Perjalanan Ilmu Akankah Indonesia Berperan?
Kemudahan akses komunikasi dan transportasi memungkinkan terjadinya kunjungan yang sangat mudah antara penduduk suatu negara ke negara lain. Berbagai pergerakan sejak dahulu kala diawali dengan adanya proses asimilasi dan akulturasi yang diawali dengan pengenalan atau pengetahuan.
Dalam hal arsitektur mesjid misalnya banyak ditemukan mesjid akhir-akhir ini bernuansa mesjid-mesjid di negara-negara Timur Tengah, sebagaimana juga fashion dan lainnya.
Dalam hal ilmu dan pengetahuan sejak awal para ulama Indonesia yang belajar ke Makah ketika pulang ke Tanah Air memberikan wawasan baru dari sudut keilmuan. Ambil contoh KH Hasyim Asyari yang sepulangnya dari Makah memperbaharui sistem pengajaran di pesantrennya sejak sekitar tahu 1900an, tepatnya tahun 1916 mulai memasukkan pelajaran Hadits, dan mendirikan NU pada tahun 1926. KH Ahmad Dahlan juga sepulangnya dari Makah mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912, yang pada intinya pergerakan ekonomi dan pendidikan.
H Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang juga melakukan pergerakan yang sama dengan memodernisir pesantren sepulangnya dari Makah, Perguruan Thawalib tahun 1900an dibawah asuhan Syekh Abdullah Ahmad telah memulai pendidikannya dengan sistim halaqah bertempat di Surau Jembatan Besi Padang Panjang, yang kemudian pada tahun 1911 dilanjutkan oleh H. Abdul Karim Amarullah, beliau sekaligus merubah sistim belajar dari halaqah menjadi klasikal.
Di Sulawesi Haji Muhammad As’ad yang awalnya menyelenggarakan kegiatan pendidikan hanya berupa pengajian khalaqah (Mangaji tudang). Kemudian pada Bulan Mei 1930 dikembangkan dengan mendirikan lembaga Pendidikan dengan sistim klasikal (Madrasy). Pendidikan Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI), yang kemudian bernama pesantren As’adiyah.
Syeikh Ahmad Surkati Al-Anshori, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan. Pada mulanya Syekh Surkati datang ke Indonesia atas permintaan perkumpulan Jami’at Khair -yang mayoritas anggota pengurusnya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid, dan berdiri pada 1905. lalu pada Tahun 2014 mendirikan Madrasah Al-Irsyad yang kemudian secara keorganisasian dijadikan tahun berdirinya al-Irsyad.
Pada taun 1911 KH Abdul Halim di Majalangka mendirikan organisasi bernama Majlisul Ilmi yang merupakan cikal bakal PUI yang secara resmi didirikan tahun 1952, merupakan gabungan dari organisasi yang didirikan oleh dua sahabat KH.Abdul Halim dan KH.Ahmad Sanusi, pada waktu yang bersamaan menuntut ilmu di Mekah.
Bisa dicatat bahwa periode antara tahun 1910-1930 adalah masa-masa kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia dengan ditandai oleh modernisasi metodologi pembelajaran. Dengan kota Makah sebagai titik gerak peradaban dan perkembangan kemajuan Islam di Indonesia.
Sedangkan pada periode berikutnya tahun 1930-1960 mulai nuansa keilmuan Mesir dikenal dan menjadi rujukan, pemikiran Muhammad Abduh, Rasyid Rida dan lainnya menjadi dasar pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Hal tersebut ditambah dengan produktivitas ulama Mesir saat itu dalam menulis dengan karya-karya yang kemudian menyebar di Dunia. kader-kader pesantren dan bangsa banyak menimba ilmu di Mesir, minat terhadap Al-Azhar begitu tinggi hingga sekarang, maka tradisi keilmuan al-Azhar kemudian mewarnai berbagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia bahkan di belahan Dunia Islam lainnya.
