Familial Approach (III)
Memperkenalkan Pendekatan Pendidikan Pesantren
Familial Approach
Memperkenalkan Pendekatan Pendidikan Pesantren
Definisi dan Landasan Teoretis
Secara etimologis, “pendekatan” merujuk pada proses, cara, atau perbuatan mendekati, baik dalam konteks rekonsiliasi, persahabatan, maupun metodologi penelitian untuk memahami subjek yang diteliti. Secara linguistik, kata ini berasal dari kata dasar “dekat” yang mendapatkan konfiks “pe-an”, sehingga dapat dimaknai sebagai upaya sistematis untuk memahami suatu objek atau jiwa seseorang, sebagaimana dijelaskan dalam tinjauan psikologis. Dalam bahasa Inggris, istilah approach didefinisikan sebagai cara menangani sesuatu (to deal with something) atau metode tertentu dalam melakukan suatu aktivitas.
Secara filosofis, pendekatan merupakan asumsi dasar atau kerangka berpikir mengenai bagaimana suatu proses terjadi atau bagaimana suatu objek kajian harus dipandang. Ketika dipadukan dengan konsep “kekeluargaan”—yang berarti segala hal yang bersifat atau berciri keluarga—maka muncul istilah Familial Approach atau Pendekatan Keluarga yang berakar pada Family System Theory. Dengan demikian, pendekatan kekeluargaan dalam pendidikan pesantren dapat didefinisikan sebagai strategi dan metodologi pendidikan yang mengadopsi prinsip-prinsip sistem keluarga dalam seluruh rangkaian proses pembelajarannya.
Tinjauan Historis dan Sosiologis
Eksistensi pesantren sebagai entitas keluarga didasarkan pada fakta sosiologis di mana santri menetap di lingkungan pesantren dalam kurun waktu yang lama, sehingga interaksi yang terbangun menyerupai dinamika keluarga inti. Dalam konteks ini, pesantren tidak sekadar berfungsi sebagai institusi transfer ilmu, tetapi juga berperan sebagai pengasuh dan pembimbing spiritual bagi santrinya.
Model pendidikan ini secara historis memiliki kemiripan dengan tradisi pendidikan bangsawan di masa lampau. Pada era kerajaan, keluarga raja sering kali mengirimkan putra-putri mereka kepada guru atau resi di padepokan-padepokan terpencil untuk menimba ilmu dan melatih kemandirian. Meskipun terdapat tradisi memanggil guru khusus (Ulama, Abdi Dalem, atau Instrukur Militer) ke istana, pengasingan pangeran ke luar lingkungan kerajaan—yang sering disebut sebagai tradisi “dibuang”—menjadi metode penting untuk mendekatkan calon pemimpin dengan rakyatnya sekaligus menempa karakter mereka di bawah bimbingan langsung seorang guru di padepokan.
Kekeluargaan secara bahasa berarti perihal (yang bersifat, berciri) keluarga. Contoh menyelesaikan masalah secara kekeluargaan (KBBI, 2025). Familial Approach atau Pendekatan Keluarga adalah sudut pandang yang didasarkan pada Teori Sistem Keluarga (Family System Theory).
Jadi pendekatan kekeluargaan dapat didefinisikan sebagai cara menangani suatu persoalan atau masalah dengan tindakan bercirikan atau bersifat keluarga didasarkan pada teori sistem keluarga, yang mencerminkan filosofi terhadap suatu proses atau masalah. Maka yang dimaksud dengan pendekatan kekeluargaan pendidikan pesantren yaitu filosofi, cara, serta teknis dan strategi menerapkan seluruh rangkaian pendidikan di pesantren bersifat dan bercirikan keluarga sejalan dengan teori sistem keluarga.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pesantren dipandang sebagai sebuah entitas keluarga. Hal ini didasarkan pada intensitas interaksi santri yang menetap di lingkungan pesantren selama bertahun-tahun, memiliki dinamika interaksi yang serupa dengan tinggal bersama keluarga inti. Sebagai lembaga pendidikan pesantren bisa dianggap sebagai lembaga pendidikan yang tidak saja memberikan pelajaran, tapi juga bertindak sebagai pengasuh bagi para santri. Sebenarnya model ini bisa ditelusuri dengan melihat sejarah raja-raja atau kekaisaran dalam mendidik anggota keluarganya. Mereka biasa mengirim anak-anak raja dan keluarga kepada Guru di gunung-gunung untuk belajar berbagai hal dan mempersiapkan kehidupan yang lebih baik ke depan.
