Familial Approach (II)
Potret Keluarga Pesantren:
Potret keluarga pesantren setidaknya mencakup struktur keluarga, tujuan, fungsi dan peran, pola interaksi, pola komunikasi termasuk pemahaman simbol dan makna. Secara agak lebih rinci dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Struktur Keluarga di Pesantren:
Struktur keluarga pesantren adalah orang per orang yang hidup di lingkungan pesantren atau warga komunitas pesantren, biasanya terdiri dari kiai, para pembantu kiai seperti utadz dan ustadzah yang membantu kiai dalam penyelenggaraan pesantren, serta santri sebagai peserta didik.
- Kiai:
Dalam istilah pendidikan pesantren, kiai adalah sebutan untuk seorang pemimpin, dan pengasuh, yang memiliki pengetahuan mendalam tentang ajaran Islam, dihormati secara luas, dan menjadi figur sentral dalam seluruh penyelenggaraan dan kehidupan pesantren, terutama di Indonesia.
Terkait dengan penyelenggaraan pesantren menurut UU Tentang Pesantren Pasal 9 ayat (2) Kiai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemimpin tertinggi Pesantren yang mampu menjadi pengasuh, figur, dan teladan dalam penyelenggaraan Pesantren. (Indonesia, 2019).
Kiai dalam konteks pesantren meupakan Figur Sentral: Kiai adalah elemen paling penting dan sering kali pendiri pesantren. Seluruh kegiatan dan arah kebijakan pesantren terpusat pada figur Kiai, dan maju mundurnya pesantren sering kali ditentukan oleh kepribadian dan wibawanya. Kiai juga berperan sebagai visioner yang menentukan arah pengembangan pesantren untuk kepentingan umat, bukan kepentingan pribadi.
Ia berperan sebagai Pendidik dan Guru: Peran utamanya adalah mengajarkan ilmu agama Islam, membimbing, serta mentransformasikan pengetahuan dan nilai-nilai agama kepada para santrinya.
Kiai juga sebagai Pemimpin Spiritual dan Teladan: Kiai berfungsi sebagai pemimpin spiritual (panutan/uswah hasanah) yang membimbing santri dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama, menjaga akhlak, kedisiplinan, dan menjalankan aturan-aturan pesantren.
Dari segi tanggung jawabm kiai sedbagai Pengasuh dan Pembimbing Moral: Memiliki tanggung jawab dalam pembinaan akhlak santri, memberikan nasihat, dan mengarahkan perilaku santri dalam kehidupan sehari-hari.
Kiai sebagai Sumber Ilmu: Santri mematuhi dan menghormati Kiai karena ia diapandang sebagai sumber ilmu pengetahuan di pesantren sekaligus penjaga moral mereka.
Singkatnya, Kiai bukan hanya sekadar guru agama biasa, tetapi merupakan tokoh yang dituakan, dihormati, dan memegang otoritas penuh dalam membimbing umat dan mengelola lembaga pendidikan pesantren secara keseluruhan.
- Ustadz dan Ustadzah:
Dalam konsep Pendidikan pesantren tidak mengenal istilah Tenaga Pendidik, untuk sebutan ini kalangan pesantren biasa menyebutnya Ustadz (laki-laki) atau Ustadzah (Perempuan) yang dikenal dalam istilah Pendidikan di Indonesia –belakangan ini– dengan tenaga pendidik dan kependidikan.
Tugas Ustadz maupun Ustadzah berfungsi untuk membantu kiai dalam penyelenggaraan Pesantren. Hal ini disebutkan dalam pasal 9 ayat (3), Kiai dapat dibantu oleh: a. pendidik dan tenaga kependidikan dengan kompetensi sesuai dengan kebutuhan Pesantren; dan/atau b. pengelola Pesantren. Untuk tugas Pengelola pesantren bertugas membantu kiai dalam hal administrasi pesantren (Indonesia, 2019).
Tugas Ustadz atau Ustadzah dalam membantu Kiai ditetapkan oleh kiai sesuai dengan bidang-bidang yang ada dan biasanya sekurang-kurangnya terdiri dari dua bidang; pengajaran dan pengasuhan serta memiliki tugas dan wewenang masing-masing.
- Santri:
Menurut KBBI: Santri didefinisikan sebagai orang yang mendalami agama Islam atau orang-orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh. Dalam UU No. 18 Tahun 2019 Santri (peserta didik) adalah mereka yang menempuh pendidikan dan mendalami ilmu agama Islam di Pesantren.
Secara umum santri adalah istilah yang digunakan untuk menyebut murid atau pelajar yang menuntut ilmu, khususnya ilmu agama Islam, dan umumnya tinggal di lingkungan asrama (pondok) di dalam sebuah lembaga pendidikan yang disebut pesantren.
Santri bisa juga sebutan untuk slah satu warga komunitas pesantren: Mereka adalah peserta didik yang hidup, belajar, beribadah, dan berinteraksi dalam komunitas berasrama yang diatur oleh nilai-nilai keagamaan dan dipimpin oleh seorang Kiai/Ulama.
Tiga unsur keluarga pesantren di atas (Kiai, Ustadz dan Santri) merupakan struktur inti yang ada dipesantren, biasanya tidak berupa bagan formal seperti perusahaan, melainkan sebuah hierarki sosial dan spiritual yang berpusat pada figur Kiai. Dalam praktiknya dapat dirinci lebih mendalam sebagaimana yang berlaku di banyak pesantren seperti berikut:
Pertama, Inti Keluarga (Pimpinan Pesantren). Bagian ini adalah inti utama yang menjadi pusat spiritual, administratif, dan pendidikan pesantren dan meliputi:
- Kiai/Syaikh (Ayah Spiritual)
- Peran: Pemimpin tertinggi, pengasuh, pendidik utama, dan figur spiritual. Beliau adalah “Ayah” dalam keluarga pesantren.
