pendidikan.
Ada beberapa isu penting yang harus mendapat perhatian dalam RUU tersebut; yakni, isu yang berkaitan dengan jalur pendidikan, pengertian pendidikan formal serta penjenjangan, hak warga negara dan peserta didik, serta wajib belajar dan tentu saja masalah evaluasi pembelajaran dan evaluasi peserta didik.
Tentang jalur
Jalur pendidikan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Dan tidak ada penekanan yang serius pada pasal-pasal tentang ini. Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?Happy Inspire Confuse Sad
Pembahasan selanjutnya mengarah pada jenjang pendidikan formal dan jenis pendidikan. Pendidikan formal dirumuskan dalam ketentuan umum sebagai berikut; pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Dalam RUU Sisdiknas disebutkan jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pembelajaran informal. Definisi pendidikan formal dalam RUU ini adalah pendidikan yang dirancang penuh waktu dan diselenggarakan dengan alur yang berkelanjutan.
Penting memberikan batasan pendidikan formal tersebut karena ketika dihubungkan dengan regulasi lainnya akan sangat berpengaruh terhadap kebijakan. Misalkan kata ‘formal’ berkaitan erat dengan pengertian guru dan kedudukannya sebagaimana tertulis pada UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen: Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kemudian dijelaskan dalam RUU bahwa pendidikan formal terdiri atas subjalur: pra persekolahan, persekolahan, dan persekolahan mandiri. Pengertian jalur pendidikan dalam RUU Sisdiknas lebih bisa memberikan arahan dalam memahami regulasi pendidikan ini.
Yang menarik dari RUU ini adalah munculnya jalur baru yang merupakan subjalur dari pendidikan formal, yaitu persekolahan mandiri. Disebutkan bahwa Persekolahan mandiri bertujuan untuk menghasilkan inovasi penyelenggaraan persekolahan dalam rangka mengembangkan kompetensi dan karakter pelajar.
Dalam menghasilkan inovasi, persekolahan mandiri menetapkan standar input dan standar proses masing-masing sesuai dengan konteks dan kebutuhan pembelajarannya. Persekolahan mandiri wajib memenuhi standar capaian dalam Standar Nasional Pendidikan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Beberapa pernyataan ini memberikan peluang bagi penyelenggara pendidikan untuk secara otonom berinovasi, termasuk di dalamnya menentukan standar pendidikan yang dilaksanakannya. Standar input, proses, output, serta outcome yang bisa dikembangkan secara lebih mandiri dan boleh jadi lebih maju dari apa yang dirancang pemerintah. Rumah baru ini sangat bisa mewadahi penyelenggara pendidikan yang tidak atau tampak tidak berpedoman pada regulasi yang ada, namun pada dasarnya merupakan pewujudan dari semangat untuk berinovasi dalam pendidikan.
Ambil contoh penerapan pengajaran bahasa asing yang tidak menggunakan buku teks sebagaimana berlaku di sekolah pada umumnya. Kurikulum, pengelolaan kegiatan pelajar, model asesmen yang dipakai, serta format persiapan mengajar yang diterapkan secara mandiri dengan model pengawasan oleh kepala satuan pendidikan yang sangat ketat, bisa diterapkan.
Dalam konteks ini, pendidikan pesantren bisa masuk pada kategori subjalur pendidikan formal dengan jenis pendidikan keagamaan. Sementara, pengaturannya secara teknis tidak masuk dalam RUU Sisdiknas, melainkan tetap berpedoman pada UU No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren sebagaimana tertuang dalam Naskah Akademik RUU Sisdiknas.
Berkaitan dengan jalur pendidikan, ada permasalahan yang harus dijadikan titik perhatian, yaitu tentang perpindahan peserta didik dari satu jalur ke jalur yang lain. Pada bab hak dan kewajiban peserta didik, dalam UU Sisdiknas disebutkan bahwa diberikan hak untuk pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara. Hak ini pada beberapa kasus kurang mendapat perhatian dari penyelenggara pendidikan dengan jalur yang setara.