Pendidikan di kerajaan biasanya dengan memanggil guru khusus ke istana, bisa dari abdi dalem, Ualama dan Resi serta Instruktur Militer. Meski sering dididik di dalam istana, ada tradisi di mana pangeran sengaja “dibuang” atau dikirim ke luar agar mengenal rakyat dan melatih kemandirian. Di era Hindu-Buddha, pangeran dikirim ke padepokan yang dipimpin oleh seorang Resi atau Begawan. Di sana mereka belajar filsafat, ketatanegaraan, dan ilmu kanuragan (beladiri sakti). Setelah masuknya Islam, banyak raja di Jawa (seperti trah Mataram) yang mengirim putra-putranya ke pesantren besar untuk belajar agama sekaligus memperkuat dukungan politik dengan para ulama. Anak raja biasanya dilibatkan dalam urusan pemerintahan sejak usia remaja. Ini adalah bentuk “belajar sambil bekerja”. Mereka sering diminta duduk di samping raja saat menerima tamu agung atau saat sidang pengadilan. Pangeran sering diberi wilayah kecil untuk dikelola (biasanya disebut Pangeran Adipati atau Magang) sebagai ujian sebelum memegang kekuasaan penuh.
Pada masa Kekhalifahan Islam (Umayyah, Abbasiyah, Utsmaniyah). Di dunia Islam, pendidikan calon khalifah difokuskan pada penguasaan agama yang mendalam dan kemampuan retorika (berbicara di depan publik). Lembaga Khusus (Kuttab al-Khass). Jika anak rakyat belajar di Kuttab (sekolah dasar) umum, anak-anak khalifah memiliki Kuttab khusus di dalam istana. Sosok Mu’addib: Ini adalah guru pribadi yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi juga adab dan akhlak. Khalifah Harun al-Rasyid pernah berpesan pada Mu’addib putranya: “Janganlah sehari pun berlalu tanpa memberikan manfaat bagi mereka.”
Adapun Kurikulum yang diajarkan antara lain pelajaran Agama dan Bahasa: Menghafal Al-Qur’an, Hadits, hukum (Fikih), dan penguasaan bahasa Arab tingkat tinggi (Sastra dan Puisi). Selain itu juga pelajaran Sejarah, para calon pemimpin wajib belajar sejarah raja-raja terdahulu untuk mengambil pelajaran politik.
Di Turki Utsmani, ada sekolah Enderun di dalam istana Topkapi. Calon pemimpin dididik sangat keras dalam urusan administrasi negara dan taktik militer. Kemudian Tradisi “Sancak” semacam praktek kerja lapangan, Pangeran Utsmaniyah yang sudah remaja akan dikirim ke provinsi jauh (Sancak) untuk menjadi gubernur kecil agar belajar memimpin rakyat secara nyata sebelum naik takhta.
Ibnu Khaldun menggambarkan proses pendidikan keluarga khalifah sebagai berikut: “Salah satu metode pendidikan terbaik yang dikemukakan oleh ar-Rashîd kepada Khalaf bin Aḥmar, guru putranya al-Amîn. Khalaf bin Aḥmar berkata: ‘Ar-Rashîd menyuruhku untuk datang dan mendidik putranya al-Amîn, dan dia berkata kepadaku: “Wahai Aḥmar, Amirul Mukminin mempercayakan putranya kepadamu, kehidupan jiwanya dan buahnya hatinya. Pegang erat-erat dia dan buat dia mematuhimu. Dan lakukanlah sesuai dengan posisi yang diberikan Amirul Mukminin kepadamu. Ajari dia membaca Al-Qur’an. Ajari dia tentang sejarah. Ajari juga puisi dan syair, ajari Sunnah Nabi. Beri dia tata cara berbicara; bagaimana memulai pembicaraan, menyesuaikan pembicaraan dengan tempat dan watu (kondisi). Larang dia untuk tertawa, kecuali pada saat-saat yang pantas. Biasakan dia untuk menghormati kerabatnya ketika mereka datang kepadanya, dan memberikan tempat terhormat kepada para pemimpin militer ketika mereka datang ke pertemuannya. Jangan biarkan satu jam pun berlalu di mana Anda tidak memanfaatkan kesempatan untuk mengajarinya sesuatu yang berguna. Namun lakukanlah tanpa membuatnya kesal, yang akan mematikan pikirannya. Jangan selalu bersikap terlalu toleran terhadapnya, atau dia akan menyukai waktu luang dan menjadi terbiasa.” (Khaldūn, 1995).