- Tanggung Jawab: Menentukan kurikulum, menjaga tradisi, memberikan bimbingan spiritual (tarekat/akhlak), dan mengambil keputusan besar.
- Nyai/Istri Kiai (Ibu Spiritual)
- Peran: Pendamping Kiai, pengasuh bagi santri putri, dan manajer urusan domestik pesantren (terutama yang berkaitan dengan santriwati). Beliau adalah “Ibu” yang memberikan kasih sayang dan perhatian.
- Tanggung Jawab: Pendidikan akhlak dan keterampilan keputrian bagi santri putri.
- Putra/Putri Kiai (Gus/Neng/Lora)
- Peran: Pewaris, penerus kepemimpinan, dan sering kali menjabat sebagai pengurus atau pengajar. Mereka adalah “Anak” yang dipersiapkan untuk masa depan pesantren.
- Tanggung Jawab: Membantu Kiai mengajar, mengurus administrasi, dan menjadi jembatan antara Kiai dan para santri/pengurus.
Kedua, Lapis Pengelola (Paman/Bibi dalam Istilah Struktur Keluarga). Lapisan ini membantu Kiai menjalankan roda harian pesantren. Biasanya mereka terdiri dari:
- Dewan Pengasuh/Pengurus Pesantren
- Peran: Badan eksekutif yang menjalankan operasional harian, termasuk keamanan, kebersihan, disiplin, dan logistik.
- Anggota: Biasanya terdiri dari alumni senior, anak-anak Kiai, atau guru-guru yang dipercaya.
- Ustadz/Ustadzah (Guru)
- Peran: Tenaga pendidik yang mengajarkan materi di kelas (madrasah/diniyah) dan juga membimbing di asrama.
- Tanggung Jawab: Melaksanakan kurikulum, membimbing proses belajar santri, dan memberikan contoh teladan.
KetigaLapis Santri (Anak/Adik dalam Struktur). Inilah anggota keluarga pesantren yang paling banyak dan dinamis.
- Santri Senior/Abdi Dalem (Kakak Sulung)
- Peran: Santri yang sudah lama mondok, punya pemahaman agama yang mendalam, dan memiliki kedekatan khusus dengan Kiai. Mereka sering menjadi “Badan Intelijen” Kiai untuk memantau kondisi santri lain.
- Tanggung Jawab: Membantu Ustadz mengajar (sebagai mudabbir atau badal), menegakkan disiplin di asrama, dan memberikan bimbingan kepada santri junior.
- Santri Junior (Adik-adik)
- Peran: Murid yang masih baru atau sedang menempuh pendidikan dasar. Mereka adalah mayoritas populasi pesantren.
- Tanggung Jawab: Belajar, menaati peraturan, dan berkhidmat (mengabdi) kepada Kiai dan pengurus.
Konsep Kunci dalam Struktur Ini adanya Kepatuhan dan hormat (Ta’dzim): Rasa hormat dan kepatuhan mutlak kepada Kiai adalah fondasi “keluarga” ini. Kemudian Khidmah (Pengabdian): Kehidupan di pesantren dipenuhi nuansa “pengabdian” Kiai mendirikan pesantren, mengelola dan mengajar para santri adalah bentuk pengabdian kepada Allah, dalam rangka melayani kepentingan masyarakat; berdakwah, menyebarkan ilmu, dan membina generasi penerus serta membentuk kader-kader yang siap berjuang di masyarakat. Para ustadz/ustadzah mengabdi dalam membantu kiai dan pesantrennya untuk melaksanakan pendidikan dengan baik, niatnya ikhlas sebagai bentuk ibadah menjunjung tinggi tugas dakwah dan pendidikan. Para santri belajar thalabul ‘ilmi diniatkan sebagai bagian dari ibadah dan proses mencari ilmu. Terakhir Ukhuwah Islamiyah: Ikatan persaudaraan yang kuat antar-santri, menciptakan atmosfer kekeluargaan yang intens.
Struktur ini membuat pesantren bukan hanya sekolah, tapi juga rumah kedua tempat Kiai bertindak sebagai ayah spiritual dan Nyai sebagai ibu pengasuh. Ada perbedaan peran dan tugas utama antara anggota keluarga pesantren dengan anggota keluarga umum yang ada di masyarakat. Perbedaan tersebut karena pesantren posisinya sebagai rumah kedua di satu sisi, dan sebagai lembaga pendidikan di sisi lain yang membantu keluarga pertama (keluarga orang tua santri) dalam proses pendidikan putra-putrinya.
Tabel di bawah ini (disandingkan atas bawah) memperlihatkan perbedaan tugas dan peran dari struktur anggota keluarga di pesantren dan keluarga umum. Walaupun demikian secara subtantif lebih banyak kemiripannya. Karena untuk beberapa santri tertentu kiai bisa juga berperan sebagai pemberi nafkah atau berperan secara ekonomi, di samping tugasnya guru dan pengasuh. Di sinilah letak kesulitannya dalam mengeksplorasi kehidupan kekeluargaan di pesantren karena tidak bisa hanya dengan melihat data yang terlihat, tapi juga harus menyelami aspek psikologi dan aspek keberagamaan individual kiai dan santri serta para ustadz.
