Benang Merah Sistem Pendidikan Finlandia dan Pesantren
Oleh: M. Tata Taufik
PENDIDIKAN pesantren mungkin tidak banyak diketahui masyarakat Indonesia, terlebih lagi masyarakat internasional. Beruntung pada 3 Juni lalu Pondok Pesantren Al-Ikhlash Ciawilor, Kuningan, Jawa Barat, dikunjungi Heramb Kulkarni dari Council for Creative Education (CCE) Finland. Sebuah organisasi yang berbasis di Finlandia yang mempromosikan pendekatan inovatif untuk pendidikan.
Dalam surat permohonan yang diterima, pihak CCE menjelaskan tujuan kunjungan mereka. CCE ingin mempelajari lebih lanjut tentang metodologi pengajaran unik pesantren, pengembangan kurikulum, dan lingkungan pendidikan di Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash.
“Kami mohon diberi kesempatan untuk bertemu dengan administrasi sekolah, guru, dan siswa untuk mendapatkan wawasan tentang praktik pendidikan Anda. Kami berharap dapat mengamati ruang kelas Anda, terlibat dalam diskusi dengan pengajar, dan menjelajahi area potensial untuk kemitraan atau inisiatif bersama antara organisasi kami.”
Tentu dengan senang hati kami sambut niatan kunjungan tersebut. Singkat cerita, setibanya di pesantren, Heramb Kulkarni diajak keliling pesantren untuk melihat lingkungan serta mengamati berbagai spot yang ada di sekitar lingkungan pondok. Mulai dari pesan-pesan dan motivasi yang ada di sekeliling pesantren sampai memperhatikan proses ujian lisan yang kebetulan sedang berlangsung.
Setelah selesai mengelilingi kampus, beliau diajak berkumpul dengan para guru untuk berdiskusi tentang apa saja yang dilakukan pesantren dalam mendidik para santrinya. Diawali dengan pemaparan sinopsis kegiatan pesantren beserta prinsip-prinsip dasar dalam proses pendidikan yang berlangsung di Al-Ikhlash.
Dijelaskan juga bahwa pendidikan di Al-Ikhlash mengarah kepada apa-apa yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi, apa yang akan ditemukan di masyarakat itulah yang diajarkan di pesantren. Mulai dari mentalitas, kemampuan, serta kemahiran yang dibutuhkan untuk setiap pribadi dalam kehidupan nantinya. Juga dalam kaitan peran santri di masyarakat nanti, seperti pendidikan keorganisasian, keberagamaan, pengetahuan agama, serta pengetahuan ilmu umum dan bahasa asing, terutama bahasa Arab dan bahasa Inggris. Semuanya merupakan kunci yang bisa dipakai oleh para alumni untuk mengembangkan dirinya.
Usai pertemuan dengan para asatidz, tahap berikutnya adalah diskusi dengan unsur pimpinan pesantren. Pertanyaan pertama yang kami ajukan: Apa yang dia dapatkan dari hasil pengamatannya serta dari informasi yang didapat?
Temukan hal baru
Ternyata beliau sangat terkesan dan banyak mendapatkan sesuatu yang baru. Menurutnya, “dengan jujur saya katakan bahwa saya mendapatkan hal-hal yang baru dan kreativitas luar biasa dalam desain pendidikan yang ada di pesantren.” Beliau sampaikan, “ini pertama kali saya mengunjungi Indonesia dan pertama kali juga mengunjungi pesantren.”
Menurut pengakuannya, setelah melihat proses ujian lisan, dia melihat santri percaya diri dalam menghadapi para penguji. Hal ini terlihat dari gerak tubuh dan sikap santri saat berdialog dengan penguji. Beliau menyampaikan keberhasilan proses belajar tidak hanya dilihat dari skor ujian, banyak segi yang bisa dinilai.
Selanjutnya, dia bercerita bahwa di Finlandia tidak ada ujian akhir. Menurutnya, tes hanya membuat siswa belajar giat pada saat akan diujikan. “Setelah itu stop belajar, padahal yang kita inginkan mereka terus belajar dan tidak berhenti belajar.”
Dia menambahkan, yang mengetahui kemampuan belajar siswa itu gurunya. Maka, gurulah yang menentukan lulus dan tidaknya siswa dari satu jenjang pendidikan.