Dengan demikian dari –sudut ini– pendidikan pesantren bisa dinilai sebagai pendidikan calon pemimpin tempat keluarga (biologis, rumah pertama) mengirimkan putra-putinya kepada Keluarga Pesantren (Rumah Kedua) tidak saja belajar agama (Tafaqquh fi Diin) tapi juga belajar kepemimpinan dan praktik kerja lapangan. Dalam hal ini tidak saja mengikuti model pendidikan tradisional klasik, tapi juga beradaptasi dengan model pendidikan modern tanpa menghilangkan best practicies yang sudah dilakukan, tapi penuh upaya inovasi yang selaras dengan kebutuhan zamannya.
Kesinambungan Budaya: Dari Padepokan ke Pesantren
Transformasi pendidikan dari era kerajaan menuju sistem pesantren merupakan bentuk adaptasi budaya yang panjang di Nusantara. Menurut Dhofier (2011), pesantren mewarisi elemen-elemen penting dari institusi pendidikan pra-Islam, di mana figur Kyai menempati posisi sentral yang serupa dengan Resi atau Guru di padepokan masa lalu. Hubungan antara Kyai dan santri melampaui sekadar transfer pengetahuan formal; ia merupakan bentuk ikatan spiritual dan emosional yang mendalam, mencerminkan struktur keluarga besar yang saling terikat secara batiniah.
Lebih lanjut, jika ditinjau dari perspektif Family System Theory yang dikemukakan oleh Bowen (1978), lingkungan pesantren menciptakan sebuah sistem sosial yang unik di mana kemandirian santri ditempa melalui interaksi kolektif. Tradisi “pengasingan” pangeran ke luar istana yang Anda sebutkan di atas kini termanifestasi dalam budaya “mondok”. Di sini, santri dipisahkan dari keluarga biologisnya untuk sementara waktu bukan untuk memutus hubungan, melainkan untuk membangun karakter dan kedewasaan di bawah pengasuhan figur pengganti orang tua (Kyai dan Nyai) dalam sebuah ekosistem kekeluargaan yang lebih luas (Madjid, 1997).
Dua Model Pendekatan Keluarga: Dari Parental Involvement ke Family Engagement
Ada dua model pendekatan kekeluargaan yang dewasa ini dikembangkan di pendidikan sekolah (non pesantren) antara lain Pendekatan Kekeluargaan dengan konsep lama yaitu Keterlibatan Orang tua dalam pendidikan di sekolah Parental Involvement dan konsep baru dikembangkan dengan lebih menekankan pada kolaborasi dan kemitraan antara sekolah dan keluarga yang disebut Family Engagement.
Dalam dunia pendidikan diyakini bahwa kemanjuran lembaga pendidikan dalam mendorong keberhasilan siswa sangat erat kaitannya dengan kualitas hubungan yang terjalin dengan pemangku kepentingan utama siswa: keluarga dan masyarakat. Konsep pemanfaatan pengaruh eksternal ini, yang secara kolektif disebut Pendekatan Keluarga (Familial Approach) telah mengalami transformasi yang ketat dalam kebijakan pendidikan, bergeser dari kerangka kerja yang sempit dan berorientasi kepatuhan yang dikenal sebagai “keterlibatan orang tua” (parental involvement) menjadi paradigma sistemik yang luas yang dikenal sebagai “Kemitraan Keluarga” “family engagement” atau “Family-School-Community Partnership” (FSCP); Kemitraan Keluarga-Sekolah-Masyarakat. Transformasi ini penting untuk membangun fondasi bagi capaian siswa yang adil dan berkelanjutan.