Tabel 1
| Perbandingan Keluarga Pesantren VS Keluarga secara Umum | ||
| Anggota Keluarga/Struktur | Peran di Pesantren | Tugas Utama Spiritual & Komunal |
| Kiai | Ayah Spiritual (Pengasuh) | Pemimpin tertinggi, pelindung spiritual dan fisik, pendidik utama (agama & akhlak), penentu visi, teladan moral, dan sumber keberkahan. |
| Nyai/Istri Kiai | Ibu Spiritual Pengasuh Putri | Pembimbing dan pendidik akhlak (khususnya santri putri), manajer urusan domestik pesantren, partner Kiai dalam pengasuhan, dan simbol kasih sayang. |
| Santri | Anak Murid Anggota Komunal | Belajar dan mengabdi (khidmah) kepada Kiai dan pesantren, menaati peraturan komunal, berlatih mandiri dan bertanggung jawab, menjaga kehormatan lembaga. |
| Ustadz Ustadzah | Kakak Wali Guru | peraturan komunal, berlatih mandiri dan bertanggung jawab, menjaga kehormatan lembaga. |
| Anggota Keluarga/Struktur | Peran di Keluarga Umum | Tugas Utama Biologis & Ekonomi |
| Ayah | Kepala Keluarga | Pencari nafkah utama, pelindung dan penanggung jawab keamanan fisik dan finansial keluarga, pemimpin pengambilan keputusan, dan pendidik awal. |
| Ibu | Istri Pendamping | Manajer rumah tangga, pengatur keuangan, pendidik utama. |
| Anak | Belajar dan mengabdi (khidmah) kepada Kiai dan pesantren, menaati peraturan komunal, berlatih mandiri dan bertanggung jawab, menjaga kehormatan lembaga. | Belajar, menaati dan menghormati orang tua, membantu pekerjaan rumah tangga, mengembangkan diri secara optimal, dan |
| Anggota Keluarga Lain; Paman, bibi dll | Membantu, Mengasuh | Membantu mendidik akhlak, mendisiplinkan, dan mendukung perkembangan intelektual anak. |
Struktur keorganisasian Pesantren bisa bervariasi antara satu pesantren dengan pesantren yang lain. Struktur tersebut bisa sangat sederhana, bisa juga lebih luas tergantung pada kebutuhan pesantren biasanya sejalan dengan besar kecilnya pesantren dan kompleksitas permasalahan dan pola pendidikan yang diterapkan di pesantren. Pesantren Salafiyah akan berbeda struktur organisasinya dengan pesantren modern. Walaupun demikian secara prinsip memiliki banyak kesamaan.
Dalam UU No. 18 Tahun 2019 diamanatkan struktur organisasi sangat berorientasi pada kekhasan Pesantren dengan model komando tunggal (Single Command) di bawah Kiai. Struktur tersebut dapat diringkas dari pasal demi pasal yang mengandung unsur terkait keorganisasian, secara organisasi struktur pesantren yang sangat sederhana dapat dilihat pada tabel berikut:
Table 2
Struktur Keorganisasian Pesantren
| Tingkat Otoritas | Unsur Keorganisasian | Peran Utama |
| Puncak | Kiai | Pemimpin tertinggi, pengasuh, figur, dan teladan. |
| Pelaksana Kegiatan | Ustadz & Santri Senior | Pembantu Pengasuhan, Pembantu Pengajaran, Pengelola Kegiatan dan Disiplin Santri |
| Penjamin Mutu Internal | Dewan Masyayikh atau Dewan Guru | Menyusun kurikulum dan melaksanakan penjaminan mutu pendidikan internal. |
| Pelaksana Administrasi | Pengelola Pesantren/Tenaga Kependidikan | Membantu fungsi administrasi pengelolaan. |
UU ini memastikan bahwa meskipun Pesantren diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, kekuasaan inti (spiritual dan edukatif) tetap berada pada tradisi dan figur sentralnya, yaitu Kiai.
Tujuan Keluarga Pesantren:
Pembahasan tujuan keluarga pesantren bisa dilihat dari tiga komponen utama yang ada di pesantren antara lain tujuan terkait dengan lembaga pesantren, tujuan pengelola termasuk di dalamnya kiai dan para ustadz, serta tujuan santri sebagai warga terbesar secara populasi yang ada di pesantren.
Pertama, dari segi tujuan kelembagaan; Tujuan Pendidikan Pesantren dijelaskan secara eksplisit dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Secara garis besar, tujuan pendidikan di Pesantren sangat holistik, tidak hanya berfokus pada kecerdasan intelektual, tetapi juga pada pembentukan karakter, moral, dan spiritual. Tujuan institusional pesantren juga bisa dilihat dari rumusan visi-misi pesantren serta pedoman pengelolaan masing-masing pesantren.
Namun di sini penulis menyajikan tujuan institusional sebagaimana tertulis dalam regulasi tentang pesantren. Berikut adalah bunyi Pasal 6 UU No. 18 Tahun 2019 yang mengatur tujuan pendidikan Pesantren: Pendidikan Pesantren bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang mendalami ilmu agama Islam, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan untuk mengembangkan diri dan masyarakat dijiwai dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa (Indonesia, 2019).
Dari pasal tersebut, tujuan kelembagaan (institusional) pendidikan Pesantren dapat dirangkum menjadi empat poin utama yang saling terkait:
Tabel 3
| Tujuan Kelembagaan Pesantren | ||
| No. | Tujuan Utama | Penjelasan |
| 1 | Mendalami Ilmu Agama Islam | Menghasilkan lulusan yang memiliki pemahaman mendalam (tafaqquh fiddin) tentang ajaran Islam (melalui kajian Kitab Kuning/Dirasah Islamiah |
| 2 | Berakhlak Mulia | Membentuk karakter santri yang menjunjung tinggi moral, etika, dan perilaku terpuji sebagai cerminan ajaran Islam. |
| 3 | Memiliki Keterampilan | Membekali santri dengan kemampuan praktis (life skills) untuk mengembangkan diri dan berperan aktif dalam memberdayakan masyarakat. |
| 4 | Berjiwa Kebangsaan | Menghasilkan lulusan yang memiliki semangat persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). |
Tujuan ini menegaskan bahwa Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga keagamaan, tetapi juga sebagai lembaga yang berkontribusi nyata dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang religius, berkarakter, terampil, dan nasionalis.
