Atribut
TANDA kelengkapan, lambang, atau sifat yang menjadi penjelas benda atau seseorang, demikian definisi ‘atribut’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Maka, seragam dengan potongan yang sama, warna dan model yang sama, bisa langsung dapat mengenalkan identitas seseorang atau benda.
Seragam rompi oranye dengan sedikit warna biru misalkan menjadi identitas juru parkir di beberapa daerah. Seragam kuning menjadi identitas petugas kebersihan. Demikian juga dengan seragam instansi seperti TNI dan polisi, dapat langsung dikenali siapa dia dan apa tugasnya.
Dalam ilmu komunikasi dikenal teori atribusi. Teori ini mencoba menggambarkan komunikasi seseorang yang berusaha meneliti, menilai, dan menyimpulkan sebab-sebab dari suatu tindakan atau tingkah-laku yang dilakukan orang lain. Artinya, teori ini mencoba menjelaskan proses kognitif yang dilakukan seseorang untuk menjelaskan sebab-sebab dari suatu tindakan, termasuk dalam menilai atribut yang dikenakan seseorang.
Dalam pengalaman sehari-hari, ketentuan memilih atribut bagi profesi tertentu bisa melahirkan salah tafsir. Hal ini bisa berakibat pula pada kesalahan dalam menentukan sikap terhadap seseorang yang memiliki atribut yang sama dan biasa dikenakan oleh instansi tertentu. Pada pertengahan September 2021 lalu, penulis berkesempatan mengunjungi Bojonegoro, Jawa Timur. Pada saat mencari parkiran, seorang yang beratribut Dinas Perhubungan (Dishub) dengan ramah dan penuh senyuman menunjukkan tempat parkir kendaraan lalu memandu parkir. Setelah selesai keperluan, penulis kemudian bergegas untuk kembali ke penginapan.
Sekali lagi orang yang sama memandu parkir dengan sangat ramah. Karena persepsi yang salah, penulis langsung mengucapkan terima kasih tanpa memberi uang parkir. Tentu saja dengan sejumlah pujian dalam benak penulis, “Wah, Dishub di sini baik-baik ya, mereka rela turun ke jalan memandu parkir dan sikapnya juga ramah,” itulah kesan yang didapat.
Namun, sepanjang jalan ternyata ditemui banyak orang berseragam Dishub yang melakukan pekerjaan yang sama; parkir, ada yang memarkirkan sepeda motor, dan jenis kendaran lain. Kontan saja muncul proses atribusi yang lain pada pikiran penulis, dengan kesimpulan bahwa yang tadi memarkirkan itu adalah juru parkir bukan seragam yang berseragam kedinasan dari suatu instansi.
Akibat kesalahan persepsi ini, yang muncul adalah rasa bersalah karena tidak membayar uang parkir. Serta rasa kurang update pengetahuan wilayah dan kawasan di negeri ini. Data kognitif yang dimiliki sebelumnya ternyata tidak mampu menganalisis dan menyimpulkan atribut yang benar tentang suatu profesi. Penilaian semacam ini hanya berdasarkan pada alasan internal yang dimiliki, tidak mempertimbangkan alasan eksternal. Hanya mengandalkan pada konsensus dan konsistensi dengan mengabaikan informasi sekitar perbedaan (distinctiveness).
Masyarakat pada umumnya bertindak. Menurut aliran naïve psychology, ini tindakan kebanyakan orang berdasarkan pada penilaian dan penyimpulan terhadap suatu tingkah laku yang ada di sekelilingnya tanpa berpikir secara mendalam, sehingga menimbulkan pendapat umum tentang tindakan tersebut. Yakni, dengan mencoba menduga-duga penyebab dari suatu tindakan dilakukan oleh seseorang dan langsung disimpulkan tanpa melalui proses pengumpulan data dan analisis yang serius. Hal ini disebut juga folk psychology.
Kasus kesalahan persepsi ini juga terjadi ketika atribut satpam berubah menjadi seperti atribut anggota kepolisian. Kesan pertama yang didapat saat pertama kali melihat atribut satpam tersebut positive thingking. “Wah, sekarang kepolisian sudah memperbanyak personel hingga bisa ditempatkan di berbagai lokasi.”
Kasus yang sama juga terjadi ketika suatu instansi pada hari tertentu mewajibkan karyawannya mengenakan pakai etnik kesukuan, katakanlah etik sunda; berbaju dan bercelana hitam (dahulu namanya baju kampret) dengan ikat di kepala. Persepsi yang bisa muncul bagi yang melihatnya bisa salah, boleh jadi akan menganggap ada pertandingan silat di kantor tersebut yang diikuti oleh semua karyawan dari atasan sampai bawahan.
Memang pendekatan psikologis sering digunakan untuk memberikan arahan dan sengaja menggunakan kekeliruan persepsi untuk tujuan tertentu. Seperti di jalan raya—tidak hanya di Indonesia—patung polantas, visualisasi kendaraan polisi, lampu warna biru yang identik dengan atribut kepolisian, dan lainnya. Semuanya bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan bagi pengguna jalan dengan memanfaatkan konsensus, kesan, dan pengetahuan masyarakat sebelumnya, termasuk rasa takut terhadap petugas. Melihat tujuannya, hal seperti ini bisa dibenarkan.
Masalahnya adalah ketika kesalahan persepsi seperti kasus juru parkir di atas atau atribut etnik di kantor-kantor. Mungkin ada baiknya memperhatikan sisi konsensus yang sementara ini telah dipahami secara luas di masyarakat, termasuk atribut resmi yang menggambarkan suatu profesi dan konsistensi penggunaannya. Kesalahan persepsi bisa melahirkan sikap dan perlakuan yang bisa menimbulkan kerugian juga. Kerugian tersebut bisa berupa salah tangkap, salah perlakuan, dan salah dalam memberi pernyataan.
Sementara di sisi lain masyarakat juga harus meningkatkan kemampuan analisisnya untuk dapat mengenali berbagai atribut dengan melihat faktor perbedaan, kesepakatan, dan konsistensi agar tidak salah paham. Wallahu A’lam.
*M Tata Taufik, Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash, Kuningan, Jawa Barat
Baca di Medcom 3 Februari 2022
Comments are Closed