Masalah kata ‘setara’ masih belum bisa dipahami secara utuh oleh para user layanan pendidikan. Hak pindah jalur ini dalam RUU Sisdiknas dimasukkan dalam hak warga negara dengan klausul yang sama dengan yang sedang berlaku saat ini.
Jika melihat klausul ini, perpindahan jalur sebenarnya sudah cukup kuat dilindungi undang-undang. Namun, dalam pelaksanaannya, masih perlu pehatian atau lebih diperjelas lagi teknis pelaksanaannya dalam peraturan pemerintah dengan prinsip kemudahan akses pendidikan.
Jenjang pendidikan vs wajib belajar
Jenjang pendidikan dasar dilaksanakan mulai kelas 1 sampai dengan kelas 9. Jenjang pendidikan menengah dilaksanakan mulai kelas 10 sampai kelas 12.Sebagaimana yang berlaku sekarang, SD/MI dan SMP/Mts masuk pada jenjang pendidikan dasar. Sedangkan SMA/MA masuk pada jenjang menengah.
Pertanyaannya, ketika wajib belajar ditambah menjadi 12 tahun, yakni termasuk pendidikan jenjang menengah antara usia 7 tahun sampai dengan 18 tahun sebagaimana yang diusulkan RUU Sidiknas, apakah bisa diselenggarakan dengan dua pola penjenjangan? Misalkan dengan mengubah pola penjenjangan menjadi pendidikan dasar meliptui jejang SD/MI, SMP/MTs, hingga SMA/MA.
Pembenahan istilah dalam penjenjangan ini menjadi perlu agar tidak rancu antara penamaan dengan kenyataan. Selain itu, ketika dihubungkan dengan ketentuan wajib belajar 12 tahun sebagai perubahan atas peraturan pemerintah sebelumnya (PP 47 Tahun 2008) yaitu dari usia 6 sampai 15 tahun, maka wajb belajar bisa dilakukan secara terus-menerus dalam satu sekolah dengan hanya menambahkan kelas, yakni dari kelas 7 sampai ke kelas 12.
Hal ini akan memberi nilai positif seperti menyukseskan program wajib belajar. Siswa belum dinyatakan selesai dari pendidikan menengah jika sudah menyelasikan kelas 9. Siswa harus melanjutkan pendidikan pada kelas berikutnya sampai dapat dinyatakan selesai pendidikannya setelah mencapai kelas 12.
Nilai positif lainnya tampak dari sudut ketersediaan layanan pemerintah yang tidak terlalu dituntut untuk membangun sekolah baru. Cukup dengan mengembangkan sekolah yang sudah ada.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020, saat ini peringkat teratas jumlah sekolah ditempati SD dengan 148.743 sekolah. Disusul SMP sebanyak 40.597 sekolah dan SMA 13.944 sekolah.
Jika wajib belajar dicanangkan 12 tahun, artinya berlaku untuk pendidikan dasar dan menengah, maka jumlah sekolah tingkat SMP dan SMA harus sama dengan jumlah tingkat SD. Artinya, SMP bisa dilebur menjadi sekolah menengah, demikan juga SMA yang ada dilebur menjadi sekolah menengah dengan masa pendidikan enam tahun. Itu pun kalau dijumlahkan masih jauh dari jumlah SD, yakni sekitar 54.541 sekolah.
Sudah ada best practices dari penjenjangan seperti ini. Seperti yang dilaksanakan di Pesantren Darussalam Gontor. KMI (semacam sekolah menengah dengan masa pendidikan enam tahun untuk input tamatan SD/MI) yang menyelenggarakan pendidikan dari kelas 7 sampai ke kelas 12 secara berkesinambungan, dengan tidak mengeluarkan ijazah bagi kelas 9.
Hasil capaiannya bisa dibuat sesuai dengan harapan. Pertama, jenjang pendidikan menengah merupakan pendidikan yang dirancang untuk memperdalam pemahaman atas ilmu pengetahuan yang lebih variatif dan spesifik. Pelajar pada jenjang ini juga dipersiapkan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Selain itu, selama jenjang berlangsung, pelajar bisa mengembangkan keterampilan yang relevan dengan dunia usaha dan dunia kerja. Jenjang ini juga mempersiapkan pelajar menjadi warga negara yang memberi kontribusi positif bagi masyarakat.