Kedua, dari sisi pengelola seperti Kiai dan Para Ustadz, tujuan mereka adalah mendidik santri sebagai wujud tanggung jawab terhadap dakwah Islmiyah sehingga semua kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh mereka bernilai ibadah, fisabnilillah dalam rangka mendidik masyarakat dengan pendidikan agama Islam; memberi informasi, membina dan mengasuh para santri agar mereka bisa memahami agamanya serta diaplikasikan dalam kehidupan keseharian, serta menyiapkan kader-kader umat yang akan berkiprah dalam pembangunan bangsa.
Tujuan ini bisa dengan mudah dipahami ketika seseorang memohon restu dan izin kepada kianya untuk mendirikan pesantren misalnya, maka pertanyaan yang pertama kali diajukan oleh sang kiai adalah: “nawaitu kamu apa?” Maksudnya apa niat kamu mendirikan pesantren? Perbaiki dulu niatnya! Dan seterusnya. Pertanyaan seperti ini lazim ditanyakan oleh kiai untuk menghindari niat-niat pragmatis kebendaan dan keduniaan. Kalau jawabannya niat lillahi ta’ala; berdakwah dan menyebarkan agama Allah serta perjuangan membangun umat melalui pendidikan maka sudah dianggap benar dan bisa mendapatkan restu dan dukungan, tapi jika sebaliknya, jangan harap bisa direstui kiai. Karena perjuangan pendidikan pesantren membutuhkan keikhlasan sebagai fondasi utamanya.
Ketiga, dari sisi Santri tujuan kedatangan mereka ke pesantren juga menjadi hal yang utama, dan biasanya diarahkan oleh kiai agar niatnya bersih; untuk ibadah thalabul ilmi. Ibadah menuntut ilmu. Niat untuk mendapatkan pendidikan, hingga siap dididik dan siap belajar dengan sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan.
Alhasil terciptalah hubungan guru murid yang didasari keikhlasan, guru ikhlas mengajar dan mendidik, serta murid ikhlas belajar dan menerima pelajaran serta pendidikan.
Fungsi dan Peran Keluarga Pesantren:
Keluarga memiliki peran penting dalam memberikan dukungan emosional, sosialisasi, dan perlindungan kepada anggotanya. Fungsi lainnya termasuk menanamkan nilai agama dan moral, menyediakan kebutuhan ekonomi, pendidikan, serta melestarikan sosial budaya dan lingkungan. Peran dan fungsi keluarga bisa disarikan dari para tokoh sosiologi yang biasanya mengawali tulisannya tentang kemasyarakatan dengan kajian keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat. Walau kadang kesimpulannya sebatas pada jawaban dari sampel penelitian yang dilakukan; maka tidak heran jika fungsi tersebut terbatas pada fungsi sexual, fungsi ekonomi dan fungsi pendidikan dan sosialisasi (Murdock, 1949).
Lain halnya dengan Ibnu Khaldun yang melihat peran utama keluarga menurutnya berpusat pada pengasuhan dan pendidikan, karena ia percaya bahwa perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan pengajaran.
Pertama, Fungsi Pendidikan dan Pembentukan Karakter (Akhlak): Keluarga adalah lembaga pendidikan pertama dan terpenting. Peran utamanya adalah:
- Pembentukan Tata Krama dan Akhlak: Orang tua bertanggung jawab untuk menanamkan tata krama, adab, dan nilai-nilai agama pada anak sejak dini. Kegagalan orang tua dalam mendidik akan membuat anak dididik oleh “zaman,” artinya mereka akan belajar dari pengalaman hidup yang keras, yang mungkin terlambat atau menghasilkan karakter yang kurang baik.
من لم يؤدبه والده أدبه الزمان
“Barang siapa yang tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman.”
- Pengajaran Secara Bertahap: Pendidikan harus diberikan dengan kasih sayang dan kelembutan, menghindari kekerasan. Konten pendidikan harus disesuaikan dengan perkembangan anak, dimulai dengan pengetahuan dasar dan Al-Qur’an.
- Teladan: Peran orang tua sebagai teladan (contoh) adalah sangat krusial, karena anak-anak belajar melalui peniruan (imitasi) perilaku orang tua dan lingkungan.
Kedua, Fungsi Pengasuhan dan Pemenuhan Kebutuhan Dasar
- Perlindungan dan Pemeliharaan: Keluarga berkewajiban memberikan perlindungan dan memelihara anggotanya, terutama anak yang belum berdaya. Hal ini mencakup pemenuhan kebutuhan fisik (pangan, sandang, papan) serta pemeliharaan ketika sakit atau tua.
- Kasih Sayang dan Kelembutan: Ibnu Khaldun menekankan pentingnya membangun hubungan antara orang tua dan anak dengan fondasi kedekatan, kasih sayang, dan kelembutan, sebagai dasar untuk menghasilkan kepribadian yang baik dan terhindar dari perilaku buruk (Khaldūn, 1995).
Sementara dalam kajian kependudukan dirumuskan ada 8 fungsi keluarga: fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi, dan fungsi pembinaan lingkungan (Direktorat Bina Keluarga Balita dan Anak, 2017). Secara rinci dijabarkan sebagai berikut:
- Fungsi agama dan moral; Keluarga adalah tempat pertama untuk menanamkan nilai -nilai agama, moral, dan etika seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kasih sayang.