Model pendidikan tradisional yang berfokus pada Keterlibatan Orang Tua (“parental involvement)sering kali mengadopsi perspektif standar yang berpusat pada sekolah. Model ini sering kali dicirikan oleh struktur top-down, di mana sekolah mengidentifikasi tujuan, sumber daya, dan persyaratannya, kemudian mengomunikasikan kepada orang tua bagaimana mereka dapat membantu. Pendidik Ferlazzo menangkap perbedaan ini secara tepat dengan menggambarkan sekolah yang berupaya mewujudkan keterlibatan sebagai sekolah yang “sering kali langsung berbicara — mengidentifikasi proyek, kebutuhan, dan tujuan, lalu memberi tahu orang tua bagaimana mereka dapat berkontribusi” filosofis yang mendasarinya memandang populasi orang tua sebagai klien yang menerima layanan atau bantuan tambahan yang mendukung agenda sekolah yang telah ditetapkan (Ferlazzo, 2011).
Sebaliknya, model kontemporer, Kemitraan Keluarga (Family Engagement), didasarkan pada prinsip-prinsip timbal balik dan rasa hormat. Sekolah yang berkomitmen pada keterlibatan keluarga “cenderung mendengarkan — mendengarkan apa yang dipikirkan, diimpikan, dan dikhawatirkan orang tua.” Tujuanfundamentalnya bergeser dari mengelola klien menjadi membina mitra sejati dalam proses pendidikan. Etos kolaboratif ini secara formal dirangkum dalam definisi kolaborasi keluarga-sekolah, yang mencakup “proses perencanaan kooperatif yang menyatukan staf sekolah, orang tua, anak-anak, dan anggota masyarakat untuk memaksimalkan sumber daya bagi pencapaian dan perkembangan anak.” (Mapp & Kuttner, 2013)
Sangat penting bagi lembaga pendidikan untuk menyadari bahwa konsep ini bukan sekadar hubungan diadik (komunikasi dua orang) antara orang tua tunggal dan guru. Keterlibatan keluarga yang efektif jauh melampaui pandangan sempit ini, termasuk hubungan antara orang tua, anak-anak mereka, guru, administrator, dan bahkan “personel sekolah yang lebih terpencil”.hubungan ini saling terkait, menegaskan bahwa “tidak ada ikatan tunggal yang berdiri sendiri”. Selain itu, definisi kebijakan keterlibatan “keluarga” harus inklusif, mencakup pengasuh atau wali dalam situasi di mana siswa tidak memiliki hubungan aktif dengan orang tua kandung mereka (The Annie E. Casey Foudation, 2023).
Kalau diperhatikan kedua konsep di atas memahami konsep pendekatan kekeluargaan dalam pendidikan diartikan sebatas pada bagaimana interaksi antara keluarga (wali murid) dengan lembaga pendidikan (sekolah). Termasuk di dalamnya komunikasi antara keluarga dan sekolah. Model pertama Parental Involvement tujuannya tiada lain mengomunikasikan tujuan dan program sekolah, sehingga bersifat top-down kerangka kerjanya sekolah menyampaikan saja apa yang dituntut oleh sekolah dari keluarga untuk dipahami dan kontribusi wali murid dalam konteks tersebut. Sedangkan model kedua Family Engagement berusaha memperluas ranah keterlibatan keluarga dengan seluruh staf yang ada di sekolah baik pendidik maupun tenaga kependidikan –masih dalam komunikasi—dan memberi ruang kepada keluarga untuk terlibat dalam menyelesaikan persoalan pendidikan secara menyeluruh baik individu yang ada di sekolah maupun individu keluarga, dan bersifat terbuka, menyampaikan harapan dan kekhawatiran, dengan asas saling menghormati kedua belah pihak.
Pendek kata Involvement menjawab pertanyaan: “Apakah Anda ikut serta?” Involvement menjawab pertanyaan seputar “Doing To” (apa yang dilakukan ke/oleh orang tersebut agar mereka ada di dalam proses). Engagement menjawab pertanyaan seputar “Doing With” (apa yang dilakukan bersama-sama sebagai mitra/partner). sedangkan kata Engagement menjawab pertanyaan: “Seberapa peduli dan antusias Anda saat ikut serta?”
Maren Madalyn mengisahkan apa yang disampaikan Rebecca Honig (Kepala Bagian Konten dan Kurikulum ParentPowered) dan Jessica Webster (Spesialis Keterlibatan Keluarga Senior di MAEC, Inc.) dalam diskusi panel yang menarik untuk mengupas mengapa pemahaman tentang asumsi paling umum tentang keterlibatan keluarga sebenarnya dapat membantu pendidik mengarahkan kemitraan ini menuju masa depan yang lebih menjanjikan.