Masalah evaluasi peserta didik
Dalam UU Sisdiknas, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Selanjutnya, evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri (dalam pelaksanaannya oleh Badan Standar Nasional Pendidikan/BSNP) secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Dalam praktiknya, penilaian peserta didik lebih dikuasai oleh ujian nasional (UN) yang disusun berdasarkan kriteria yang ditetapkan BSNP, suatu badan yang dibentuk atas dasar UU Sisdiknas. Konsep ujian yang awalnya sebagai alat untuk mengevaluasi hasil belajar guna menentukan kebijakan pendidikan dan bersifat opsional, berubah menjadi wajib diikuti oleh seluruh peserta didik. Selanjutnya, hasil UN banyak dijadikan persyaratan untuk melanjutkan jenjang pendidikan di atasnya, termasuk kedinasan.
Kalau tidak berfungsi sebagai syarat masuk perguruan tingi, lantas apa manfaat hasil UN? Padahal, semangat dari UU Sisdiknas adalah memberikan keleluasaan bagi satuan pendidikan untuk menentukan kelulusan.
Pada RUU Sisdiknas dirumuskan bahwa evaluasi pendidikan terdiri atas: a. Evaluasi terhadap pelajar, b. Evaluasi terhadap sistem pendidikan; dan c. Akreditasi. Evaluasi terhadap pelajar dilakukan oleh pendidik, Pemerintah Pusat, dan lembaga mandiri.
Persoalannya, ketika pendidik sudah mengeluarkan sertifikat atau ijazah sebagai tanda pencapaian perkembangan anak didiknya, apakah itu sudah cukup jadi syarat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi atau untuk keperluan pekerjaan? Pertanyaan ini menjadi penting karena dalam praktiknya masih banyak lembaga atau instansi yang meminta persyaratan hasil UN, padahal sudah ada ijazah.
Selanjutnya terkait dengan evaluasi terhadap pelajar oleh Pemerintah Pusat. Evaluasi ini merupakan layanan opsional atau tidak bersifat wajib. Evaluasi terhadap pelajar oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan merujuk pada standar capaian.
Pengakuan hasil evaluasi terhadap pelajar oleh Pemerintah Pusat diberikan dalam bentuk sertifikat. Sertifikat sebagaimana dimaksud dapat digunakan untuk dan tidak terbatas pada penyetaraan hasil belajar, persyaratan melanjutkan pendidikan, atau persyaratan pekerjaan.
Kata ‘layanan opsional’ dan ‘tidak bersifat wajib’ dalam ketentuan ini sangat berarti dalam rangka memberikan otonomi kepada satuan pendidikan, terutama otonomi evaluasi. Di sinilah titik terang yang diberikan RUU Sisdiknas bagi perkembangan penddikan Indonesia.
Karena hal tersebut dapat mengembangkan suasana kompetitif bagi penyelenggara satuan pendidikan dengan lebih mencurahkan pada program pendidikan yang dirancang oleh masing-masing satuan penyelenggara. Dan dapat mengalihkan orientasi pembelajaran kepada program yang lebih holistik.
Berkaca pada penyelenggaraan UN, guru tidak lagi dipercaya menjaga soal-soal UN. Kepolisian terlibat. Upaya pembelajaran hanya berorientasi pada penyiapan UN. Berbagai tes persiapan dilaksanakan.
Catatan dalam poin ini, hendaknya perbaruan dalam evaluasi ini tidak kemudian diikat lagi oleh peraturan di bawahnya. Seperti, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri yang menghapus klausul penting ini.
Semoga saja RUU Sisdiknas yang sedang digarap tersebut bisa benar-benar memberikan jawaban atas persoalan pendidikan yang dihadapi saat ini. RUU ini juga diharapkan mampu menggerakkan semua elemen pendidikan ke arah yang lebih baik.[]
*M Tata Taufik, Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash, Kuningan, Jawa Barat
Baca di Medcom 20 Februari 2022
Comments are Closed