media berbagi dan silaturahmi

Majelis Masyayikh, Menag & Regulasinya

Print Friendly, PDF & Email

M. Tata Taufik[*]

Pada 30 Desember lalu Menag mengukuhkan 9 Kiai sebagai Majelis Masyayikh yang bertugas menyelenggarakan Penjaminan Mutu pendidikan pesantren. Kelahiran lembaga yang diharapkan menjadi penentu arah kemajuan pesantren itu bukan hal yang tiba-tiba, tapi melalui proses panjang melibatkan para pimpinan pesantren dalam tahapan-tahap diskusi dan rancangan regulasi serta pada akhirnya melahirkan UU No. 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren. Seingat penulis perjalanan itu dimulai sejak tahun 2007 di Wisma YPI Ciawi Bogor.

Ada beberapa alasan kuat yang mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan berkenaan dengan pengakuan kesetaraan (muadalah) bagi pesantren yang dinilai memiliki kapasitas dan kelayakan untuk disetarakan lulusannya dengan lulusan pendidikan formal yang ada di Indonesia. Beberapa alasan tersebut di antaranya: Terdapat beberapa pesantren yang mendapatkan muadalah (penyetaraan lulusannya) dari beberapa perguruan tinggi Internasional  sebut saja Pondok Modern Daarusaalam Gontor Ponorogo Jawa Timur, mendapat pengakuan dari Kementerian Pendidikan dan Pengajaran Mesir (1957) dan Kementerian Pengajaran Kerajaan Arab Saudi (1967). Selanjutnya Universitas Islam Antarbangsa Malaysia (IIUM) tahun 1983, dan University of the Punjab (PU), Lahore, Pakistan, 1991. Dengan pengakuan tersebut, lulusan Gontor bisa meneruskan studi ke jenjang sarjana di Universitas Al-Azhar Mesir dan Universitas Islam Internasional Madinah, dan universitas lain seperti tersebut di atas. Sementara di Indonesia hanya IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menerima lulusan Gontor dan pesantren semisal seperti Al-Amin Prenduan Madura, Pabelan Muntilan Jawa Tengah.

Kemudian ada lebih dari 30 pesantren yang mendapat pengakuan Al-Azhar  Cairo Mesir yang menyebar di seluruh Indonesia Seperti Pesantren Al-Anwar Sarang, PP Darunnajah Jakarta, Madrasah Miftahul Ulum Pamekasan, Madura, Madrasah Muallimin dan Muallimat, Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras Jombang Jatim dan pesantren lainnya.

Perkembangan Pesantren Muadalah Sejak 2014:

Setelah terbitnya PMA No. 18 tahun 2014 –peraturan menteri agama pertama sebagai turunan dari PP 55 tahun 2007– pesantren muadalah semakin berkembang, dari segi jumlah juga semakin meningkat, berbagai usaha pembenahan juga mulai dilakukan.

Pada tahun 2015 tercatat ada 48 satuan Muadalah dan pada tahun berikutnya 2016 tercatat ada 79 satuan Muadalah, serta pada tahun 2017 ada 81 Pesantren dan tahun 2018 terdapat 98 pesantren. 

Adapun 18 Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam tentang Penetapan Status Kesetaraan Satuan Pendidikan Muadalah bagi pesantren yang mendapat kesetaraan tahun 2016 diserahkan langsung Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin bersamaan dengan momentum pertemuan alumni Gontor dalam rangka Peringatan 90 Tahun Pondok Gontor ke-90, pada hari Jum’at 2 September 2016. Pesantren sebagai lembaga berjumlah 56 pesantren yang mendapat penyetaraan sampai tahun 2018, sedangkan sebagai satuan muadalah karena ada pemisahan tingkat Tsanawiyah dan Aliyah maka jumlahnya menjadi 98.

Sejak tahun 2014 Kemenag dalam hal ini Dit PD Pontren  aktif menyelenggarakan workshop untuk memenuhi kebutuhan perangkat aturan turunan dari PMA 18 Tahun 2014. Adapun beberapa hal yang harus disiapkan antara lain seperti Pedoman Izin Pendirian Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren, Kompetensi dan  Kurikulum Satuan Pendidikan Muadalah pada pondok pesantren jenis Salafiyah. Kompetensi dan  Kurikulum Satuan Pendidikan Muadalah pada pondok pesantren jenis Mulaimin. Pedoman Penyelenggaraan Ujian Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren. Pedoman Pendidik dan Tenaga Kependidikan.  Pedoman Bantuan Operasional Santri SPM. Dalam penyusunan ketentuan tersebut PD Pontren menggunakan pendekatan Bottom-Up yakni dengan melibatkan pihak pesantren.

Sebagai tindak lanjut dari usulan di atas pada rentangan tahun 2016 tepatnya 20 September 2016 hingga 20 Maret 2017 menyelenggarakan studi untuk Pengembangan Kapasitas Pesantren (Developing Capacity Of Pesantren). Studi tersebut dilaksanakan oleh ACDP (Analytical and Capacity Development Partnership) kerjasama antar Kementerian Agama dan Bappenas. Studi tersebut cukup beralasan  karena Kemenag telah menerbitkan PMA 13/2014 dan PMA 18/2014 yang berarti mengenalkan bentuk pendidikan baru yang setara dengan pendidikan formal.