Nuansa Al-Azhar lebih nampak pada modernisasi pendidikan Islam di Sumatra Barat, konekting antara Padang Panjang dengan Mesir ditandai dengan kedua tokoh DR.Abdullah Ahmad dan DR. H. Abdul Karim Amarullah yang mendapat gelar Doktor dari Al-Azhar pada tahun 1926, sekolah Adabiah dan PGAI di Jati, Padang, adalah hasil karya mereka sejak tahun 1919 lalu bersama ulama Sumbar, antara lain Syekh Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Ibrahim Moesa Parabek, Syekh H.Daud Rasyidi Balingka, Syekh Kadir Muhammad Air Bangis, Syekh Muhammad Zen Imam Batusangkar, Syekh Abdul Majid Karim Padang dan ulama lainnya. Serta lahirnya Sumatra Thawalib pada tahun 1921 merupakan andil dari para ulama tersebut.
Kemudian pada tahun 1920, DR.Abdullah Ahmad telah mendirikan panti asuhan Anak Yatim PGAI di Jati Padang, kemudian sepuluh tahun setelah itu atau tepat 1930, Normal Islam School resmi berdiri menyaingi sekolah-sekolah umum yang banyak didirikan Belanda.
Dari sinilah awal lahirnya Pondok Modern di Jawa yang dibangun dalam bentuk KMI oleh KH Imam Zarkasyi sekembalinya dari Padang, sebagai pengembangan Gontor yang berdiri tahun 1926 didirikan bersama oleh tiga beraudara KH Ahmad Sahal, KH Zaenudin Fanani dan KH Imam Zarkasyi. Modernisasi pendidikan Islam model KMI ini merupakan oleh-oleh dari Padang “Normal Islam School” yang saat itu dipimpn oleh Mahmud Yunus. kemudian diikuti oleh pesantren-pesantren serta lembaga pendidikan yang kader-kadernya nyantri di Gontor seperti PP Al-Amin Prenduan Sumenep Madura, Pondok Pabelan, serta pondok lainnya yang sekarang berjumlah lebih dari 300 pesantren model KMI.
Pada masa yang sama KH Abdul Wahid Hasyim –menurut Achmad Zaini merupakan pembaharu di lingkungan lembaga Islam tradisional– memperbaharui pendidikan pesantren di Tebuireng, tepatnya pada sekiat tahun 1935, ketika KH Hasyim Asyari menyetujui usulannya untuk memperbaiki metode pembelajaran dan menambahkan kurikulum pelajaran umum seperti masuknya huruf latin dan bahasa Belanda.
Fase ini dapat dikatakan sebagai masa peralihan kiblat keilmuan dari Makah ke Cairo, menurut Deliar Noer perkembangan pendidikan Indonesia itu inspirasi sebagian datang dari luar, terutama dari Timur Tengah, khususnya Makkah dan Cairo. Melalui publikasi dan lembaga pendidikan di sana yang merupakan pusat pengajaran Islam. maka kitab-kitab dari Mesir mulai masuk dalam kurikulum pembelajaran.
Fase ini yakni antara tahun 1930 hingga 1960 an merupakan pewujudan dari konsep modernisasi yang dibangun dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia baik berupa sekolah-sekolah islam yang didirikan ormas maupun pesantren-pesantren baik yang lama dan memodernisir dirinya maupun pesantren yang baru tumbuh.
Tentu saja tidak di kalangan pesantren semata tapi perguruan tinggi juga lebih banyak dipengaruhi oleh tradisi Al-Azhar dan perguruan tinggi Mesir lainnya.
Fase berikutnya adalah antara tahun 1960-1990, masa ini lebih banyak digunakan untuk memperkuat ide-ide pembharauan pendidikan pada masa sebelumnya, dengan mempertahankan pendidikan agama Islam dalam wadah Departemen Agama serta memperkuat dasar-dasar pengembangan pendidikan Islam.