Ada empat asumsi yang disarikan dari pengalaman mendalam mereka dalam pendidikan. Semuanya menginspirasi pendidik untuk memikirkan kembali apa yang mereka ketahui tentang keluarga dan mengeksplorasi cara-cara nyata untuk mengembangkan hubungan positif dengan mitra penting ini. Empat asumsi tersebut:
Pertama, Keluarga menghubungi Anda ketika mereka memiliki masalah atau pertanyaan. Pelajaran dari kenyataan ini Ketika kita (pendidik) tidak memiliki sistem untuk komunikasi dengan keluarga, kita secara default akan bereaksi terhadap suara yang paling keras. Ini berarti kita harus mencari cara bagaimana bisa tercipta komunikasi dua arah (two-way communication) antara keluarga dan sekolah.
Kedua, Keluarga memiliki pemahaman yang baik tentang cara kerja sekolah Anda. Ini berarti bahwa semua keluarga memiliki titik awal yang berbeda dan unik dalam hal terlibat dengan sekolah mereka. Maka yang harus dilakukan adalah mengenali berbagai macam latar belakang keluarga, mencari titik temu yang bisa memberikan pemahaman sehingga keluarga tertentu bisa bekerja sama dengan sekolah kita.
Ketiga, Keluarga berada di halaman yang sama dengan guru dan memahami tujuan guru untuk anak-anak mereka. Pelajarannya adalah kemitraan sejati bisa berantakan dan tak beraturan dan ruit! Maka dengan mengenali berbagai jenis keahlian mengarah pada hasil yang kuat.
Keempat, Keluarga memiliki pandangan positif terhadap guru dan sekolah. Pelajarannya adalah Orang tua, pengasuh, dan wali semuanya datang ke meja dengan pengalaman dan asumsi mereka sendiri tentang sekolah yang memengaruhi bagaimana dan apakah mereka terlibat (Madalyn, n.d.)
Secara universal, keluarga menginginkan yang terbaik untuk anak-anak mereka, begitu juga pendidik. Menjadikan keterlibatan keluarga sebagai bagian integral dari budaya sekolah membutuhkan bergerak melampaui asumsi menuju komunikasi dan kolaborasi secara terbuka. Bagaimanapun, keterlibatan keluarga adalah proses yang berkelanjutan, bukan kotak untuk dicentang. Dari berbagai asumsi ini, satu hal yang pasti — selalu ada ruang untuk tumbuh dan belajar dalam hal memelihara kemitraan dengan keluarga! Keterlibatan keluarga yang berkembang dalam pendidikan untuk masa depan.
Model Pendekatan Kekeluargaan di Pesantren:
Pertanyaannya dalam pendekatan kekeluargaan pendidikan pesantren: apakah masuk pada model Parental Involvement atau Family Engagement? Atau memang memiliki konsep tersendiri, mengingat bahwa pesantren itu sendiri sudah merupakan keluarga?
Menjawab pertanyaan ini harus dipahami terlebih dahulu konsep pesantren sebagai keluarga, dan konsep keluarga sebagaimana umumnya dalam arti keluarga mikro dan makro, sebagaimana telah dikemukakan di muka. Maka dari situ akan terlihat interaksi dan hubungan antara dua model keluarga tersebut. Keluarga mikro dengan asas pertalian darah diposisikan sebagai user bagi pesantren yang merupakan keluarga makro yang berasaskan tempat tinggal dan tujuan bersama.
Otoritas Calon Wali Santri:
Ketika suatu keluarga mengirimkan putra-putrinya ke pesantren, sama dengan keluarga mikro menitipkan mereka kepada keluarga lain yang lebih besar (makro) yaitu pesantren; memiliki anggota keluarga, memiliki juga tradisi dan tujuan serta nilai yang telah ditetapkan dan aturan yang dipegang oleh seluruh anggota keluarganya.
