Mi’raj
Mi’raj
Di bulan Rajab dari penanggalan Hijriyah biasa diperingati Isra Mi’raj, terutama serentak pada tanggal 27walau ada juga yang memperingatinya sejak awal masuk bulan tersebut tentu mengingat kesepakatan dari panitia karena berbagai alasan berkisar pada timing dan kesiapan khalayak suatu komunitas.
Isra Mi’raj merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang harus diyakini kejadiannya oleh setiap kaum muslimin. Ada dua kejadian yang terjadi dalam satu malam, pertama isra’ yang berarti perjalanan di malam hari sebagaimana diabadikan (diinformasikan) dalam al-Qur’an pada surat 17 ayat 1. Kejadian kedua adalah mi’raj sebagaimana diinformasikan dalam al-Qur’an surat 53 dari ayat 13-18. Pada surat ini dijelaskan bagaimana Nabi Muhammad SAW menuju Sidratul Muntaha; suatu batas semesta yang dapat diketahui para malaikat (https://quran.kemenag.go.id/sura/53).
Isra secara bahasa berarti perjalanan di malam hari, dan mi’raj berarti naik dalam hal ini naik ke sidratul muntaha. Sidratul muntaha secara bahasa berarti batas pencapaian tertinggi. Kata sidrah sendiri berarti pencapaian dalam bahasa inggris disebut achievement.
Secara istilah isra mi’raj berarti diperjalankannya Nabi Muhammad SAW di malam hari dari Mesjid al-Haram di Makah ke Mesjid al-Aqsha di Palestina kemudian naik menuju sidratul muntaha ditemani Jibril as untuk diperlihatkan kepadanya tanda-tanda kekuasaan Allah serta menerima wahyu Allah SWT tentang kewajiban salat lima waktu.
Peristiwa ini disebutkan terjadi pada tahun 11 kenabian, ada yang menyebutkan tahun 10 kenabian dan ada yang menyebutnya 1 tahun sebelum hijrah ke Yatsrib (Madinah). Peristiwa ini terjadi setelah bertubi-tubi kejadian yang menimpa Nabi Muhammad SAW, antara lain wafatnya Siti Khadijah dan paman beliau Abu Thalib yang selalu mendukung kegiatan dakwah beliau. Kemudian semakin kerasnya perlakuan kaum musyrik Quraisy terhadap beliau, termasuk warga Thaif yang memperlakukan beliau dengan kasar saat hijrah ke Thaif.
Setelah rentetan kejadian tersebut maka Allah mengangkat derajat dan memuliakannya dengan meng-isra dan mi’rajkan beliau sebagai respons atas kondisi hatinya saat itu. Ini tercermin dalam ungkapan “Sesungguhnya Dia, yaitu Allah adalah Maha Mendengar perkataan hamba-Nya, Maha Mengetahui tingkah laku dan perbuatannya” QS 17:1. Di akhir ayat ini, Allah SWT menjelaskan bahwa Dia Maha Mendengar bisikan batin para hamba-Nya dan Maha Melihat semua perbuatan mereka.
Ada tiga surat dalam al-Qur’an terkait dengan isra mi’raj, pertama surat al-Isra (70) yang menjelaskan proses Isra, kedua surat al-Najm (53) menjelaskan Sidratul Muntaha seperti diungkap di atas, dan ketiga surat al-Maarij (70). Pada surat terakhir ini menggambarkan karakteristik manusia yang selalu berkeluh kesah, kecuali orang yang salat dan karakteristik lain turunannya, gambaran tersebut dimulai dari ayat 19 hingga ayat 35.
Secara rinci disebutkan karakteristik antara lain: Manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir, kecuali orang-orang yang melaksanakan salat, tetap setia melaksanakan salatnya, Peduli terhadap orang miskin dengan menyisihkan hartanya untuk mereka, mempercayai hari pembalasan, takut terhadap azab Tuhannya, memelihara kemaluannya, memelihara amanat dan janjinya, berpegang teguh pada kesaksiannya, memelihara salatnya. Sebagai pahalanya mereka dimuliakan di dalam surga. Sebagaimana tergambar juga dalam surat 23 (al-Mu’minun) ayat 1-11.
Urutan peristiwa hijrah dapat dipahami sebagai berikut; pertama suasana hati yang tertekan oleh berbagai pengalaman yang –terasa—menyakitkan, direspons dengan isra dan mi’raj “rekreasi spiritual” hingga mencapai pencapaian tertinggi yang bisa digapai untuk kemudian menemukan metode dan media pencapaian tertinggi tersebut bagi manusia dalam kehidupannya yaitu salat.
Sampai di sini sangat baik ungkapan para ulama yang menyebutkan “salat sebagai mi’rajnya kaum mu’min”, salat yang baik (fokus) diibaratkan sebagai suasana mi’raj naik menanjak untuk menghadap dan berkomunikasi dengan Allah SWT; mengadukan permasalahan dan menyeru serta memohon bantuan Yang Maha Agung dengan penuh kesadaran jiwa dan ketundukan raga yang digambarkan dengan gerakan kepatuhan.
Walhasil ibadah salat yang pewahyuannya (ketentuan kewajibannya) didapat dengan proses isra dan mi’raj memiliki peran dalam membedakan pelakunya dengan yang lain. Beberapa kebaikan perilaku dan sikap akan terpancar dari salat yang baik, nilai-nilai seperti kemampuan menjaga diri, menjaga kehormatan, kepedulian terhadap sesama, kedermawanan, keadilan dan menjaga amanat akan tertanam pada pribadi yang mendirikan salat. Semua sifat dan sikap terpuji tersebut merupakan pencapaian tertinggi yang bisa digapai manusia dalam hidupnya.
Dengan peringatan isra mi’raj diharapkan terbentuk cara pandang baru dalam berbuat kebaikan semasa hidup untuk menjadi pribadi yang lebih bermakna bagi dirinya dan bagi orang lain serta mampu menebar suasana kedamaian; tidak dipenuhi keluh kesah.
Dari sini akan terbaca pesan isra mir’aj yang dapat dibahasakan: pelajari dan perluaslah cakrawala ilmu dan pengetahuan untuk mengenal betapa agungnya kekuasaan Allah. Jangan keluh kesah, salatlah dengan baik; salat yang mampu membentengi pelakunya dari perbuatan keji dan munkar. Jangan pelit, berbagilah dengan sesama, jangan berbuat zina, ingat akan adzab Allah, dan hindarilah, berlakulah adil dan jaga amanat yang diembankan kepadamu, tetap dirikan salat dan jangan melalaikannya karena hari pembalasan itu ada.
Jika salat diibaratkan mi’raj maka pencapaian tertingginya adalah pemahaman utuh tentang salat bukan saja sebagai kewajiban tapi suatu aktivitas yang mencerminkan hubungan antara manusia dengan Tuhannya untuk menjadi –pada gilirannya—manusia sebagai pribadi yang bahagia dan bisa mentrasfer kebahagiaan kepada yang lain (membahagiakan) pribadi yang tenang dan menenangkan, yang penuh berkah dan memberkahi yang lain.
Pilar Medcom.id 11 Maret 2021
Comments are Closed