media berbagi dan silaturahmi

Jubah

Print Friendly, PDF & Email

Jubah lebih dikenal sebagai pakaian terusan, sebenarnya nama aslinya qamish (gamis) baju model ini sering dinisbahkan kepada pakaian Bangsa Arab, padahal film-film yang menggambarkan Bangsa Eropa awal juga sering menampilkan model baju seperti jubah untuk menghadirkan realitas masa kuno.

Pada saat kecil kita sering melihat gambar keulamaan dan ketokohan para pahlawan dan keulamaan dengan symbol jubah, dan menjadi identitas keislaman dengan. Seperti gambarana Wali Songo dan ulama lainya. tentu sebuah gambaran yang menakjubkan.

Berikutnya para penceramah sering juga berjubah ketika naik ke atas panggung degan segala kelengkapannya, seperti sorban dan tutup kepala dengan peci putih bungkus kain putih.  Alhasil warna jubah putih dan tutup kpala putih menjadi tampak sangat berwibawa ketika di atas mimbar.

Walaupun demikian saya belum bisa memakai jubah atau membeli jubah, saat itu, lebih senang pakai jas atau batik, pada waktu itu baju koko (orang sering menyebutnya baju takwa) belum begitu populer, seperti yang diketahui model baju koko baru mulai tersosialisasi penggunaannya setelah tahun 90 an dan terus menyebar dengan sangat pesat masa sekarang, sehingga sering juga menjadi identitas keagamaan dan pakaian peribadatan.

Pada tahun 2007 saya diminta menulis buku tentang Pendidikan Agama bernuasa Kesehatan, setelah buku dibuat diberi juga ilustrasi gambar orang-orang berjubah, sampai pada saat evaluasi, sang evaluator mengatakan kenapa gambarnya orang-orang Arab? saya pikir saat itu untuk memberikan gambaran identitas keislaman, ternyata ilustrasi itu malah menjadi bahan kritikan.

Lanjut pada tahun 2010 saat menjalankan ibadah haji, saya coba membeli jubah di sana, dan dipakai sesekali ketika ke mesjid, ternyata nyaman dan ringan rasanya. Kemudian pada tahun sekitar 2012 an putri saya dari Mesir mengirimkan hadiah berupa jubah, ya masih jarang dipakai, baru ketika ada acara Daurah di Makkah, saya bawa baju tersebut, juga membuat 1 buah jubah putih sesuai arahan panitia untuk kelengkapan yang harus dibawa ketika daurah (pelatihan). Stay satu bulan di Makkah menjadikan pengalaman baru dalam memakai jubah, ringan, santai dan tidak ribet. Akhirnya agak terbiasa juga berjubah pada saat tertentu.

Kemudian pada akhir tahun 2014 ada kolega menanyakan bagaimana pesantrennya? Saya mau memasukkan anak ke pesantren, tapi apakah pesantrennya bapak tidak macam-macam? saya berpikir maksud macam-macam itu apa ya? Lalu saya tanyakan apa maksud macam-macam itu? Dia jawab, ya tidak harus pakai jubah putih dan tutup kepala putih katanya.  Oh, saya jadi terus berpikir jubah putih dantutup kepala putih dianggap macam-macam?

Terus saya melihat (boleh jadi dengan membaca dan mendengar pernyataan) jubah menjadi topik hangat pembicaraan di Indonesia, bahkan sering dinisbahkan kepada keolmpok tertentu serta dibarengi dengan pernyataan yang kadang –menurut saya  kurang pantas juga– menyudutkan mereka yang berjubah.

Akhirnya sebagai pendidik saya harus bisa meletakkan sesuatu dengan pas, karena input peserta didik itu bersifat umum–ada dari kalangan berjubah juga, maka saya putuskan untuk mebuat jubah putih lagi, dan saya pakai pada saat tertentu, seperti shalat Jum’at. Tujuannya riya memang (maksudnya supaya dilihat) agar tidak terjadi pobia terhadap jubah, dengan sederhana saja itu kan sebatas mode pakaian, jangan sampai orang dimusuhi hanya karena pakaiannya.  Ini dimaksudkan pelajaran kedewasaan bersikap, harus siap berbeda apalagi hanya soal pakaian, asalkan tidak bertentangan dengan syariat.

 

 

Comments are Closed