Familial Approach
Familial Approach
Familial Approach
Memperkenalkan Pendekatan Pendidikan Pesantren
M. Tata Taufik
Pengantar:
Tidak semua masyarakat mengetahui sistem pembelajaran yang ada di pesantren. Di era digital seperti sekarang ini, arus informasi demikian kuat, bisa mengunjungi siapa saja serta dikirim oleh siapa saja baik yang memiliki otoritas sebagai sumber terpercaya maupun yang tidak memiliki otoritas. Informasi tentang pesantren –karena hal tersebut– menjadi sangat liar dan tak terkendali.
Karenanya untuk memberikan gambaran umum tentang apa itu pesantren dan bagaimana pendidikan di dalamnya menuntut adanya upaya serius dari berbagai pihak –terutama kalangan pemerhati pesantren— dalam rangka memberikan informasi bagi masyarakat luas yang membutuhkan, terutama terkait dengan nilai dan sistem yang berlaku di pesantren serta model kehidupan yang ada di dalamnya sejalan dengan konsep pendidikan yang dianutnya.
Menurut Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pengertian pesantren dapat dilihat dari beberapa sudut pandang: Secara Teknis Pesantren didefinisikan sebagai tempat di mana santri tinggal (sebagai asrama). Menurutnya Pesantren juga dipandang sebagai subkultur yang memiliki keunikannya sendiri dalam aspek: Cara hidup yang dianut, pandangan hidup, tata nilai, serta pola kepemimpinan yang berdiri sendiri di luar kepemimpinan pemerintah desa.
Sedangkan dari segi Peran Kultural dan Sosial: Pesantren adalah lembaga yang mampu bertahan selama berabad-abad dengan nilai-nilai hidupnya sendiri dan memiliki kedudukan kultural yang relatif lebih kuat dari masyarakat sekitarnya, serta mampu melakukan transformasi total dalam sikap hidup masyarakat tanpa mengorbankan identitas dirinya. Dari segi pengembangan masyarakat, Pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan keagamaan semata, tetapi juga berperan sebagai pusat pengembangan masyarakat, memberikan sumbangsih, dan membangun sistem nilai serta kerangka moral pada individu dan masyarakat (Wahid, 2001).
Secara ringkas, Gus Dur melihat pesantren bukan hanya sebagai tempat belajar mengaji, melainkan sebagai entitas sosial-kultural yang unik, dinamis, dan memiliki peran sentral dalam pembentukan nilai dan transformasi sosial.
Sedangkan Imam Zarkasyi salah satu pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, mengartikan pesantren secara terminologi sebagai: Lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kiai sebagai figur utama, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kiai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya (Taufik, Abdul Fatah, & Bisri, 2004).
Pengertian lain, Mastuhu mendefinisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddîn) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu, 1994). Kemudian secara terminologi, Dhofier menyatakan bahwa kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan akhiran -an, yang secara harfiah berarti tempat tinggal para santri atau tempat para ahli agama (santri) (Dhofier, 1982).
Definisi paling aktual sebagaimana disebutkan dalam UU. No. 18 tahun 2019 Tentang Pesantren,. Pesantren adalah Lembaga yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan/atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., menyemaikan akhlak mulia serta menjaga nilai Islam rahmatan lil’alamin dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Melihat berbagai pengertian di atas bahwa pesantren menunjuk pada; lingkungan, tempat tinggal, santri, kiai, ilmu agama, mendalami agama, mesjid, asrama serta tatanan nilai yang berlaku dan dipatuhi, pesantren tampak sebagai bangunan keluarga di satu sisi dan lembaga pendidikan Islam di sisi lainnya. Karenanya pelaksanaan pendidikan di pesantren dengan elemen yang ada, memerlukan penyesuaian metodologi dan treatment yang sejalan dengan konsep keluarga.
Gagasan Familial Aprroach pertama kali disampaikan penulis pada tanggal 17 Juni 2023 di PP Darul Quran Tanggerang pada acara Wisuda Tahfidz Nasional. Kemudian disampaikan berikutnya di Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash, pada acara Panggung Gembira (PG) 633 02 Seprember 2023. Kemudian disampaikan juga pada kegiatan Penguatan Pesantren Mu’adalah Jawa Barat yang bertempat di LPD Al-Bahjah Cirebon pada tanggal 9 September 2023. Secara konseptual familial approach disampaikan pada Pembinaan Ustadz Kamisan di Al-Ikhlash pada 25 Juli 2024. Kemudian menjadi concern kajian dan pengembangan dalam menjalankan Pendidikan Pesantren di Al-Ikhlash.
Keluarga dan Pembinaannya:
Seperti yang diketahui bahwa keluarga adalah orang-orang yang berada dalam seisi rumah yang sekurang-kurangnya terdiri dari suami, istri, dan anak-anak (Poerwadarminta, 2023). Dalam kenyataannya seperti yang bisa diamati dalam kehidupan sosial, keluarga merupakan sekumpulan orang yang tinggal bersama dalam satu rumah yang dihubungkan dengan suatu ikatan aturan dan emosional serta setiap individunya memiliki peran masing-masing dan merupakan bagian dari keluarga. Secara lebih luas tidak sebatas suami istri dan anak, tapi bisa juga terdapat kakek, nenek, paman, bibi dan lainnya. Bisa juga dilihat dari sekelompok orang yang memiliki pertalian darah, walaupun sudah tidak tinggal serumah.