Mengajarkan anggota keluarga untuk bersikap toleran dan menghormati perbedaan.
- Fungsi cinta kasih dan emosional; Menjadi wadah untuk menyalurkan cinta, kasih sayang, rasa aman, dan perhatian antar anggota keluarga. Memberikan dukungan emosional saat anggota keluarga menghadapi kesulitan.
- Fungsi perlindungan: Memberikan rasa aman, nyaman, dan perlindungan secara fisik maupun mental dari berbagai ancaman. Menjadi tempat untuk mengadu masalah dan mendapatkan solusi.
- Fungsi sosial dan Pendidikan; Menjadi sekolah pertama untuk mengajarkan interaksi sosial, komunikasi, sopan santun, dan mengenalkan nilai-nilai masyarakat. Menanamkan karakter dan kepribadian yang baik. Mengajarkan pentingnya gotong royong dan kerja sama dalam kehidupan sehari-hari.
- Fungsi ekonomi; Memenuhi kebutuhan ekonomi anggota keluarga seperti sandang, pangan, dan papan. Mengajarkan kedisiplinan, hemat, dan cara mengelola keuangan. Meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin keluarga.
- Fungsi reproduksi; Mengatur dan melanjutkan keturunan secara sehat dan bertanggung jawab. Memberikan edukasi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas.
- Fungsi sosial budaya; Menanamkan nilai-nilai sosial budaya seperti toleransi, gotong royong, dan cinta tanah air. Melestarikan warisan budaya dan adat istiadat.
- Fungsi lingkungan; Mengajarkan anggota keluarga untuk menjaga kebersihan, kesehatan, dan kelestarian lingkungan di sekitarnya.
Dari segi peran secara lebih spesifik, peran keluarga bagi anggota, terutama anak, adalah:
- Pembentuk Kepribadian dan Karakter: Keluarga, khususnya orang tua, berperan sebagai model (role model) perilaku, moralitas, dan kasih sayang yang akan membentuk karakter anak.
- Pemenuhan Kebutuhan Holistik: Memenuhi kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan), psikis (cinta, rasa aman, dukungan emosional), dan sosial.
- Penyedia Dukungan: Berfungsi sebagai teman setia dan tempat meminta bantuan, serta konselor saat menghadapi masalah.
- Pembangun Potensi: Mendorong dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan keterampilan dan potensi dirinya.
Singkatnya, keluarga adalah fondasi bagi seorang individu untuk menjadi pribadi yang matang, berkarakter, dan siap menghadapi tantangan di masyarakat.
Pola Interaksi Pesantren:
Interaksi secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan atau hubungan yang terjadi ketika dua entitas atau lebih saling memengaruhi atau memiliki efek satu sama lain (saling tindak/timbal balik). Secara lebih luas disebut interaksi sosial yang merupakan hubungan timbal balik (aksi dan reaksi) yang dinamis antara: Individu dengan individu; individu dengan kelompok; kelompok dengan kelompok. Semuanya bisa terjadi jika ada kontak sosial dan kounikasi.
Pola interaksi antara anggota keluarga sangat kompleks dan dinamis. Ia terbentuk dari cara anggota keluarga berkomunikasi, mengambil keputusan, menyelesaikan konflik, dan menunjukkan kasih sayang dari waktu ke waktu. Berkaitan dengan pesantren sebagai keluarga kedua, atau rumah kedua bagi para santri dan warga lainnya, seta sifatnya yang merupakan keluarga besar, dan rumah besar, tentu saja memiliki kompleksitas tersendiri.
Interaksi yang berlaku umum di keluarga kecil, atau rumah kesatu bagi anggotanya sekurang-kurangnya ada dua aspek utama; aspek norma dan aturan interaksi; dan rutinitas serta ritual keluarga.
- Norma dan Aturan Interaksi:
Jika diamati secara mendalam sebenarnya dalam interaksi antara anggota keluarga kecil di rumah terdapat norma dan aturan walaupun tidak tertulis, tapi menjadi semacam kesepakatan yang dipatuhi bersama, dan bisa saja bermula dari kebiasaan interaksi harian yang kemudian dengan tidak disadari menjadi norma yang berlaku di keluarga tersebut.
Seperti “Jaringan Interaksi” (Siapa Bicara dengan Siapa atau siapa kontak dengan siapa?) bisa terbentuk karena faktor kontak yang intens antara anggota keluarga yang satu dengan lainnya,. Apakah komunikasi hanya terjadi antara Ibu dan Anak, atau Ayah, Ibu, dan Anak berinteraksi seimbang? Apakah ada anggota yang menjadi “jembatan” komunikasi?
Selanjutnya berkaitan dengan tingkatan “Hierarki.” Siapa yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan akhir? Ini juga bisa terjadi dan pada gilirannya menjadi norma yang terlembagakan karena kebiasaan yang terjadi pada keluarga tertentu. Sebagai contoh, Keluarga yang Pola Interaksinya Otoriter memiliki hierarki yang sangat ketat di mana orang tua adalah pengambil keputusan tunggal.
Terakhir terkait dengan “Batasan” (Boundaries): Sejauh mana setiap anggota keluarga memiliki ruang pribadi? Keluarga dengan batasan yang terlalu kaku (misalnya, anak tidak boleh tahu urusan orang tua) berbeda dengan yang batasan yang terlalu longgar (selalu terbuka).