Kami sampaikan bahwa di Indonesia juga akan mengarah ke sana dengan konsep Merdeka Belajar dan Kurikulum Merdeka. Rupanya, beliau juga sudah mengetahuinya seraya berkata, “Merdeka Belajar!”
Kami sampaikan di pesantren kita masih ada tes akhir, tujuannya untuk membangkitkan semangat belajar santri. Di pesantren dikembangkan konsep “ujian untuk belajar”, bukan sebaliknya. Ujian akhir itu pun kami laksanakan secara mandiri oleh pesantren. Dan setiap pesantren memiliki otonomi untuk menyelenggarakan proses belajar mengajar termasuk evaluasinya.
Tak ada soal pilihan ganda
Berikutnya kami tanyakan juga tentang format soal ujian, apakah di Finlandia ada soal-soal multiple choice atau pilihan ganda? Dia mengatakan di Finlandia tidak ada soal tes multiple choice karena soal seperti itu mengajak anak untuk menjawab serampangan. Jadi, mereka cukup memilih salah satu jawaban padahal ada satu jawaban yang paling benar.
Kami sampaikan juga bahwa di pesantren tidak menggunakan tes dengan model multiple choice. Kita lebih banyak menggunakan bentuk esai untuk memacu kemampuan berpikir para peserta didik dan kemampuan analisis mereka. Dengan pernyataan itu, dia sangat setuju.
Kemudian kami tambahkan bahwa di pesantren ini tidak menilai siswa hanya karena skor nilai yang didapatnya. Bagi kami, setiap siswa berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Kami sangat menghargai proses dan kelebihan masing-masing siswa. Bahwa setiap siswa berhak untuk dihargai dengan berbagai capaiannya. Dan mereka dimotivasi untuk mengenal kelebihan dan kekurangan dirinya. Semua santri punya potensi untuk maju dan berkembang.
Walaupun secara administratif kita melakukan ranking skor nilai ujian, tapi itu hanya untuk siswa yang bersangkutan. Kami tidak mengumumkannya di kelas mereka dan tidak memberikan reward khusus bagi mereka yang mencapai skor tertinggi. Pertimbangannya, bagi kami—para pendidik—seluruh santi harus diberikan penghargaan yang sama.
Tak memberi hadiah
Setiap selesai ujian semester, kami mengadakan acara syukuran. Kami sampaikan kepada para santri bahwa capaian mereka semua meningkat, pengalamannya meningkat, tahu cara belajar (how to study), dan tahu kekurangan serta kelebihan dirinya. Kepada para santri disampaikan bahwa mengikuti proses pendidikan di pondok satu semester itu saja sudah pasti akan ada perubahan, baik mental, sikap, dan pengetahuan.
Adapun bagi para santri yang dapat menyelesaikan pendidikannya di pondok itu memiliki kedudukan yang sama di mata kami sebagai pendidik. Jadi, mereka memiliki kemampuan dan kesempatan untuk berkembang yang sama. Kami tidak pernah memberikan hadiah. Untuk mereka yang mendapat skor tertinggi juga tidak pernah mengecilkan para santri yang skor ujiannya rendah. Kami berbaik sangka—husnuzan—bahwa mereka akan mampu berkembang sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.
Kami sampaikan bahwa para santri berada pada titik nol, artinya mereka semua berkesempatan dan memiliki kemampuan yang sama untuk mengembangkan kepribadiannya. Mengembangkan dirinya dan mengembangkan pengetahuannya di masa yang akan datang.
Mendengar penjelasan ini Heramb sangat terkesan dan mengapresiasi kerja kita. Dia juga ingin mengetahui lebih banyak tentang pendidikan pesantren.
Tentang PISA
Diskusi kemudian beralih pada soal PISA (Programme for International Student Assessment). Suatu program penilaian pelajar internasional yang diselenggarakan oleh OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development). Kami menanyakan juga bagaimana dengan PISA yang selama ini banyak memengaruhi kebijakan-kebijakan pendidikan di berbagai negara di dunia ini? Dia menjawab bahwa Finlandia tidak memakai PISA dan para siswa tidak mengikutinya. Menurut dia, banyak yang luput dari penilaian yang ditawarkan oleh PISA.
