Ramadan: The Changing of Habit
Oleh: M. Tata Taufik
Coba ingat-ingat apa yang dilakukan saat bangun di pagi hari atau mungkin ada yang bangun sejak dini hari. Ada yang ke kamar mandi bersih-bersih, lalu minum kopi baca koran atau menonton TV untuk mencari informasi terbaru? Boleh jadi ada juga yang bangun tidur lalu asyik masyuk chatting atau menulis status media sosial?
Tentu pembaca lebih tahu kegiatan rutin apa yang dilakukan mengawali harinya sejak bangun tidur sampai kepada aktivitas harian, kadang tanpa berpikir terlebih dahulu, karena sudah menjadi habit (kebiasaan). Konon 40% dari tingkah laku manusia setiap harinya merupakan kebiasaan dan bukan merupakan hasil keputusan yang sebenarnya (Duhigg 2012).
Berbicara kebiasaan Ibnu Khaldun menyatakan bahwa manusia adalah produk dari kebiasaan, bukan produk dari tabiat alami dan kecenderungannya (Khaldun 2019). Ini menunjukkan bahwa kebiasaan memiliki kekuatan tersendiri dalam membentuk pribadi seseorang. “All our life, so far as it has definite form, is but a mass of habits,” demikian tulis William James pada tahun 1892an. Jadi sepanjang hidup kita walau ia memiliki bentuk yang pasti hanyalah sejumlah kebiasaan. Bagaikan sebuah lingkaran, kebiasaan bisa terbentuk tanpa disadari oleh pelakunya –tak perlu izin dari pelakunya.
Ketika pertama kali memasuki pesantren Gontor tahun 1980an penulis mendapat penjelasan bagaimana sebuah kebiasaan bisa terbentuk. KH Imam Zarkasyi –pimpinan pondok waktu itu—menyampaikan bahwa tidak semua kegiatan yang dilakukan itu harus dipikirkan terlebih dahulu, kalau dipikirkan terlebih dahulu menjadi sangat lama prosesnya, setelah bangun pagi berpikir apa yang harus dilakukan, memilih kegiatan apa yang harus dilakukan, misalkan saya akan membuka mata, membersihkan mata lalu mengambil sarung, memilih sarung yang mana, lalu mengambil sikat gigi, mengoleskan pasta gigi, kemudian mengambil sabun mandi, lalu melangkahkan kaki pergi ke kamar mandi, lalu membuka pintu kamar mandi dan seterusnya, lama sekali dan banyak sekali rentetan kegiatan yang harus dilakukan. Itu semua jika dilakukan sebagai kebiasaan menjadi tidak terasa dan ringan. Jadi dengan kebiasaan pekerjaan yang berat sekalipun akan terasa ringan.
Kebiasaan terbentuk dengan beberapa langkah; isyarat (cue) yang konsisten untuk memicu; rutinitas, serta imbalan (reward) yang dapat dirasakan secara langsung.
Kebiasaan Bukan Takdir
Kebiasaan bukanlah takdir yang tak dapat diubah, kebiasaan bisa diabaikan, diubah atau diganti. Yang harus diketahui dalam konteks kebiasaan ini bahwa dengan memahami lingkaran kebiasaan –terdiri dari cue, routine dan reward, bisa diketahui kaidah dasarnya bahwa saat kebiasaan itu muncul, otak akan berhenti berperan dalam menentukan pilihan, dan akan secara otomatis menemukan pola kebiasaan yang sudah berlaku.
Pertanyaannya bagaimana mengubah kebiasaan? Kebiasaan buruk atau yang tidak menguntungkan kadang bisa juga melekat pada keseharian kita, tentu saja kita sangat ingin mengubahnya. Demikian juga halnya dengan kebiasaan baik yang ingin ditingkatkan kualitasnya.
Untuk mengubah kebiasaan tentu memiliki teknik tersendiri, dengan pendekatan lingkaran kebiasaan di atas; cue, routine dan reward. Cara kerjanya seperti para pekerja periklanan membuat story iklan mereka, dengan memberi signal misalkan bagaimana rambut mengkilau dijadikan isyarat, kemudian melakukan pemeliharaan rutin dengan penggunaan shampo dan hasilnya memukau sebagai reward. Kondisi rambut mengkilau menjadi idaman yang ada di benak setiap orang untuk bisa dikatakan cantik atau tampan misalnya, maka terciptalah otak yang mengidam (craving brain) untuk kemudian memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan berupa kegiatan rutin untuk mencapai hasil yang diinginkan. Dengan demikian mengidamkan sesuatu menjadi pemicu akan lahirnya rutinitas yang dapat mencapai imbalan (hasil) sehingga terbentuklah lingkaran kebiasaan baru.