Dari sudut psikologis, keluarga merupakan sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing saling merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri.
Dalam konteks sehari-hari sering terdengar sebutan “keluarga kecil”, tentunya ini menggambarkan keluarga dari sudut pandang kependudukan, berdasarkan tempat tinggal dan anggota keluarganya; yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Indonesia, 2009). Sebagaimana juga terdengar sebutan atau pernyataan “keluarga besar” biasanya mengisyaratkan anggota keluarga dari satu keturunan, misalkan berasal dari satu kakek dan nenek beserta keturunan di bawahnya. Namun tidak berhenti di sini, istilah keluarga besar juga sering mewakili sekelompok orang yang berasal dari daerah tertentu, yang bersatu menamakan dirinya keluarga besar. Lebih luas lagi bisa juga mencerminkan “rasa sekeluarga” karena alasan sedang bersama atau pernah bersama pada suatu lingkungan kelembagaan tertentu, seperti sekolah, perguruan tinggi, pesantren, tempat kerja, dan lainnya.
Jika keluarga kecil lebih berarti satu keluarga yang tinggal dalam satu atap rumah, maka keluarga besar menunjuk pada satu kelompok emosional maupun primordial dalam konteks sosial; untuk merujuk pada ikatan-ikatan yang bersifat asli seperti suku, kekerabatan, dan keagamaan yang dibawa sejak lahir atau turun-temurun, dan merupakan gabungan dari keluarga-keluarga kecil tadi.
Keluarga baik keluarga besar maupun kecil tentu saja memiliki cita-cita ideal yang hendak dicapai. Dalam ketentuan umum undang–undang tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga misalnya, Pasal 1 ayat 7 dirumuskan pembangunan keluarga adalah upaya mewujudkan keluarga berkualitas yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Kemudian pada ayat 10 dijelaskan bahwa keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. (Indonesia, 2009). (Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2019 TENTANG PESANTREN , 2019)
Bagi keluarga muslim konsep keluarga ideal bisa didapat dari anjuran-anjuran yang diisyaratkan dalam al-Quran maupun Hadis Nabi Muhammad SAW. Baik yang bersifat pembinaan keluarga, seperti QS. 31: 12-19 yang berisikan nasihat Luqman as terhadap anaknya; tidak musyrik, menghormati orang tua, mendirikan shalat dan amar ma’ruf nahi munkar, tidak sombong dan etika sosial seperti menghargai orang lain. Tugas anggota keluarga; menjaga keluarga jangan sampai terjerumus ke neraka, Mengajak keluarga supaya beriman, QS. 20: 132. QS.52: 21. Etika sosial; tentang persaudaraan seiman, tidak saling menghina, atau memanggil dengan julukan yang tak pantas, tidak buruk sangka dan menggunjing satu sama lain, QS. 49: 10-12. dan lain sebagainya.
Ada juga berupa kisah seru tentang satu keluarga yang berakhir dengan happy ending seperti dalam surat Yūsuf (12) dari ayat 4, bermula dari Yusuf menceritakan mimpinya kepada ayahnya, lalu pada ayat 8 mulailah rasa iri saudaranya, kemudian bergelut antara intrik dan perdaya dalam perjalanan panjang kisahnya, namun ditutup dengan sikap para saudara Yusuf dan Ayahnya yang mengharukan. Betapa tidak saudara-saudara Yusuf mengakui kesalahannya, dan memohon agar orang tuanya memohonkan ampunan kepada Allah atas kesalahan mereka, kemudian dengan bijak sang ayah berjanji akan memohonkan ampunan kepada Allah atas kesalahan mereka ini tertulis di ayat 97 dan 98. Kisah kemudian dipungkas dengan pertemuan satu keluarga utuh dalam kebahagiaan ayat 100. Serta diakhiri doa nabi Yusuf as “Tuhanku, sungguh Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kekuasaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil mimpi. (Wahai Tuhan) pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat. Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang saleh.” QS.12: 101.
Adapun dari Hadis seperti hadis dari Aisyah ra. Rasulullah SAW. bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. At-Tirmidzi).
Serta hadis dari Abdullah Ibn Umar ra. Rsulullah SAW. Bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dansetiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Penguasa yang memimpin rakyatnya dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Dan istri pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya tentang mereka, Dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari & Muslim).
Tentang menafkahi keluarga Hadis dari Abu Hurairah ra. Rasulullah SAW. Bersabda:“Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya paling besar adalah yang engkau berikan untuk keluargamu.” (HR. Muslim).
Hadis tentang mendidik anak, Jabir bin Abdullah ra. Meriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Barangsiapa yang memiliki tiga orang putri, lalu ia mendidiknya, menyayangi, dan merawat mereka, maka surga telah ditetapkan untuknya.” Dikatakan, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika ia memiliki dua orang putri?” Beliau menjawab, “Sekalipun ia memiliki dua orang putri.” Beliau berkata, “Sebagian orang mengira jika ia mengatakan: ‘Satu’, niscaya ia akan mengatakan: ‘Satu’.” (HR. Ahmad dan shahih menurut Al-Albani).