Pertanyaan berikutnya yang beliau sampaikan adalah bagaimana cara para santri bisa menguasai suatu pelajaran secara komprehensif? Kami mencoba menjelaskan bahwa mereka berusaha untuk menganalisis dari konten buku ajar yang dipelajari. Dilakukan semacam analisis wacana dan mereka membuat sketsa bisa berbentuk gambar, diagram atau mind maping, bahkan mereka sudah terbiasa membuat ringkasan.
Tidak kalah pentingnya kami sampaikan bahwa kunci dari pendidikan di pondok pesantren kita adalah memperlakukan manusia sebagaimana mestinya perlakuan terhadap manusia—treat them as humans. Kami sampaikan bahwa proses pendidikan di sini lebih mengutamakan aspek-aspek kemanusiaan. Kita ini mendidik manusia, maka perlakuannya juga harus perlakuan yang dibutuhkan oleh manusia.
Mempertahankan tradisi memukul bel
Kita masih ada tradisi memukul bel sebagai tanda suatu kegiatan dimulai. Pukulan bel juga menandai bergantinya satu kegiatan dengan kegiatan yang lain. Kenapa mereka masih harus memukul bel? Karena di situ ada latihan bertanggung jawab. Petugas akan menjaga ketepatan waktu dan itu merupakan sebuah proses penanaman rasa tanggung jawab. Mereka akan terbiasa serius dalam melakukan suatu pekerjaan.
Kami tidak menggunakan bel yang otomatis dengan setting waktu oleh perangkat elektronik dengan komputer. Mendengar penjelasan ini, beliau tertawa. Inilah yang kami maksud bahwa kami memperbanyak peran serta manusia dan mengurangi penggunaan teknologi.
Soal pendidikan adalah soal menyiapkan anak didik untuk bisa menguasai kecakapan hidup di masanya nanti. Dan itu harus dimulai dari akar tradisi kehidupan manusia universal; penyelesaian masalah, berpikir strategis dan kritis serta tanggap, serta memiliki kemampuan menganalisis. Kami tidak menciptakan robot di sini, tapi kita akan mendidik manusia sebagaimana jati dirinya makhluk yang selalu aktif berpikir.
Jadi, di sini kami masih mengajarkan anak untuk menulis dengan tangan dengan tidak bergantung kepada alat bantu seperti komputer, mesin tik, dan lainnya. Artinya beberapa step harus mereka lalui seperti menulis secara tradisional, menggunakan pensil atau pulpen, kemudian juga baru belajar mengetik, untuk selanjutnya belajar menggunakan komputer. Walaupun mereka dari rumahnya tentu sudah memiliki kecakapan penggunaan alat seperti itu.
Kecakapan hidup tradisional ini sangat dibutuhkan untuk membekali kemampuan hidup secara sederhana. Dan itu sangat bermanfaat nantinya untuk menjadi dasar pengembangan diri dan kemampuan di era apa pun, baik hidup secara tradisional maupun kehidupan yang sudah sangat modern dan maju.
Benang merah Pendidikan Finlandia dan Pesantren
Kami juga mengajarkan nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai kebaikan yang bersifat universal. Pada gilirannya, kami juga menanamkan cinta ilmu dan belajar sepanjang masa.
Menanggapi pernyataan ini Heramb sangat tertarik. Dia memberi komentar bahwa ternyata Anda mendidik dengan akar tradisi. Menurutnya, teknologi akan berkembang terus dan berjalan.
Dan pendidikan seharusnya memang menanamkan akar-akar tradisi yang dimiliki, baik dari nilai-nilai agama maupun nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat, sehingga mereka ke depan siap mengembangkan diri. Sampai di sini terlihat ada banyak kesamaan pendapat tentang konsep pendidikan antara pesantren dengan apa yang diterapkan di Finlandia.
Sebenarnya, masih banyak topik yang bisa didiskusikan, namun karena keterbatasan waktu diskusi diakhiri dengan foto bersama dan harapan untuk bisa berkolaborasi di masa mendatang. Melalui cerita ini harapan kami semoga kita bisa lebih menggali metodologi dan pendekatan pendidikan yang kita miliki, serta mengomunikasikannya kepada khalayak internasional.
Sumber Pilar Medcom 8 Juni 2023
Comments are Closed