Pesan Ramadan Craving Brain
Ada beberapa pesan terkait bulan Ramadan, pesan tentang penentuan awal Ramadan, kemudian selebihnya pesan terkait keutamaan bulan Ramadan. Seperti Ramadan adalah bulan yang paling utama dibanding bulan lainnya, disebut sayyid al-syuhuur, di bulan ini mulai diturunkannya al-Qur’an. Ia juga merupakan bulan ketaatan, kedekatan (kepada Allah) dan bulan menuai kebaikan dan kemuliaan, bulan keampunan dan rahmat dan keridaan Allah, pada bulan ini ada lailatul qadar, yang keutamaannya melebihi seribu bulan, pada malam itu saat permohonan seorang mukmin untuk kebaikan agama dan dunianya, bulan ini juga merupakan musim banyaknya kesempatan untuk dikabulkannya doa.
Banyak keterangan tentang keutamaan Ramadan, terutama dari hadis Rasulullah SAW. di antaranya: “Siapa saja yang berpuasa Ramadan dengan dasar iman, dan berharap pahala dan rida Allah (ihtisab), maka dosanya yang lalu pasti diampuni.” (dalam riwayat lain): “Siapa saja yang melakukan qiyam (salat di malam hari) Ramadan dengan dasar iman, dan berharap pahala dan rida Allah, maka dosanya yang lalu pasti diampuni.” Hadis riwayat Bukhari dan Muslim. “Seandainya seorang hamba tahu kebaikan yang terdapat di bulan Ramalan, niscaya ia akan berharap semua bulan dalam satu tahun itu Ramadan” hadis dari Abi Mas’ud al-Ghifari diriwayatkan Imam Thabrani. “Salat lima waktu dan Jum’at ke Jum’at serta dari Ramadan ke Ramadan merupakan kifarat dosa antara waktu-waktu tersebut selama tidak melakukan dosa besar” hadis dari Abi Hurairah diriwayatkan Imam Muslim.
Penampilan informasi keutamaan bulan ini bisa dipandang sebagai cue (isyarat) dalam rangka mengubah kebiasaan sehari-hari, setelah tergambar apa-apa saja yang diidamkan manusia pada umumnya (kebahagiaan, pahala, rida Allah, ampunan, kualitas diri yang meningkat dan seterusnya) maka akan ada usaha untuk menolak dan menghentikan kebiasaan lama serta mengambil keputusan untuk menggantinya dengan kebiasaan baru. Ketika sebuah keputusan diambil, maka di situlah sebuah self-discipline mulai bekerja, dengan dimulainya disiplin pribadi, keputusan yang diambil itu akan menjadi tingkah laku yang otomatis, yang pada akhirnya menjadi kebiasaan baru.
Dalam hal ini keputusan untuk berpuasa di bulan Ramadan berarti keputusan untuk membuat kebiasaan baru dan meninggalkan kebiasaan lama (kegiatan sehari-hari sebelum Ramadan). Kebiasaan baru ini juga bisa berupa koreksi atas kebiasaan lama yang dinilai buruk, lalu diganti dengan kebiasaan baru yang lebih positif. Sebagai contoh kebiasaan untuk berbuat ghibah (membicarakan keburukan orang lain) bisa ditinggalkan dan diganti dengan kegiatan yang lebih baik seperti –aktivitasnya tetap bersifat interaksi sosial—menghadiri pengajian, berdiskusi atau lainnya. Demikian juga halnya dengan kebiasaan lain yang diganti dengan kebiasaan baru yang muncul akibat dari keputusan untuk berpuasa; memperbanyak sedekah, jujur, memperbanyak amal saleh, meningkatkan kualitas dan frekuensi ibadah dan seterusnya.
Adapun reward yang ditawarkan seperti ampunan dosa, keridaan Allah, kebahagiaan dan ketenangan jiwa – dua poin terakhir dapat dirasakan secara langsung—menjadi trigger atas isyarat (cue) untuk melakukan sesuatu, kemudian menjadi rutinitas guna menggapai pahala (hasil).
Angin perubahan menuju kualitas yang lebih baik –dengan hadirnya Ramadan—akan segera dimulai, harapannya semoga kebiasaan yang dibangun selama satu bulan penuh nanti bisa menuai hasil berupa terinternalisasinya nilai-nilai positif dalam kehidupan setiap pribadi dari bangsa ini; pribadi yang mampu menyuapi dirinya sendiri (self-feeders) dengan isyarat -isyarat yang dapat membangkitkan otak untuk membangun kebiasaan baru dengan hasil yang jelas; bangsa yang berkarakter mulia bukan karena dipaksa orang lain, tapi karena itulah dirinya yang sebenarnya.
Kuningan, April 6, 2021
Comments are Closed