Bahasa menitipkan dan mengirimkan tentu saja berdasarkan atas kepercayaan pihak penitip atau pengirim kepada penerima titipan. Trust inilah yang memotivasi seseorang untuk kemudian melakukan kontak sosial, interaksi dan lalu berkomunikasi. Katakanlah seseorang mendapatkan informasi tentang suatu pesantren, baik karena informasi resmi yang dikeluarkan oleh pihak pesantren, atau dari sember sekunder yang didapat dari wali santri atau guru, kerabat serta rekan kerja yang memberikan informasi positif tentang pesantren tersebut, maka terbentuklah kesan positif pada dirinya yang membangun kepercayaan –kadang bersifat sementara—lalu diikuti dengan kunjungan (survei) untuk membuktikan kebenaran informasi yang didapat. Jika penilaiannya atas apa yang dilihat itu positif maka, semakin menguatkan kepercayaan tersebut dan mengukuhkan niatnya untuk mengirim anaknya ke pesantren, jika pandangannya masih kurang puas, maka ia akan mengurungkan niatnya untuk mendaftar.
Otoritas user dalam hal ini calon wali santri dan calon santri, untuk memutuskan terus bergabung dengan keluarga kedua ini benar-benar sangat besar, tidak ada keterpaksaan dan bersifat merdeka, sampai pada tahap saat sudah mendaftar pun masih terbuka untuk menentukan pilihan lanjut atau tidak lanjut bergabung. Sering kali terjadi wali santri baru –karena otoritasnya—menarik kembali putra-atau putrinya karena menemukan sesuatu yang di luar ekspektasinya. Seorang wali santri bisa saja memutuskan untuk menarik kembali putra-putrinya hanya karena mengikuti jamaah shalat subuh dan imam tidak qunut, atau bahkan seorang teman pengelola pesantren menyatakan bahwa hanya karena qunut yang dibacanya berbeda dengan qunut yang biasa dibacanya, langsung menarik anaknya.
Kasus lain juga terjadi seorang wali santri menarik kembali anaknya karena kitab-kitab yang diajarkan di pesantren tidak sesuai dengan konsep yang ada dalam bayangannya. Aga juga yang menarik kembali anaknya hanya karena di pesantren terlalu banyak kegiatannya, di sini anak terlalu banyak kegiatan, kasihan capek, saya mencari pesantren yang tidak terlalu banyak kegiatan dan anak merasa lebih santai. Ada juga yang urung mendaftar karena biaya terlalu murah, pertanyaannya berapa biaya masuknya? Ketika dijawab sekian, dia langsung menyatakan tidak jadi mendaftar, saya mencari pesantren yang mahal.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa memilih dan memasuki suatu pesantren tidak ada paksaan, artinya otoritas user sangat tinggi dalam memutuskan Ya atau Tidak. Ini juga mencerminkan pergumulan antara kepercayaan, harapan wali santri, tujuan dan cara pandang dalam memilih pendidikan bagi anaknya, yang tentu saja berujung pada menguat atau melemahnya Trust terhadap pesantren dengan sistem nilai yang berlaku di dalam pesantren tersebut.
Otoritas Wali Santri:
Kemudian setelah proses pemilihan selesai, dan keputusan untuk bergabung dengan keluarga pesantren menjadi pilihan, pergumulan konseptual, trust dan pandangan serta harapan wali santri (keluarga rumah) itu pun masih berlanjut. Perbedaan latar belakang keluarga; ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya serta keutuhan keluarga yang sangat bervariasi berperan penting dalam meningkatkan atau menurunkan ketegangan pergumulan tersebut. Keragaman yang bisa melahirkan respons yang beragam terhadap problem yang muncul saat proses pendidikan pesantren berlangsung.
Sependapat dengan yang diasumsikan Webster di atas, pada kenyataannya, keluarga yang paling vokal sudah merasa berdaya untuk menghubungi sekolah — dan mungkin tidak mewakili pendapat mayoritas dari komunitas.
Dalam berbagai kasus di pesantren ditemukan respons dari keluarga yang vokal mendatangi pesantren untuk menyampaikan responsnya terhadap kebijakan, disiplin dan tata tertib pesantren. Ada juga yang hanya sekedar “curhat” dan memohon bantuan agar putra atau putrinya bisa tetap bertahan di pondok, karena putranya meronta ingin keluar dari pondok, ada juga yang datang mengritisi berbagai kebijakan pondok ketika putranya terkena sangsi, belum lagi mereka yang datang mengadukan masalah ekonomi keluarga dan memohon kebijakan berupa keringanan biaya dan persoalan-persoalan lain termasuk persoalan internal keluarga mereka sendiri.