- Rutinitas dan Ritual Keluarga
Pola interaksi juga terlihat jelas dalam kegiatan yang dilakukan secara berulang, yang berfungsi menguatkan ikatan emosional seperti: “Rutinitas”; kebiasaan harian yang terstruktur, seperti makan malam bersama, mengantar dan menjemput sekolah/kerja, atau mengucapkan selamat malam.
Kemudian “Ritual”: Peristiwa yang memiliki makna simbolis, seperti merayakan ulang tahun dengan cara tertentu, liburan tahunan ke tempat yang sama, atau tradisi keagamaan seperti hari raya, mudik, dan kenduri. Interaksi dalam ritual ini sering kali menguatkan identitas keluarga dan memberikan rasa aman serta keterhubungan bagi anggotanya.
Selanjutnya pola interaksi dalam dunia pesantren berbeda dengan pola interaksi keluarga biasa. Jika di keluarga pada umunya anggota keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak atau anggota keluarga lainnya baik yang serumah maupun tidak serumah, maka di pesantren anggotanya –sebagaimana telah dibahas di awal tentang struktur keluarga pesantren—keluarga kiai (kiai, nyai dan anak), pengelola pesantren (ustadz, ustadzah, dan tenaga kependidikan, santri senior) dan santri yunior.
Tabel 4
| Perbandingan Pola Interaksi Keluarga dan Keluarga Pesantren | ||
| Jenis Keluarga | Polan Interaksi | Sifat |
| Keluarga | Norma dan Aturan | Tidak tertulis Terbentuk dari kebiasan |
| Rutinitas | Kegiatan sehari-hari karena kebiasaan | |
| Ritual | Kegiatan simbolik keluarga, keagamaan dan sosial | |
| Pesantren | Norma dan Aturan | Tertulis dan tidak tertulis Terencana dan Kesepakatan |
| Rutinitas | Program Pendidikan Terjadwal dan terencana | |
| Ritual | Keagamaan, komunitas, Program lembaga dan kegiatan pendidikan | |
Dalam pola interaksi sebagaimana disebutkan di atas, bisa disebut sehat dan harmonis jika terdapat beberapa tanda berikut:
- Keterbukaan dan Kejujuran: Setiap anggota merasa aman untuk berbagi pemikiran dan perasaannya tanpa takut dihakimi.
- Mendengarkan Penuh Perhatian: Tidak hanya berbicara, tetapi juga sungguh-sungguh mendengarkan apa yang diungkapkan anggota keluarga lain.
- Empati: Kemampuan untuk memahami dan merasakan perspektif serta emosi anggota keluarga yang lain.
- Fleksibilitas: Mampu menyesuaikan aturan dan peran seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia anggota keluarga (misalnya, memberi kebebasan lebih kepada anak remaja).
- Kerja Sama: Mengatasi masalah dan mencapai tujuan bersama melalui musyawarah dan pembagian tanggung jawab yang adil.
Pola interaksi ini sangat memengaruhi kesejahteraan psikologis, mental, dan sosial setiap anggota keluarga.
Dalam kaitannya dengan pesantren sebagai lembaga pendidikan maka diperlukan juga informasi lain yang berhubungan dengan pola interaksi pendidikan. Mengingat bahwa dalam dunia pendidikan pola interaksinya berbeda dengan pola interaksi dalam keluarga. Jika diamati secara seksama, maka dapat ditemukan poin-poin penting yang mestinya tidak luput dari perhatian.
Pola Interaksi Pendidikan adalah jenis pola interaksi yang sangat spesifik dan memiliki ciri khas tersendiri, karena tujuannya adalah transfer pengetahuan, pembentukan keterampilan, dan perubahan perilaku sesuai kurikulum.
Pola ini umumnya terjadi dalam setting formal (sekolah/kelas) dan didominasi oleh peran pendidik (guru) dan peserta didik (siswa/murid).
Berikut adalah pola-pola interaksi pendidikan yang paling umum, beserta karakteristiknya:
- Pola Interaksi Klasik (Komplementer)
Ini adalah pola yang paling tradisional dan hirarkis, mencerminkan pola komplementer dalam komunikasi. Pola: Satu Arah (Pusat ke Pinggir) atau Guru—>Murid Terpusat. Arah Interaksi: Guru (Dominan) Murid (Submisif). Adapun ciri-cirinya:
- Guru sebagai Sumber Tunggal: Guru adalah satu-satunya sumber pengetahuan dan pengontrol tunggal aktivitas kelas.
- Murid Pasif: Murid cenderung pasif, hanya mendengarkan, mencatat, dan menjawab jika ditanya.
- Tujuan: Transfer informasi (knowledge transmission).
- Contoh: Guru berceramah, murid mencatat.
- Pola Interaksi Dua Arah TerkendaliPola ini mulai membuka ruang bagi partisipasi siswa tetapi masih berada di bawah kendali penuh guru. Pola: Rantai (Guru-Murid-Guru) atau Tanya Jawab Terstruktur. Arah Interaksi: Guru <–> Murid <—> Guru. Dengan coro0-ciri berikut:Inisiasi Guru: Interaksi sebagian besar dimulai oleh guru (misalnya, guru bertanya).Respon Terbatas: Respon murid diarahkan untuk mengonfirmasi pemahaman atau jawaban yang benar. Guru sering memberikan umpan balik (evaluasi) segera
- Tujuan: Konfirmasi pemahaman dan pengujian pengetahuan.
- Contoh: Guru bertanya, “Apa ibu kota Indonesia?”, Murid menjawab, “Jakarta,” dan Guru mengonfirmasi, “Ya, benar.”