Untuk melihat bagaimana keluarga mendidik anak-anaknya, baik dikemukakan di sini apa yang disusun oleh Sa’īd bin ‘Alī bin Wahf Al-Qaḥṭānī dalam “Al-Hadyu An-Nabawiy fī Tarbiyati Al-Awlād fī Ḍaw’i Al-Kitāb wa As-Sunnah” yang terdiri dari 24 pembahasan. Dimulai dari pembahasan pentingnya pendidikan anak dalam Islam, pentingnya memilih istri yang shalihah dalam mendidik anak, aqiqah dan pemberian nama yang baik, menafkahi keluarga dengan rizki yang halal, bermain dengan anak-anak, menjaga kesehatan, menyusui, mengasuh, menafkahi anak, mengajari syariat, mengajari pekerjaan yang baik, memelihara perkembangan intelektualitas, membiasakan akhlak yang mulia, mendidiknya dengan pendidikan ala Nabi, berlaku adil terhadap anak, kesabaran dan kelembutan, kasih sayang untuk anak-anak, bersikap baik dan lembut terhadap anak-anak dan memberi kebahagiaan bagi mereka. Menyertai mereka setelah baligh, mengajari mereka cara mencari teman dan sahabat yang shaleh, hasil dan manfaat pendidikan yang baik, bahaya pendidikan yang buruk, petunjuk Nabi dalam mendidik anak muda, serta pembahasan terakhir tentang mendidik dan mendisiplinkan dengan kekerasan bila diperlukan (Al-Qaḥṭānī , 2012).
Pesantren Sebagai Keluarga:
Dikaitkan dengan kehidupan pesantren, jika ditinjau dari teori keluarga; bahwa keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat, ditandai dengan tempat tinggal bersama dan kerja sama antara anggotanya baik dari segi tujuan, budaya, ekonomi, aktivitas dan kegiatannya, serta memiliki fungsi utama sebagai wadah sosialisasi, pemeliharaan, dan perkembangan fisik, mental, serta emosional anggotanya. Maka tepat sekali kalau pesantren disebut keluarga. Sebagaimana diungkap di awal bahwa pesantren tempat tinggal santri, lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kiai sebagai figur utama, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kiai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.
Ungkapan kiai sebagai figur utamanya serta bimbingan kiai, menunjuk pada peran anggota keluarga pesantren yang terdiri dari Kiai – boleh jadi dibantu santri senior atau ustadz– serta Santri sebagai “anak” yang patuh terhadap bimbingan, mengisyaratkan tujuan dan langkah bersama dan hubungan guru-murid sebagai keluarga.
Al-Ghazali menggambarkan konsep pendidikan yang didasari hadis Rasulullah SAW ketika mengajari para sahabat bagaimana bersuci dari najis: “Posisiku di hadapan kalian, laksana seorang ayah bagi anaknya, mengajari kalian.”[1] Maka hak anak-anak dari seorang ayah adalah saling mencintai dan saling membantu dalam mencapai berbagai tujuannya. Demikian juga halnya dengan hak murid-murid dari seorang guru, harus saling mencintai dan menyayangi guna mencapai tujuan mereka. Jika tujuannya bersifat duniawi, yang ada hanyalah saling hasad dan saling benci, tapi jika tujuan-tujuannya akhirat, maka yang ada adalah saling mencintai dan menyayangi. Lebih lanjut untuk menjelaskan tujuan bersama, digambarkan bawa pertemanan sekelompok orang dalam suatu perjalanan menuju kota tertentu bisa melahirkan saling mencintai dan mengasihi antara mereka (Al-Ghazālī, 2005).
Pesantren merupakan keluarga besar yang memiliki struktur keluarga antara lain: Orang tua; Kiai, Wali kelas, Guru atau Ustadz/Ustadzah serta Saudara; Santri senior, Yunior, yang sering digambarkan dengan istilah ukhuwah (persaudaraan) dan unsur lainnya yang berada di “rumah besar” bernama pesantren. Semua yang terlibat di pesantren berperan sebagai keluarga antara satu sama lainnya. Selain bahwa pesantren secara kelembagaan juga menjadi suatu bangunan keluarga yang utuh.
Dari sini terlihat bahwa pesantren memiliki fungsi keluarga sebagaimana keluarga pada umumnya seperti memiliki tujuan, dari sisi tujuan misalkan berhasil studi, nyaman, damai, talabul ilmi lilahi taala, yang menjadi tujuan bersama setiap anggotanya. Kemudian interaksi antar anggota keluarga. Serta simbol; makna dan persepsi serta komunikasi di dalamnya. Juga membangun persaudaraan lebih luas, dan tugas setiap anggota keluarga.Bersambung
[1] Hadis Riwayat Abu Dawud, Ahmad, Nasa’i dan lainnya “إنما أنا لكم مثل الوالد لولده….” “إنما أنا لكم بمنزلة الوالد أعلمكم….”


Comments are Closed