Amanah Ilmiah
Oleh: M.Tata Taufik
BEBERAPA tahun silam penulis mendapat telepon dari seseorang yang menawarkan untuk ikut sebagai “Pura-pura menjadi penulis”. Seseorang di ujung telepon itu menawarkan artikel yang sudah di-translate dan akan diterbitkan di jurnal yang terindeks Scopus. Sang penelepon menyebutkan harga sekitar Rp12 juta.
Kemudian, penulis menjawab bahwa, “Anda salah sasaran. Saya tidak mempunyai Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN).” Lalu, penelepon itu meminta maaf dan menutup teleponnya.
Itu cerita awalnya. Agak lama juga cerita itu penulis simpan. Dan itu sangat lucu.
Kemudian, baru-baru ini ada juga seorang teman yang minta dicarikan jurnal yang terindeks Scopus yang sesuai dengan bidang keilmuan penulis. “Saya siap bayar,” ujarnya. Lagi-lagi penulis tertegun sambil mengelola deretan emosional yang muncul karenanya; sedih, jengkel, kecewa, serta ada kehendak untuk berontak dan meluruskan pemikiran pragmatis seperti itu. Memang ada ketentuan penilaian jabatan akademik. Di antaranya mampu menyampaikan presentasi ilmiah pada forum nasional dan internasional. Harus menghasilkan karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal nasional, jurnal nasional terakreditasi, jurnal internasional, jurnal internasional yang terakreditasi, dan jurnal bereputasi internasional.
Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 92 Tahun 2014, lampiran Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No 17 tahun 2013. Dalam peraturan tersebut tidak ada ketentuan yang mengarah kepada Scopus.
Scopus mania
Pada 20 Mei lalu penulis mengobrol dengan seorang teman dalam perjalanan antara Cirebon ke Kuningan. Penulis memulai pembicaraan dengan ungkapan: “Kok tidak tega, yah, melihat para dosen kita menjadi Scopus Mania. Seakan-akan dewa, segalanya harus Scopus dan rela membayar hanya untuk itu.”
Kemudian penulis kembangkan juga dengan kenyataan-kenyataan lain. Para penerbit suka bercerita tentang penerbitan buku yang tidak bisa kami ungkapkan di sini. Mungkin terlalu naif kalau menceritakan itu. Tetapi minimal ada kuncinya di sini, bahwa para ilmuwan ada yang benar-benar ilmuwan, cinta ilmu, mengembangkan ilmu, dan ada juga yang memang hanya mengejar posisi atau gelar akademik yang berujung pada penghasilan.
Teman tadi menimpali, sebenarnya yang terpenting itu kembali kepada Tri Darma Perguruan Tinggi. Menurut dia, ketentuannya tidak menyebutkan secara khusus Scopus. Dengan adanya anggapan seperti itu, lanjutnya, bermunculan jurnal “siluman” dan usaha-usaha yang menjanjikan penerbitan artikel dengan tarif yang bahkan sangat tinggi. Ada yang sampai–beliau menyebut angka dalam kelipatan juta rupiah–setelah itu tidak terbit juga dan jurnalnya kemudian berstatus Scopus discontinued sources. “Kalau sinetron kan continued,” kelakarnya sambil senyum.
Mudah-mudahan tidak banyak hal yang seperti itu. Mungkin kebetulan nasib penulis saja dipertemukan dengan orang-orang yang salah sasaran. Harapannya bahwa itu hanya segelintir dari sekian banyak orang baik yang menjunjung tinggi amanah ilmiah, suatu istilah yang dipopulerkan Harun Nasution pada tahun 1980-an.
Masih sekitar status jurnal, pada 26 Mei lalu di Semarang penulis juga mengajukan pertanyaan soal kegilaan terhadap Scopus kepada seorang dosen. Jawabannya: Ya, memang begitu, Syaikh. Dalam penilaiannya ada skor tertentu untuk jurnal tertentu.
Penulis sampaikan bahwa ketentuannya tidak begitu. Dalam peraturannya tidak menyebutkan nama lembaga indeks. Selang beberapa hari–karena gelisah dengan kondisi tersebut–penulis kirimkan file-file peraturan terkait. Sambil memotivasi teruslah menulis di mana pun.
Kemudian pada lain kesempatan masih, di bulan Mei, penulis sampaikan juga permasalahan yang sama kepada seorang dosen di Jakarta. Jawabannya menarik: Biar saja, biar mereka tidak berpikir instan. Kalau tidak layak ya terima saja, memang kenyataannya tidak layak dan tidak memiliki kapasitas.
Terobati juga kegundahan penulis dengan jawaban seperti itu. Tapi, muncul lagi pikiran lain, bagaimana solusinya agar para akademisi itu memiliki cara pandang yang sama seperti yang disampaikan sang dosen tadi. Atau dengan kata lain memiliki mentalitas dan amanah ilmiah?
Relawan ilmiah
Berkaitan dengan amanah ilmiah dan mentalitasnya, mungkin baik juga disampaikan di sini apa yang pernah penulis sampaikan di Hari Sukarelawan Internasional pada 5 Desember 2022 yang lalu bahwa tindakan atau kegiatan ilmiah itu selalu didasarkan pada volunteer atau amal bakti. Dalam Islam justru kegiatan-kegiatan ilmiah, baik itu penelitian, pengajaran, hingga penyebaran Al-Qur’an sifatnya sukarela, sehingga pelakunya disebut relawan.
Sejak dini, dalam ajaran Islam, menjadi relawan ilmiah itu merupakan keharusan. Dan tentu ada kriteria kebenaran dan informasi yang harus disampaikan. Jadi, kegiatan menulis itu adalah menyampaikan informasi yang dia dapat dan layak diketahui oleh orang banyak. Itu harus disampaikan. Dalam penyampaiannya pun secara sukarela. Tujuan dari ide tulisan juga harus diperbaiki, yakni menyampaikan informasi atau temuan baik yang bermanfaat jika diketahui orang banyak; menyebarkan ilmu-–nasyru al-ilmi.
Selanjutnya, masyarakat pembaca akan me-review karya-karya para relawan ilmiah itu sehingga menjadi karya yang bermanfaat. Pada gilirannya karya tersebut akan dilirik banyak orang. Jika itu sudah terwujud, maka persoalan publikasi jurnal tidak lagi menjadi persoalan, bahkan sebaliknya karyanya akan diminta untuk dipublikasi.[]
Sumber: Medcom.id/Pilar/kolom 15 juni 2023
Comments are Closed