Studi tersebut hanya dibatasi untuk memberikan data kepada Kementerian Agama serta memberikan opsi kebijakan untuk penguatan PDF dan SPM. Adapun jumlah pesantren yang disurvei sebanyak 293 pesantren dari 8 provinsi di Indonesia. Sedangkan type pesantren yang disurvei anatar lain; pengelenggara PDF 13 pesantren, penyelenggara Nu’adalah 42 pesantren dan Pesantren type lain 238.

Dari responden tersebut 79% menyetujui perlunya perumusan Visi dan Misi bagi pesantren penyelenggara Pendidikan Diniyah Formal dan Muadalah. 98% menyatakan perlunya paduan bagi penyelenggaraan pesantren dan 94% menyatakan perlu adanya pelatihan penyusunan visi misi tersebut. Sementara berkenaan dengan kurikulum pesantren penyelenggara PDF dan Muadalah menyatakan perlunya pelaksanaan kurikulum yang mencakup mata pelajaran umum, dengan perbandingan 85%-15% yang disetujui oleh 83% responden (DR. Daniel Moulton at All 2017).

Ada tujuh point temuan studi ACDP & PD Pontren Kemenag RI yang merupakan hasil dari beberapa FGD dan survei lapangan di beberapa pesantren di Indonesia yang disampaikan dalam laporan eksekutifnya tertanggal 23 Maret 2017 menggambarkan Satuan Pendidikan Muadalah (SPM) sebagaimana bisa dilihat dalam tabel berikut.

Tabel

Temuan Studi Tentang Muadalah Oleh ACDP

NoMateri KajianKesepakatan Peserta FGDAlasan
1PMA No. 18 Tahun 2014 Tentang Satuan MuadalahDiterima secara positif oleh para pemimpin pesantren dan staf kementerian Agama daerahMemeberikan pengakuan hukum dan menunjukkan perhatian dan dukukungan pemerintah terhadap pendidikan keagamaan.
2Persyaratan 300 santri mukim di pesantren dan tidak mendapat akses jenis pendidikan formal apapunDirasakan memberatkan bagi penyelenggaraBanyak pesantren yang memiliki reputasi baik tapi jumlah santri di bawah 300
3Standar Manajemen berdasarkan peraturanHarus diterapkan standar manajemen minimum.Secara berangsur bisa mengikuti standar yang ditentukan.
4Standar Kurikulum dan EvaluasiPesantren Muadalah harus punya otoritas untuk mengembangkan kurikulum.Proses belajar/ mengajar untuk mencapai standar kompetensi santri harus diserahkan sebagai tanggung-jawab masing-masing pesantren.Standar minimal ditetapkan Kemenag. Diberikan kewenangan untuk menentukan mata pelajaran ujian akhir dan menyelenggarakan ujian akhir di masing-masing pesantrenPesantren mu’alimin sudah memiliki sejarah mengitegrasikan mata pelajaran umum dan agama. Bentuk rekognisi atas keunggulan pesantren.Memelihara kekhasan masing-masing pesantren.Memelihara kemandirian dan otonomi pesantren.  
5IjazahDiterbitkan oleh pesantren dan ditandatangani oleh Pimpinan dan Kepala SPMKewenangan dan Otoritas Pesantren
6Penjaminan MutuLembaga Penjaminan Mutu terdiri dari Majelis Masyayikh dan ahli pendidikan pesantrenMemahami pesantren secara utuh
7Profesionalisme Guru/UstadzPerlu pengembangan dan sertifikasiMenuju pesantren lebih baik
Disarikan dari sumber: (Tim ACDP & DIrektorat PD Pontren 2017)

Mempertahankan Tradisi Pesantren:

Gambaran tersebut menunjukkan betapa kuatnya pesantren dalam mempertahankan tradisi dan model pendidikan yang selama ini dianutnya. Ini juga ditegaskan oleh  KH Maimun Zubair ketika ditemui pada tanggal 22 September 2017 lalu serta diminta pandangan beliau tentang mua’dalah menyatakan  “Cuma di Indonesia yang masih ada pengkajian kitab-kitab kuning, dan harus tetap dipelihara. Di beberapa negara sudah ditinggalkan pengkajian tersebut. Di Sarang ini ya ngaji kitab, dan yang cocok untuk Sarang yang muadalah.” Ungkapnya.

Demikian juga halnya dengan model pesantren modern, Diakui atau tidak lulusannya Gontor ya tetap KMI (Kuliatul Mu’alimin al-Islamiyah) hal ini sering diungkapkan oleh para pimpinan Gontor seperti KH. Hasan Abdullah Sahal dan KH. Prof Dr Amal Fatullah Zarkasyi dalam berbagai kesempatan pembahasan muadalah.

