Ismā’u al-Qur’ān
Kegiatan dakwah itu sejalan dengan apa yang dilakukan Rasulullah SAW pada masa awal, yakni dimulai dengan membacakan ayat al-Qur’an, membersihkan akidah (kepercayaan) serta mengajarkan kitab dan hikmah, dilakukan secara berurutan. Demikian kira-kira inti sari dari apa yang disampaikan oleh pemateri Kajian Ramadlan melalui Zoom KH Muhammad Halim dari PP Ta’mirul Islam Solo pada Rabu, 29 April 2020. Kajian rutin yang dimulai setiap pukul pukul 20.30 dengan pemateri dari berbagai kalangan akademisi dan praktisi dakwah serta pendidikan Islam.
Membacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada masyarakat itu tentu saja menimbulkan pertanyaan bagaimana caranya? Apakah dilakukan setiap bertemu dengan orang per orang atau pada suasana khusus dalam bentuk pengajian/majlis taklim, pembukaan setiap acara resmi, atau melalui perantara masjid seperti yang berlaku saat ini terlebih di bulan suci Ramadlan?
Sudah menjadi budaya bahwa di Indonesia, setiap menjelang shalat fardu beberapa mesjid mengumandangkan pembacaan ayat suci al-Qur’an, biasanya seperempat jam sebelum masuk waktu adzan. Adapun waktu dan jumlahnya semakin bertambah di bulan puasa. Seperti saat tadarus ba’da shalat taraweh, yang diatur dengan edaran Kementerian Agama, kemudian diterjemahkan oleh edaran MUI Kabupaten-Kota atau Kemenag yang disesuaikan dengan kondisi lokal masing-masing; tidak melebihi pukul 22.00 WIB.
Program pembacaan al-Qur’an seperti ini pun walau sudah menjadi semacam budaya kerap menimbulkan reaksi pro dan kontra. Beberapa kasus seperti di Lombok beberapa tahun silam Gregory Luke merasa bising mendengar suara pembacaan ayat Al-Qur’an dari pengeras suara pada pelaksanaan Shalat Sunnah Tarawaih di Praya, Lombok. tanggal 22 Agustus 2010 lalu (Andika 2010). Lalau pada Senin, 29 Juli 2016. Meiliana menyampaikan proses terhadap suara azan yang menggema dari Masjid Al Maksum yang sempat heboh juga (Monza 2018).
Gelombang udara di era global ini dimanfaatkan untuk menghantarkan pesan-pesan komunikasi dari berbagai institusi, termasuk orang per orang yang mengirimkan berbagai informasi dan pesan melalui penyedia layanan. Kontennya pun bermacam-macam ada yang berjualan, ada yang mengirim pesan bermanfaat ada juga yang berisikan pesan tidak bermanfaat malah dapat merusak tatanan sosial, termasuk pesan-pesan penipuan, kabar bohong dan lainnya. Kalau ada siap menghitung barang kali jumlah pesan “negatif” lebih banyak dibanding dengan jumlah pesan “positif.” Artinya ni’mat Allah yang berupa gelombang udara itu lebih diisi oleh hal-hal yang tidak berguna secara normatif.
Program memperdengarkan ayat-ayat al-Qur’an adalah –dari sudut ini—merupakan penyiaran pesan positif kepada khalayak. Tentu saja dapat dipandang juga sebagai penyeimbang penggunaan gelombang udara dengan sifat yang lebih bermanfaat dari pada penggunaan pada umumnya.
Jika penyebaran informasi, baik berupa teks ataupun gambar melalui sarana digital ini sedemikian maraknya digunakan, dengan tidak menimbulkan resistensi, bahkan ditambah lagi dengan papan-papan reklame serta berbagai banner di pinggir jalan, seakan memaksa mereka yang tidak buta aksara untuk membaca dan melihat baik yang disukai atau yang tidak disukai, maka hendaknya sikap yang sama juga diberikan kepada pembacaan ayat-ayat al-Qur’an dari mesjid-mesjid yang ada di sekeliling kita.
Kalau ukurannya suka dan tidak suka, maka tidak semua orang juga menyukai berbagai isi reklame dan banner yang terpampang di tepi jalan dan tempat-tempat strategis. Hak untuk mendapatkan informasi itu biasa dijadikan alasan bagi Dewan Pers ketika berbicara keterbukaan dan kebebasan pers. Ya, hak untuk mendapatkan pesan positif bagi kalangan tertentu juga harus sama-sama diperjuangkan, supaya seimbang. Selamat mendengarkan dan mentransmit bacaan al-Qur’an dari menara-menara mesjid sebagai transmiternya semoga mendapat rahmat Allah SWT.
Comments are Closed