Otoritas wali santri terkadang berbentuk ancaman seperti akan menarik anaknya keluar pesantren jika tidak diberi keringanan dalam hal pembiayaan (alasan klasik ekonomi) hal ini biasanya dilakukan oleh wali santri yang –dengan pemahamannya—memandang pesantren sebagai lembaga yang mencari santri, dengan harapan bahwa kehadiran anaknya di pesantren adalah penting bagi pesantren. Hampir mirip dengan pola interaksi antara suami istri yang selalu di bumbui dengan kata-kata “jika tidak…kita cerai!
Bentuk lain lagi-lagi berupa ancaman dengan membawa “jabatan atau profesinya” seperti membawa pengacara ketika mengklarifikasi suatu kasus yang terjadi dengan putra atau putrinya, untuk menunjukkan otoritas dan kekuasaannya. Ada juga yang meminta keterlibatan langsung dalam “menghakimi” atau menindak pelaku ketika terjadi “gesekan” antara putranya dengan temannya dalam berinteraksi. Dan banyak lagi gaya-gaya otoritas yang ditampilkan wali santri dalam menunjukkan kekuasaannya, yang kadang terkesan mengintimidasi pesantren, memarahi guru anaknya, alih-alih berterima kasih dan menghormatinya.
Pernah terjadi seorang wali santri datang menghadap pimpinan pesantren, dengan alasan anaknya minta keluar, karena sering menerima sangsi dari pengurus, setelah mengkritik habis berbagai kebijakan dan aturan pesantren, lalu dia akan menarik anaknya keluar –mengabulkan permintaan anaknya tanpa memberi kesempatan pihak pesantren menjelaskan apa-apa. Pihak pesantren meluluskan permintaannya dengan syarat harus melunasi tunggakan uang makan selama lebih dari satu semester. Lalu apa responsnya? Dia menyatakan bahwa setiap bulan dia sudah penuhi semua kewajibannya di setiap awal bulan. Disampaikan bahwa menurut catatan bagian administrasi dia menunggak satu semester lebih. Mendengar hal tersebut dia marah dan di luar dugaan dia memukuli putranya itu dengan sepatunya, di hadapan pimpinan Pondok, yang kemudian melerainya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pesantren yang dituduhnya melakukan “kekerasan fisik” ternyata tidak lebih keras dibanding tindakannya terhadap anaknya sendiri. Dan –ini yang lebih penting– ternyata dia tidak menyelesaikan hutang bekas makan anaknya selama di pondok dan begitu saja menarik anaknya keluar.
Ada lagi kasus lain yang mencerminkan otoritas tanpa tanggung jawab, seorang wali santri yang menunggak uang makan kedua anaknya selama empat tahun, setiap tahun menjelang ujian hanya datang untuk meminta kebijakan dari pondok, dan pondok pun menyetujuinya, namun apa yang didapat pesantren? Bagian administrasi selalu saja jadi sasaran kemarahannya, tidak bijak dan seterusnya, model begini biasanya membuat surat pernyataan kesanggupan akan melunasi, tapi hasilnya nihil belaka. Bukan hanya itu selain memarahi petugas administrasi juga meminta untuk bertemu pimpinan pondok, karena sudah mengetahui kasus dan tabiatnya yang selalu mempersalahkan pondok dan menganggap tidak bijak, akhirnya pimpinan pondok memberi kesempatan untuk bertemu. Kemudian langsung disampaikan kepadanya bahwa pondok kurang bijak apanya? Selama empat tahun putra bapa diberi pendidikan dan pengajaran sama dengan santri-santri lainnya, tidak pandang bulu, sekarang giliran bapak yang harus bijak! Pondok sudah sedemikian baiknya, mana ada lembaga pendidikan yang memberi makan siswanya, juga menuaikan kewajiban mendidik sebagaimana mestinya? Akhirnya dia pergi dan seperti biasa anaknya ditarik keluar dan tunggakannya tetap tak dibayar.
Kenyataan pahit seperti inilah sebenarnya yang sering diderita atau bisa juga dinikmati pesantren –boleh jadi orang luar pesantren tidak mengetahuinya—namun pesantren tetap menjalankan misi dan tugasnya mendidik santri yang ada tanpa pandang bulu, para ustadz tidak dipengaruhi oleh kondisi administratif setiap santri, bahkan mereka tidak tahu-menahu tentang keuangan atau pembiayaan santri apakah sudah bayar atau belum, mereka tetap mendapatkan haknya untuk belajar, dididik dan juga tetap bisa makan di dapur.