- Pola Interaksi Kelompok (Transaksional) Pola ini lebih modern, melibatkan interaksi horizontal antara sesama murid, dan mencerminkan pola transaksional. Pola: Semua Saluran (All Channel) atau Pusat ke Berbagai Arah. Arah Interaksi: Guru <—> Murid, Murid <—> Murid. Ciri-cirnya:
- Kolaborasi: Murid berinteraksi aktif satu sama lain, berbagi ide, dan memecahkan masalah bersama.
- Guru sebagai Fasilitator: Peran guru bergeser dari penyampai ilmu menjadi pemandu, fasilitator, dan pengamat.
- Tujuan: Mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, dan konstruksi pengetahuan bersama (belajar sosial).
- Contoh: Diskusi kelompok kecil, proyek bersama, atau simulasi peran.
- Pola Interaksi Individual (Mandiri). Pola ini fokus pada interaksi satu murid dengan materi pembelajaran, mengurangi interaksi verbal di dalam kelas. Pola: Mandiri/Individualis. Arah Interaksi: Murid <—> Materi (Media). Vercirikan sebagai berikut
- Belajar Otodidak: Murid berinteraksi dengan buku teks, komputer, modul, atau e-learning secara mandiri sesuai kecepatan masing-masing.
- Peran Guru: Menyediakan sumber daya dan mengevaluasi kemajuan individual.
- Tujuan: Mengakomodasi kecepatan belajar yang berbeda (self-paced learning) dan mendorong kemandirian.
- Contoh: Pengerjaan tugas di laboratorium bahasa, modul e-learning, atau membaca buku di perpustakaan.
Penekanan dalam Interaksi Pendidikan
Interaksi pendidikan yang efektif saat ini cenderung bergerak dari pola 1 menuju pola 3 dan 4, menekankan pada komunikasi dua arah yang partisipatif (transaksional) dan konstruksi pengetahuan oleh siswa itu sendiri, bukan sekadar penerimaan pasif.
Pola Komunikasi di Pesantren:
Komunikasi merupakan syarat terjadinya interaksi, sebelum melangkah lebih lanjut, ada baiknya dikemukakan beberapa definisi tentang komunikasi: Harold D. Lasswell dikenal dengan formulanya yang sederhana namun sangat komprehensif untuk menjelaskan proses komunikasi. Menurutnya “Cara yang baik untuk menjelaskan tindakan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan: “ho Says What in Which Channel to Whom with What Effect?” (Siapa mengatakan apa, melalui saluran apa, kepada siapa, dan dengan akibat apa?)Di sinikomunikasi dipandang sebagai proses linear (satu arah) dan fokus utama pada efek atau hasil yang ditimbulkan. (Taufik M. , 2012)
Claude Shannon & Warren Weaver mendefinisikan:”Komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling memengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak sengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi.” Definisi ini menekankan pada transmisi pesan yang efisien dari sumber melalui saluran kepada penerima, serta adanya gangguan (noise) yang dapat menghambat kecermatan pesan. (Taufik M. , 2012)
Ahli komunikasi pembangunan Rogers yang fokus pada difusi inovasi mendefinisikan: “Komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.” Ia berfokus pada Proses penyebaran ide, menekankan perubahan tingkah laku sebagai tujuan komunikasi (Rogers, 2003).
Mengabungkan teori Laswell dan Lee Thayer, Penulis merumuskan komunikasi sebaghai jawaban atas pertanyaan berikut: Who says…or gets…What…Why…To or from whom…When…In what manner…Under what circumstance…Why…with what channel…and Why… what effect. Siapa mengatakan atau mendapat apa, kenapa, kepada atau dari siapa, kapan, dengan cara apa, dalam keadaan apa, salurannya apa dan kenapa, apa efeknya? (Taufik M. , 2012).
Dalam buku “Etika Komunikasi Isalm,” penulis mengajukan konsep Komunikasi Isalm, dengan rumusan berikut: Komunikasi Islam adalah komunikasi yang didasarkan pada ajaran Islam dan bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam serta membangun masyarakat berdasarkan ajaran tersebut.
Dalam pandangan penulis, komunikasi Islam memiliki karakteristik yang berbeda dari komunikasi pada umumnya:
- Berbasis Ajaran Islam: Sumber utama dari komunikasi Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
- Tujuan Transenden: Karena berhubungan dengan wahyu dan kenabian, komunikasi Islam mencakup masalah-masalah yang transenden (melampaui batas-batas fisik), sehingga coraknya dapat disebut sebagai Komunikasi Transendental.
- Penyebaran Pesan Ilahiyah: Maksud dari komunikasi ini adalah untuk mentransfer pesan-pesan transenden (pesan Ilahi) kepada khalayak luas. (Taufik M. , 2012).
Karena sifatnya pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam, maka pola komunikasi di dalamnya hendaknya berpedoman pada kerangka komunikasi Islam sebagaimana disebutkan di atas.
Bagan Domain Komunikasi Islam

Komunikasi Islam yang digagas penulis sejak tahun 2007 an mencakup domain-domain yang berfokus pada tujuan, pesan, dan etika:
- Domain Dakwah: tidak hanya dianggap sebagai satu domain, melainkan sebagai Tujuan Puncak (Ultimate Goal) dan Kerangka Kerja (Framework) Komunikasi Islam. Sehingga konsep-konsep seperti Tabligh, Amar Ma’ruf Nahi Munkar, dan Hikmah/Akhlak adalah domain-domain fungsional yang secara operasional menjalankan dan membentuk hakikat dari aktivitas Dakwah itu sendiri.
- Domain Penyampaian (Tabligh): Ini adalah domain yang berhubungan langsung dengan proses transmisi pesan. Dalam Komunikasi Islam, proses ini tidak hanya sekadar informasi (seperti yang dipahami dalam Ilmu Komunikasi), tetapi lebih pada penyampaian Risalah Ilahiah.
