media berbagi dan silaturahmi

Aset Maknawi

Print Friendly, PDF & Email

Aset suatu kata yang sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari, terutama jika topik pembicaraan terkait dengan masalah ekonomi dan kenegaraan.

Secara Bahasa aset menurut KBBI adalah sesuatu yang mempunyai nilai tukar, aset juga diartikan modal atau kekayaan. Dalam Bahasa Inggris Asset memiliki pengertian yang sama, dalam bahasa Arab al-Ashl (الأصل).

Dalam dunia usaha dikembangkan konsep masyarakat sebagai aset bagi perusahaan, diasumsikan bahwa masyarakat setiap saat ada saja yang melakukan usaha atau membuka usaha baru, untuk mengembangkan pemasaran produknya, perusahaan akan memandang bahwa kegiatan masyarakat dalam membuka usaha itu sebagai aset, artinya jika setiap 5 menit ada orang yang membuka katakanlah warung baru, maka tim pemasaran harus mendatanginya untuk dihimpun menjadi aset yang bisa dijadikan pengembangan perusahaan. Jadi tidak ada alasan bagi tim pemasaran untuk tidak mendapatkan outlet baru setiap harinya.

Dalam hal ini bisa juga tradisi dan pola hidup masyarakat yang dinilai sebagai aset, Tradisi minum kopi misalkan pada tahun 70an biasanya warung-warung kecil di pedesaan menjual kopi bubuk plus gula dalam kemasan kertas (seperti pejual kacang rebus di jalanan) lalu oleh perusahaan kopi dikembangkan kopi + gula yang dijual dalam rentengan sachet untuk sekali seduh yang kini menjamur dengan berbagai varian. Belum lagi tradisi keagamaan seperti hari raya dan puasa yang dipandang sebagai aset untuk memacu penjualan produk tertentu.

Intinya ada pandangan bahwa “manusia” dari berbagai aspeknya dipandang sebagai aset oleh manusia lainnya, berbicara masalah aset berarti berbicara keuntungan yang didapat, atau modal yang bisa menghasilkan keuntungan. Memandang orang lain sebagai aset itu bisa berdampak positif atau negatif. Cara pandang seorang penipu ketika bertemu dengan seseorang, mungkin akan berpikir bahwa orang tersebut adalah calon sasarannya (calon korbannya) demikian juga pencopet dan lainnya yang memang pekerjaannya merugikan orang lain untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, ini contoh dari dampak negatif.

Ada orang lain lagi dengan profesi pedagang akan memandang orang yang ditemui di sekitarnya sebagai sasaran penjualan atau calon pembeli dari dagangannya, begitu juga dengan kegiatan positif lainya yang tidak bertentangan dengan norma dan ketentuan yang disepakati: baik-buruk, ala-haram, boleh-tidak boleh.

Pembicaraan tentang aset ini penulis akan membawanya kepada kehidupan sehari-hari sebagai individu yang pada dasarnya dalam kehidupan ini sedang berusaha menjadi baik dan menggapai keuntungan secara makro. Dalam arti bukan sekedar keuntungan kebendaan tapi juga keuntungan maknawi yang bisa bermanfaat baik di dunia maupun akhirat.

Ada sabda Rasulullah SAW berkenaan dengan cara pandang sesuatu sebagai aset yang menguntungkan bagi seseorang, Hadis riwayat Abu Hurairah ra yang menyatakan  bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh sangat terhina dan rendah seseorang yang saat namaku disebut, dia tidak bershalawat kepadaku, Sungguh sangat terhina dan rendah seseorang yang datang kepadanya Ramadhan kemudian bulan tersebut berlalu sebelum diampuni dosa-dosanya, Sungguh sangat terhina dan rendah seseorang yang mendapati kedua orang tuanya lalu keduanya tidak memasukkannya ke dalam surga”. (HR. Tirmidzi).

Hadis ini dalam keterangannya disebutkan bahwa Rasulullah suatu saat mengucapkan amin, amin, amin, lalu para sahabat bertanya kenapa ya Rasulullah? Kemudian beliau menjawab bahwa telah datang Jibril as dan memerintahkannya untuk mengaminkan atas apa yang akan disampaikannya, lalu Jibril menyampaikan hadis di atas.

Dari hadis ini kita bisa melihat bagaimana Rasulullah SAW mengajarkan cara pandang terhadap tiga hal di atas, yang dipandang sebagai aset  menguntungkan bagi seseorang. Pertama penyebutan nama Muhammad Rasulullah yang didengar, adalah aset bagi pendengarnya untuk mendapat keuntungan dengan bershalawat kepadanya (siapa yang bershalawat kepadaku satu kali Allah akan bershalawat kepada orang tersebut sepuluh kali), kedua memandang Ramadlan sebagai aset untuk mendapat ampunan dan ketiga memandang orang tua sebagai aset yang harus diusahakan agar bisa memasukkan dirinya ke surga nanti; dengan senantiasa berbakti dan berbuat baik kepada keduanya.

Baik yang disadari atau tidak, disadari dalam kehidupan sehari-hari ada banyak hal yang bisa kita jadikan “sumber keuntungan” dari orang-orang yang ada di sekitar kita maupun dari para pendahulu kita sesama muslim dan orang-orang saleh. Bahkan dalam sembahyang sekalipun seperti pada saat duduk tasyahud (tahiyat) doa yang dipanjatkan adalah memohonkan keselamatan untuk nabi, untuk diri sendiri danorang-orang saleh,  serta shalawat kepada nabi. Saat saling berjumpa juga kita mohonkan keselamatan untuk orang yang kita jumpai, kita juga senantiasa mendoakan orang-orang terdahulu, sesama kaum muslimin, semuanya menunjukkan bahwa ada aset dari setiap orang yang ditemui maupun yang dikenali atau tidak dikenali untuk membuat kita selamat dan berhak menyandang pahala.

Kembali menilik hadis di atas, dengan menggunakan pola yang dipakai dalam memandang sesuatu sebagai aset yang bisa menguntungkan, maka bisa dikembangkan secara mendiri dengan mengajukan beberapa  pertanyaan:

  • Bila ketemu seseorang bisakah orang itu memasukkan (menjadi wasilah) aku ke surga?
  • Sebagai orang tua, bisa bertanya bisakah anak-anakku memasukkan aku ke surga?
  • Sebagai teman sejawat, atasan, bawahan, pengurus organisasi, pejabat negara, profesi, sebagai guru atau murid, sebagai pelaku usaha, sebagai tetangga dan seterusnya bisa mengajukan pertanyaan serupa.

Sebagai penutup dapat disampaikan bahwa prestasi yang kita capai hari ini boleh jadi karena doa-doa sesama muslim yang senantiasa mereka panjatkan, karena penghargaan yang mereka berikan serta karena kebaikan mereka. Pendek kata kita adalah aset bagi sesama, dan mereka adalah aset bagi kita. Karena hidup adalah perdagangan –meminjam istilah al-Qur’an.

Pilar Medcom.id 22 Feb 2021

Comments are Closed