Pada tahun 1952 lahir istilah Madrasah Ibtidaiyah 3 tahun dan Mts 3 Tahun serta MA 3 thaun menjadi jenjang pendidikan madrasah yang oleh pemerintah diakui sebagai sekolah sebagaimana sekolah lainnya. Lalu pada tahun 1959 muncul peraturan tentang penegrian madrasah yang pada awalnya rata-rata merupakan sekolah yang didirikan organisasi atau masyarakat setempat. Tahun 1975 pemerintah menggulirkan kebijakan berupa SKB (Surat Keputusan Bersama) 3 Menteri ; Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri. Dengan SKB tersebut ditetapkan hal-hal berikut : Ijasah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijasah sekolah umum yang setingkat. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Kemudian UU Sisdiknas tahun 1989 menjadikan madrasah sama dengan sekolah umum, termasuk penyelenggaraan UN.
Kalangan pesantren kemudian menyambut kehadiran MI, Mts, dan MA sebagai bentuk pendidikan yang dimasukkan dalam pesantren. Wal hasil sebagian pesantren menjadi penyelenggara pendidikan formal, dengan segala ketentuan diatur oleh pemerintah, mulai dari kurikulum, KBM, serta evaluasi pendidikan semuanya mengikuti ketentuan yang berlaku di bawah otoritas Depag. Bahkan lebih jauh lagi pada akhir tahun 90an dan awal tahun 200an pesantren banyak yang menyelenggarakan juga pendidikan umum seperti SMP, SMA dan SMK, yang berada dalam naungan Depdikbud.
Kembali kepada kiblat pendidikan agama Islam yang sudah mengarah ke Mesir, serta bertambah lagi referensinya ke Sudan hal ini semakin menguat pada periode ini, dengan banyaknya alumni Mesir yang berperan dalam pendidikan, menyusun kurikulum, menyusun buku pegangan siswa bagi Mts atau MA, minimal para sarjana yang merupakan murid alumni Mesir atau Sudan. Selain itu adanya alih generasi pimpinan pesantren kepada kader-kader yang kebanyakan alumni Mesir setidaknya dapat memengaruhi pola pengelolaan dan pembelajaran pesantren.
Tahun 1990an ditandai dengan marknya pesantren yang menyelenggarakan tahfidz al-Qur’an. walahupun pada tahun-tahun awal seperti pesantren as-Ari’ah Wonosobo pada tahun 1800an, Pesantren Al-Munawir Krapyak, PP Asadiyah Sulawesi, program tahfidz sudah ada.
Trend tahfidz ini semakin marak pada sekitar tahun 1990an dengan semakin banyaknya pendatang baru dari alumni-alimni pesantren tahfidz terdahulu maupun alumni Timur Tengah seperti Madinah. hal ini juga diperkuat dengan minat orang tua yang menhendaki anak-anaknya menjadi penghafal al-Qur’an.
Tahfidz juga diminati karena beberapa perguruan tinggi di Timur Tengah mejadikan hafalan al-Quran sebagai syarat penerimaan mahasiswa baru minimal 5 Juz. Belakangan banyak lembaga-lembaga yang menyelenggarakan program tahfidz dalam bentuk karantina berupa program bulanan.
Dengan berbagai perkembangan lembaga pendidikan Islam di atas terlihat perpindahan Ilmu dari Timur Tengah ke Indonesia, bahkan Asia Tenggara, kitab-kitab rujukan dari Timur Tengah sudah berpindah ke Indonesia dalam bentuk rujukan baik di pesantren maupun di Perguruan Tinggi yang membahas masalah keislaman. Termasuk para hufadz dan tradisi menhafal kini telah marak di Indonesia, jadi para hufadz pun telah berpindah ke Indonesia.
Cuman pertanyaannya apakah kepindahan itu mampu mengangkat kaum muslimin Indonesia menjadi pelopor peradaban? Apakah semangat dan produkltivitas penulisan buku-buku agama Islam dengan bahasa yang bisa dipahami oleh ummat Islam secara Internasional -minimal berbahasa Arab– bias muncul dari kalangan ulama -ulama baru Indonesia? Sehingga pada gilirannya ide-ide cemerlang dari Indonesia bia tersebar ke seluruh dunia, dan Indonesia menjadi tujuan bagi para pencari ilmu dari manca negara bisa terwujud? Hal ini tentu saja harus menjadi pemikiran dalam rangka mengembangkan pendidikan Islam Indonesia ke depan.
Comments are Closed