Jum’at
Hari Jum’at dikatakan sebagai tuannya hari-hari (sayyidul ayam) merupakan hajinya para fakir dan miskin, dua khutbah dalam pelaksanaannya sederajat dengan dua rakaat dzuhur, maka dari itu jika khatib naik mimbar hendaknya tidak seorang pun dari kalian yang berbicara, barang siapa yang berbicara dianggap melakukan pekerjaan sia-sia. Bagi yang melakukan pekerjaan sia-sia, dianggap tidak melakukan shalat Jum’at. Dengarkan dan camkanlah, serta taatilah, semoga rahmat Allah menyertai kalian, camkanlah, semoga mendapat rahmat Allah.
Peringatan di atas senantiasa disampaikan oleh muraqi (yang mempersilahkan khatib naik ke mimbar) di beberapa mesjid setelah mengumandangkan adzan. Sebuah peringatan yang disadur dari hadits Rasulullah SAW riwayat Abu Hurairah seperti yang diungkapkan para muraqi di awal peringatannya.
Ada lima point penting yang disampaikan sebagai pengingat urgensinya shalat Jum’at.
Pertama menegaskan kedudukan hari Jum’at sebagai hari mulia dibanding dengan hari-hari lainnya. Point ini kemudian melembaga menjadi kegiatan mulai dari mengisi malam Jum’at dengan membaca surat Yasin minimla atau surat al-Kahfi dan surat-surat pilihan lainnya, yang dilakukan secara individu di rumah-rumah atau dimesjid dan mushala. Dilanjutkan dengan permohonan dan do’a-do’a kebaikan yang dipanjatkan. Kemudian diisi juga pada hari Jum’atnya dengan datang lebih awal ke mesjid untuk i’tikaf, diisi dengan dzikir dan do’a-do’a. Untuk selanjutnya mengikuti shalat Jum’at. Kata-kata Jum’at mubarok (hari Jum’at yang penuh berkah) bahkan kini menjadi semacam greeting yang sering diterima melalui pesan-pesan singkat baik dalam bentuk gambar maupun text dari kolega dan temana secara nasional maupun internasional.
Kedua posisi ibadah shalat Jum’at yang nilainya sama dengan nilai haji bagi fakir miskin yang tidak mampu melaksanakan haji ke Mekah.
Ketiga, kedudukan dua khutbah Jum’at yang setara dengan dua rakaat dzhuhur. Menarik dengan kedudukan khutbah ini jika dikaji dari sudut pandang pendidikan. Tidak ada ketentuan penyelenggaraan khutbah (pidato/presentasi lisan) yang dilembagakan oleh Islam seminggu sekali selain khutbah Jum’at. Ini berarti bahwa pendidikan orang dewasa (adult education) mendapat perhatian dan minimal dilaksanakan seminggu sekali.
Besarnya perhatian tersebut dibuktikan dengan menghapus dua rakaat dzuhur di hari Jum’at untuk diganti dengan khutbah dalam arti penyampain pesan-pesan takwa dan keagamaan dalam rangka pembinaan jamaah (masyarakat muslim) dengan durasi yang tidak terlalu lama dan pesan yang lebih terarah. Konten khutbah disarankan berkisar nasihat untuk takwa, dengan penyajian aktual: sesuai kondisi kekinian dalam rangka mengarahkan penyikapan terhadap situasi tersebut dengan pendekatan religius dan ukhrawi.
Ada yang perlu diperhatikan dalam konteks penyampaian, di sini penyampaian khutbah hendaknya didasari keikhlasan, memiliki tujuan instruksional yang jelas, memilih metode penyampaian yang komunikatif dengan memperhatikan situasi jamaah (audien). Untuk tercapainya tujuan berarti metode pemaparan lisan modern juga perlu diperhatikan.
Dalam kesejarahannya khutbah disampaikan secara oratoris, bagaimana Rasulullah SAW menyampaikan khutbah laksana seorang panglima yang sedang memberi intruksi kepada pasukannya, kedua matanya memerah dan suaranya meninggi, seakan seperti marah. (Hadis dari Jabir Ibni Abdillah diriwayatkan oleh Imam Muslim).
Selanjutnya kondisi audien/jamaah ketika Rasulullah SAW menyampaikan khutbah digambarkan Abdullah Ibn Mas’ud: jika Rasulullah SAW di atas mimbar kami menghadapkan muka kami kepadanya. (HR. Tirmidzi).
Berkenaan dengan sikap tanggap dan kominikatif terhadap jamaah, Rasulullah SAW pada suatu khutbah Jum’at, seseorang masuk ke mesjid lalu beliau bertanya sudah shalat? orang tersebut menjawab, belum. lalu rasulullah bersabda: berdiri dan shalat dua rakaat! (Mutafaq Alaih).
Dari tiga keterangan di atas dapat dikatakan bahwa penyampaian khutbah pada awalnya sebagaimana dicontohkan, bersifat komunikatif dengan audien, serta penuh semangat dan merespon berbagai keadaan audien.
Keempat, displin majlis atau pertemuan, sikap jamaah jika menghadiri perkumpulan –terlebih dalam ibadah Jum’at– harus mendengarkan pemaparan yang disampaikan oleh pembicara (khatib) dengan seksama, jangan ngobrol atau berbicara sendiri. Jika melakukan hal tersebut maka nilai kehadriannya dalam shalat Jum’at berkurang bahkan dinilai sama dengan yang tidak melaksanakan shalat Jum’at.
Kelima, sikap perhatian terhadap isi pesan yang disampaikan dan menaati nasehat-nasehat yang disampaikan menjadi alasan untuk mendapatkan rahmat Allah.
Maka perubahan mindset dari menjalankan shalat Jum’at menjadi penting artinya selain menjalankan kewajiban beribadah shalat juga menjalankan ibadah lain yaitu thalabul ilmi, di sini letak nilai tambahnya jum’at, ada peribadahan ada pembelajaran. Dan keduanya digabung dalam satu kegiatan; shalat Jum’at.
Stidaknya ada dua mindset yang harus dibangun, pertama bagi jamaah niat belajar dan beribadah sejak keberangkatannya dari rumah masing-masing. Kedua bagi imam dan khatib ada niat untuk mengajar dan menyampaikan nasehat-nasehat kehidupan yang bresifat religious.
Dengan demikian ritual Jum’at tidak semata rutinitas ritual tapi berfungsi sebagai pendidikan orang dewasa. Hasil yang diharapkan ada peningkatan kualitas ketakwaan yang merupakan buah dari pembelajaran setiap minggu, yang kemudian dapat ditularkan kepada keluarga di rumah seperti para istri dan anak-anak yang tidak ikut shalat Jum’at. Wallahu A’lam.
Comments are Closed