Konsep Islam Tabligh: Bermakna menyampaikan seluruh ajaran, perintah, dan larangan Allah SWT kepada manusia tanpa ditutup-tutupi, sebagaimana sifat wajib Rasul. Kaitannya dengan Ilmu Komunikasi: Message/Transmission (Pesan/Transmisi) dan informasi.
- Domain Kontrol Sosial dan Perubahan (Amar Ma’ruf Nahi Munkar). Domain ini menekankan fungsi komunikasi sebagai agen perubahan sosial dan pengawas moral. Komunikasi harus memiliki kekuatan transformatif untuk membangun masyarakat yang ideal. Konsep Islam: Amar Ma’ruf Nahi Munkar bermakna mengajak kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran. Ini adalah tugas sosial utama bagi setiap Muslim yang diwujudkan melalui komunikasi yang persuasif dan konstruktif. Kaitan dengan Ilmu Komunikasi: Change and Development (Perubahan dan Pembangunan) dan Social Control (Kontrol Sosial).
- Domain Etika dan Kualitas Pesan (Akhlak/Hikmah/Wisdom). Domain ini merupakan landasan filosofis Komunikasi Islam, yang menekankan bahwa cara berkomunikasi (etika) sama pentingnya dengan isi pesan. Komunikasi harus berlandaskan budi pekerti yang mulia.
Konsep Islam: Akhlaq Hasanah/Etik dan Hikmah. Akhlak: Menjaga perilaku komunikasi agar selalu baik, santun, dan tidak menyakiti (Qaulan Karima, Qaulan Layyina). Dan Hikmah: Menyampaikan pesan kebenaran dengan cara yang paling tepat, bijaksana, dan sesuai dengan audiens, memastikan pesan diterima dengan hati terbuka. Dalam istilah Ilmu Komunikasi disebut: Ethics (Etika) dan Rhetoric/Persuasion (Retorika/Persuasi).
Kata Wisdom, dalam konteks ini merujuk pada teori perubahan dan pembangunan, wisdom mengarahkan, mengontrol, dan memastikan kualitas etis dari perubahan dan pencapaian pembangunan, termasuk kebijaksanaan untuk memastikan pembangunan inklusif dan tidak menciptakan ketidakadilan atau konflik sosial.
Secara implisit, domain ini menyiratkan bahwa seluruh kegiatan komunikasi dalam Islam, baik formal (dakwah) maupun informal (percakapan sehari-hari), harus berujung pada pencapaian ridha Allah dan kesejahteraan umat (Taufik M. , 2012).
Jadi dapat dikatakan bahwa dakwah adalah merupakan komunikasi Islam; komunikasi yang berakhlak mulia (Akhlakul Karimah) dan berpegangan teguh pada Al-Qur’an dan Hadis. Domain-domainnya meliputi penyampaian pesan yang benar (Tabligh), pelaksanaan fungsi sosial dan moral (Amar Ma’ruf Nahi Munkar), dan etika berperilaku yang bijaksana baik sebagai landasan awal (Akhlak dan Hikmah) maupun sebagai tujuan akhir yang ingin dicapai; terciptanya Masyarakat yang sejahtera dan berakhlak mulia.
Untuk memahami Komunikasi Dakwah sebagaimana yang ditawarkan penulis dengan mudah bisa dibandinhgkan dengan konsep Komunikasi Pendidikan. Meskipun keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu perubahan sosial yang lebih baik, tapi berbeda secara mendasar pada sumber nilai, fokus perubahan, dan tujuan akhir.
Berikut adalah tabel perbandingan yang merangkum perbedaan dan persamaan utama antara Komunikasi Dakwah (KD) dan Komunikasi Pendidikan (KP):
Tabel 6
Komunikasi Dakwah vs Komunikasi Pendidikan
| Aspek | Komunikasi Dakwah (KD) | Komunikasi Pendidikan (KP) |
| Sumber Nilai/Rujukan | Al-Qur’an dan Sunnah. Bersifat teosentris (mutlak dan ilahi). | Kurikulum, Sains, Pedagogi, dan Teori Belajar. Bersifat antroposentris (rasional dan empiris). |
| Fokus Pesan | Risalah Ilahi (Akidah, Syariat, Akhlak). Pesan bersifat ajakan moral dan spiritual (Ma’ruf dan Munkar). | Materi Pelajaran dan Pengetahuan (Ilmu alam, sosial, bahasa, keterampilan). Pesan bersifat informatif dan instruktif. |
| Tujuan Akhir | Transformasi Akhlak, Keimanan, dan Perilaku demi mencapai keselamatan dunia dan akhirat (falah). | Perubahan Kognitif, Afektif, dan demi mencapai kompetensi dan kecerdasan tertentu.Psikomotorik |
| Lingkup Waktu | Jangka panjang (seumur hidup) dan berkelanjutan, bahkan hingga akhirat. | Terbatas (sesuai jam pelajaran, semester, atau jenjang pendidikan). |
| Sifat Hubungan | Hubungan antara Da’i (penyeru) dan Mad’u (objek seruan). Hubungan berlandaskan nilai keteladanan (uswah hasanah). | Hubungan antara Pendidik/Guru (pengajar) dan Peserta Didik/Murid (pembelajar). Hubungan berlandaskan transfer ilmu. |
| Tolok Ukur Keberhasilan | Perubahan perilaku menjadi lebih taat (bertaqwa), meningkatnya kualitas akhlak (mahmudah) | Peningkatan nilai ujian, kelulusan, penguasaan materi, dan terbentuknya keterampilan (kompetensi). |
Bersamung


Comments are Closed