Hanya Konten
Oleh: M. Tata Taufik
Suatu saat saya tertarik dengan konten salah satu platform media sosial yang mengajarkan teknik tertentu, lalu ketika saya minta putra saya untuk mempraktikkannya dengan senyum dia jawab: “Bohong itu pak, hanya konten.” Saya masih terus meminta untuk mencoba dengan harapan bisa dilaksanakan, nyatanya bohong belaka. Awalnya sebagaimana halnya orang biasa akan mempercayai informasi yang dibagikan orang lain kepada kita, apa lagi informasi itu dipublikasikan di media umum yang mudah didapat.
Pada kesempatan lain seorang teman membagikan link informasi di group media sosial temanya drama tindak kejahatan yang mengingatkan para pengendara mobil agar hati-hati dan selalu waspada, lalu serang teman berkomentar dengan pernyataan yang sama; hanya konten.”
Selanjutnya kalau diteliti berbagai macam konten yang diproduksi oleh para konten kreator banyak sekali yang berisi informasi bohong, juga jiplakan konten yang sedang aktual dan repost berita lama, membersamai konten-konten sensasional lainya. Terlebih lagi jika menjelang musim kampanye ketika suhu politik menanjak, akan banyak ditemukan posting ulang konten lama, sama halnya dengan mencuatnya berbagai kasus yang bisa dijadikan domplengan oleh para konten kreator untuk menaikkan trafik kunjungan akunnya.
Sebagaimana halnya belakangan ini konten-konten tentang IKN, Pasangan Cagub dan Cawagub DKI, Presiden Joko Widodo dan Keluarganya, serta demo kawal putusan MK membanjiri platform media sosial, terutama yang menyajikan layanan konten audio visual, dengan berbagai judul yang memiliki daya tarik tinggi, walau konten di dalamnya tak seseru judulnya. Demikian juga halnya dengan keaslian video konten sering kali terlihat seperti hasil reproduksi video dari konten yang telah beredar.
Dalam lalu lintas informasi yang semakin tidak mengarah ini, maksudnya informasi menjadi sangat liar dan tidak ada penanggung jawab serta sistem kontrol yang lemah, yaitu saat semua orang bisa menyampaikan apa saja kapan dan di mana saja, saat setiap individu terkoneksi tanpa batas antara satu sama lain, ketika semua dari kita bisa menjadi produsen berita, dengan media yang kita buat sendiri atau dilekatkan pada layanan media raksasa yang siap menampung apa saja dan menyebarkannya kepada siapa saja, terkesan sangat membahayakan dan bisa memengaruhi opini publik yang menerima informasi tersebut baik secara sukarela maupun terpaksa karena disuntikan kepada alat komunikasi yang mereka miliki dengan biaya yang dibebankan kepada mereka jua.
Ungkapan “hanya konten” seperti yang disampaikan di awal tulisan ini pada gilirannya tidak bisa dianggap sepele oleh para produsen konten, karena kekuatan pernyataan tersebut pada suatu saat akan menggeser pernyataan lain yang selama ini diakui dan menjadi motivasi konten kreator untuk memproduksi kontennya dengan tanpa mengedepankan asas orisinalitas dan objektivitas; ungkapan konten adalah raja, akan bisa digeser oleh “hanya konten” sebagaimana wartel dan warnet tergeser oleh telepon seluler. Benar bahwa media cetak tergeser oleh media digital dewasa ini, hingga banyak perusahaan pers yang memangkas produksinya dengan beralih ke media digital, tapi kepercayaan khalayak kepada lembaga penyiaran atau perusahaan pers yang sudah dikenal kapabilitas dan reputasinya akan sulit digeser.
Masyarakat publik juga semakin lama semakin dewasa, baik pengetahuan maupun pengalamannya, jika terlalu sering dibohongi mereka akan mengubah cara pandangnya terhadap konten, dan tetap kembali ke konsep awal bahwa konsumen adalah raja, dengan statusnya sebagai raja ia akan memilih konten mana yang akan dilihat dan mana yang diabaikan. Chanel atau akun siapa yang akan diikuti juga akan menjadi pertimbangan tersendiri dalam mengakses informasi, ke depan tetap siapa yang paling layak dipercaya dan didengar dia yang akan diakses.
Maka ungkapan yang tahun delapan puluhan diwakili oleh Ebiet G Ade “Jangan lihat siapa bicara
tapi dengar apa katanya” di era komunikasi digital ini berganti menjadi “lihatlah siapa yang bicara dan lihat pula apa katanya.”
Comments are Closed