Bahkan KH Lukman Haris Dimyathi dari pesantren Tremas selalu menyatakan bahwa muadalah harus tetap diperjuangkan, dan apa yang sekarang sudah dilegalkan (PMA.13 dan 18 Tahun 2014) adalah merupakan hasil perjuangan panjang para masyayikh. Sedangkan KH Subhan Salim (almarhum) dari Mathali’ul Falah Kajen menyampaikan prinsip-prinsip yang harus dipegang oleh pesantren muadalah ada lima hal: Pertama kemandirian; maksudnya kemandirian pesantren dalam menentukan materi ajar, model evaluasi, penerbitan ijazah dan mengelola pesantren. Ksedua keberagaman; bahwa pesantren itu banyak ragamnya dan semuanya harus dipelihara dalam arti tidak boleh ada penyeragaman pesantren karena dominasi atau peraturan yang mengarah pada penyeragaman konten maupun sistem serta budaya yang berlaku di pesantren. Ketiga kebersamaan; ini menujukkan bahwa pesantren muadalah baik dari salafiyah maupun modern/ pola mualimin harus senantiasa bersama-sama bersatu sebagai kekuatan pesantren muadalah. Keempat kejuangan; artinya pesantren muadalah adalah hasil perjuangan, maka kepada para pelanjut pengelola muadalah harus memahami bahwa muadalah itu hasil perjuangan pendahulunya dan harus tetap dipertahankan sebagaimana yang dikehendaki oleh para pelopor pemuadalahan. Kelima tafaquh fidin; artinya kerangka besar pesantren muadalah adalah untuk memelihara dan menyokong kegiatan tafaquh fidin, karenanya pesantren penyelenggara muadalah bersikeras untuk senantiasa memelihara filosofi dan konsep pendidikan berdasar pada bangunan tradisi pesantren, dan berhati-hati dalam menerima perubahan dari luar. Demikian disampaikan pada Workshop Tata Kelola Penyelenggara Satuan Pendidikan Muadalah 10-11 Oktober 2018 di Yogyakarta.   

Hal seperti ini sudah disadari oleh para tokoh yang lahir dari kalangan pesantren sebelumnya seperti Nurcholis Madjid yang menyatakan: bahwa untuk memainkan peranan besar dan menentukan dalam ruang lingkup nasional, pesantren-pesantren kita tidak perlu kehilangan kepribadiannya sendiri sebagai tempat pendidikan keagamaan. Bahkan tradisi-tradisi keagamaan yang dimiliki pesantren-pesantren itu sebenarnya merupakan ciri khusus yang harus dipertahankan,karena di sinilah letak kelebihannya (Madjid 1997).

Majelis Masyayikh Vs Menag:

            Setelah disepakati perlunya lembaga Penjaminan Mutu sebagaimana tercantum pada point 6 hasil studi ACDP tersebut, istilah Penjaminan Mutu itu sendiri baru dimunculkan sebagai hasil kajian atas PMA 18 Taun 2014 Bagian Kesepuluh dengan istilah Akreditasi, kemudian dikembangkan menjadi konten UU No. 18 tahun 2019 Tentang Pesantren tercantum pada paragraf 2, 3 dan 4, dari pasal 25 sampai 32.

            Teknis pembentukan Majelis Masyayikh (MM) itu kemudian diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 31 Tahun 2020. Pada Bab II tentang pembentukan Majelis Masyayikh (MM) dan Dewan Masyayikh (DM), di situ tertulis tahapan-tahapn dana segala persyaratannya. Seperti termaktub dalam pasal 75  bahwa menteri menetapkan calon anggota MM  menjadi anggota MM  dengan Keputusan Menteri. Jadi mekanismenya adalah, AHWA mengajukan nama dan menteri memutuskan sesuai dengan ajuan AHWA, serta harus proporsional, maksud proporsional itu, pada saat FGD rancangan PMA ini adalah keterwakilan setiap variant pesantren yang ada.

Sayangnya pada saat MM dikukuhkan ternyata prinsip proporsionalitas itu diabaikan Menag, bahkan dari jumlah usulan 21 orang calon MM hanya diambil 9 orang sesuai ketentuan minimal, padahal jika beritikad baik dan memperhatikan proporsionalitas akan lebih bijak jika mengambil jumlah maksimal sesuai amanat PMA yang diterbitkan oleh kementerian yang dipimpinnya. Menurut keterangan dari beberapa pihak termasuk Di PD Pontren dan beberapa anggota AHWA, bahwa tim AHWA mengajukan 21 nama calon MM yang merupakan representasi dari berbagai type pesantren, namun yang diputuskan menteri hanya 9 orang sehingga menunjukkan tidak adilan dalam menyikapi pesantren.

            Terakhir dapat disarankan bahwa untuk menjaga dan menata mutu pesantren anggota MM ditambah menjadi 17 orang dan mencerminkan keterwakilan dari berbagai unsur atau type pesantren sebagaimana tertuang dalam regulasinya. Sebagai tambahan yang harus diperhatikan menteri adalah bahwa penyusunan regulasi baik pada level UU maupun pada level Peraturan Menteri, sudah merpakan hasil kesepakatan dan sudah dipikirkan bagaimana knsep pengembangannya ke depan. Wallahu A’lam.


[*] Praktisi Pesantren dan Presiden Perhimpunan Pengasuh Pesantren Indonesia

Comments are Closed