Cerita Kebangkitan
Oleh: M. Tata Taufik
WARUNG di area peristirahatan (rest area) jalan tol beragam, kalau tidak dibilang seenaknya, membubuhkan harga. Teh tawar, misalnya. Di satu tempat dihargai normal, Rp5 ribu. Di tempat lain, sekadar air panas disemati harga mencapai Rp10 ribu.
Satu buah kerupuk bahkan dihargai Rp20 ribu, sama seperti harga semangkuk mi instan rebus di salah satu SPBU di Kota Bandung. Banderol yang beragam itu terbentang di rest area jalan tol ruas Pemalang hingga Merak.
Pada masa lalu–sebelum kecerdikan mencari untung dengan pola perhitungan dagang yang demikian ketat–kita bisa menemukan beberapa jenis makanan atau minuman yang diberikan cuma-cuma. Seperti teh tawar, air putih, serta lalap sambal di warung nasi khas Sunda yang disediakan gratis.
Kini, kenyataan seperti itu nyaris sulit ditemui; semuanya serba berbayar. Masih untung kalau tertera harga sebagaimana dalam daftar menu. Memberi kesempatan kepada pelanggan untuk memilih berani membeli atau tidak.
Semakin materialistis
Kiat berdagang sudah semakin materialistis dan serba memperhitungan untung-rugi, sesuai pelajaran yang didapat dari teori pemasaran. Kios-kios masakan siap saji yang tadinya dengan cuma-cuma memberi air minum, sekarang tidak lagi. Menggantinya dengan menyediakan minuman botol atau gelas buatan pabrik, seakan memaksa para pelanggannya untuk membeli minuman tersebut jika tidak ingin kehausan. Sama halnya dengan kiat buy one get one free yang marak dipakai di berbagai kios atau toko serba ada.
Belum lagi penentuan harga dengan nominal yang sulit untuk mendapatkan kembaliannya. Seperti, menambahkan nominal Rp50 yang mengharuskan pengembalian dengan nominal tersebut. Dalam praktiknya, tidak pernah terjadi. Menawarkan gantinya dengan permen. Artinya, lagi-lagi terjadi praktik manipulasi harga dalam berdagang.
Tapi di belahan dunia lain, dapat ditemukan restoran yang menyajikan makanan pembuka secara free, gratis. Ketika kita memesan menu yang tertera dan sambil menunggu pesanan datang, dihidangkan makanan pembuka. Saat ditanya, “saya tidak pesan ini.” Pelayan menjawab, “ini cuma-cuma untuk kamu.”
Itu salah satu jamuan di kedai makanan siap saji di Karde?ler Kebap & Cafe Cihangir, Istanbul, Turki. Ketika kita memesan makanan take away, sambil menunggu pesanan siap, berkali-kali pelayan menyajikan segelas teh manis. Jika sudah habis langsung diganti dengan yang baru dan begitu seterusnya sampai makanan yang dipesan siap.
Terlepas dari apakah makanan pembuka atau teh manis yang disuguhkan itu sudah masuk dalam perhitungan harga menu pesanan atau tidak, tapi cara perlakuannya sungguh berbeda. Jika kasus awal ada harga yang disembunyikan dan baru dipukul ketika saat bayar, tentu melahirkan kekecewaan bagi pelanggan.
Sementara, pada kasus kedua menunjukkan rasa kemanusiaan dan bisa melahirkan simpati. Tentu saja akibatnya sangat bisa menguntungkan bagi penjual.
Jika yang pertama melahirkan rasa jera dan tidak mau kembali lagi, sedangkan yang kedua melahirkan simpati dan kepercayaan sehingga bisa mengundang kunjungan berikutnya.
Dari sudut pemasaran, kasus kedua bisa dimaknai kiat (meminjam istilah Bondan Winarno) untuk menggaet pelanggan agar bisa datang dan datang lagi. Bisa juga dimaknai keramahan dan kedermawanan para penjual di negeri seberang sana. Suatu nilai yang dahulu kala pernah ada di negeri kita ini.
Matematika Ilahiyah
Cerita lain apa yang ditemui penulis saat berkumpul untuk makan siang bersama teman-teman di Rumah Makan Lesehan Sambel Ijo Rajabasa, tepatnya di wilayah Sawo, Ponorogo, Jawa Timur. Pertama kali masuk sudah disuguhi gambar yang terpampang di sekeliling rumah makan yang menginformasikan siapa-siapa saja yang pernah mampir di situ.
Terdapat pula berbagai tulisan seperti “Adab Makan & Minum: Saat makan dan minum tidak tergesa-gesa, tidak berceceran dan seterusnya.” Ada pula tulisan, “Makan tidak habis didenda Rp10.000. Lalu, “Bagi anak yatim/piatu, ibu hamil, penghafal al-Qur’an makan gratis dan yang puasa Senin-Kamis berbuka gratis.”
Pada awalnya penulis tidak begitu perhatian dengan slogan-slogan yang terpampang itu. Tapi, setelah teman-teman pergi dan kami tinggal berempat, tiba-tiba ada yang menawarkan kopi. “Kopi, Pak,” ujarnya. Kemudian kami pun mengiyakan.
Ternyata yang menghampiri kami dan menawarkan kopi itu adalah Mas Ilham, pemilik rumah makan tersebut. Dengan semangat ia bercerita bagaimana ia mengembangkan usahanya yang baru beberapa bulan itu.
“Kita mengembangkan usaha ini dengan berbagi, Pak. Pada awalnya kami hanya menggratiskan makan bagi yatim piatu. Lalu bagi penghafal al-Qur’an. Lalu dikembangkan lagi ke ibu hamil. Kenapa ibu hamil? karena mereka itulah yang memperpanjang umur kemanusiaan,” kira-kira seperti itulah pesan yang disampaikan Mas Ilham.
“Dari mana ada pemikiran seperti itu muncul?” Tanya kami.
“Ya, saya dulu hidup di jalanan. Banyak mengalami berbagai hal. Lalu saya pulang ke kampung dan mulai berjualan nasi kucing. Terus banyak yang bertanya adakah menu pecel lele dan lainnya. Akhirnya kita buatlah rumah makan ini.”
“Alhamdulillah berkah. Dan prinsip kami, ya, itu dengan berbagi, rezeki jadi mudah.”
“Idenya dari mana?” tanya kami lagi.
“Ya, penemuan saja selama perjalanan usaha,” jawab Mas Ilham. Lalu penulis menyela pembicaraannya. Ada hadis Nabi Muhammad SAW: Gapailah rezeki dengan sedekah.
Cerita ini mungkin baik untuk ditiru para pedagang lainnya. Bahwa matematika Ilahiyah itu bukan 1+1=2, tapi bisa 1+infak dan sedekah bisa menjadi 700 atau lebih. Inilah kiat berdagang dengan pendekatan ajaran agama.
Maka slogan HUT ke-77 Kemerdekaan RI berbunyi “Pulih Lebih Cepat Bangkit Lebih Kuat” akan bisa terwujud jika orang-orang seperti Mas Ilham memenuhi negeri ini. Mencari rezeki dengan berbagi.[]
Sumber, Pilar Medcom 19 Agustus 2022.
Comments are Closed