Lain halnya dengan bentuk otoritas yang lebih positif, bisa diceritakan di sini. Ada wali santri yang sangat memahami kehidupan pesantren dan semua anaknya dipesantrenkan di tempat yang berbeda, ketika dia merasakan murahnya biaya makan bulanan di suatu pesantren, dia setiap bulan memberikan tambahan dengan sukarela, tidak mengkritik murahnya biaya, tapi memberi solusi –mungkin untuk kepuasan dan ketenangan dirinya—dengan menambah dalam bentuk sumbangan ke pesantren setiap bulan melalui bagian administrasi. Beberapa kasus ini suka juga ditemui.
Pernah juga terjadi seorang wali santri menyaksikan pagelaran seni yang ditampilkan oleh santri, dia melihat bahwa perangkat sound system yang digunakan tidak layak menurutnya, akhirnya dia menyampaikan sarannya, kalau perlu dana sampaikan saja pada wali santri, supaya pagelarannya sempurna, kita siap kok katanya. Hal semisal juga terjadi ada seorang wali santri yang setiap saat mengunjungi putranya dia selalu membawa semen, untuk mendukung pembangunan gedung yang sedang dilaksanakan pesantren. Dalam kareangka asumsi Honig dan Webster ini bisa dikelompokkan pada asumsi ke empat.
Artinya beberapa ragam kenyataan yang ditemui di pesantren terkait dengan interaksi wali santri (keluarga kesatu) dengan pesantren (keluarga kedua) secara umum yang memilih diam dan mematuhi ketentuan pesantren lebih banyak ketimbang mereka yang “vokal” melawan kebijakan pesantren. Selain itu juga ada yang bukan saja terlibat tapi berempati kepada pesantren sebagaimana kasus semen dan tambahan uang bulanan di atas.
Dari sudut interaksi dan komunikasi gambaran dari kisah otoritas wali santri yang terbentuk dalam sikap negatif boleh jadi karena hubungannya dengan pesantren bersifat –sebagaimana yang terjadi di sekolah pada umunya—transaksional; “Saya mengajar, kamu bayar/belajar, lalu selesai.” Dengan ungkapan lain “saya yang membayar kiai dan guru maka….”
Untuk menjawab masalah ini pesantren bisa saja menyelesaikannya dengan mengembangkan pendekatan kekeluargaan Keterlibatan Orang TuaParental Involvement, dengan mengomunikasikan saja program apa yang ada di pesantren dan apa yang harus dilakukan wali santri mendukung program tersebut. Padahal pada otoritas positif kita telah melihat adanya kehendak untuk terlibat dalam proses pendidikan yang ada dengan basis empati, tentu saja ini sudah menyuarakan Family Engagement, Kemitraan dan Kolaborasi antara orang tua dengan pesantren.
Parental Involvement di Pesantren:
Tradisi dalam mengantarkan anak ke pesantren, calon wali santri biasanya menghadap Kiai untuk berijab-qobul dengan Kiai; menyampaikan niatnya untuk menitipkan putra atau putri di pesantren. Ungkapan standar yang biasa disampaikan; “kami titip putra kami untuk dididik, diajari, jangan sungkan untuk menegur dan mengingatkannya jika diperlukan, kami ikhlas, dan percaya terserah pak Kiai. Tolong libatkan juga agar bisa belajar berkhidmah, di rumah pak Kiai, jangan sungkan.” Biasanya sambil membawa putranya, dikenalkan lalu mohon doa dari Kai untuk putranya –kadang membawa bingkisan alakadarnya.
Ini adalah tradisi yang mencerminkan etika yang dianut oleh wali santri ketika mereka menyerahkan putranya ke pesantren, dan pak Kiai tidak bisa menolaknya, karena niat tulus wali santri tersebut harus dihargai, kepercayaan mereka juga harus dihargai. Menyikapi hal tersebut biasanya Kiai menjawab dengan penerimaan, “terima kasih atas kepercayaannya, kami akan berusaha mendidiknya sebatas kemampuan kami, jangan lupa didoakan putranya, juga doakan kami agar bisa menjalankan amanat ini dengan baik.”
Kita tidak bisa begitu saja menilai bahwa kunjungan dan serah terima tersebut dengan sudut pandang kita sendiri, misalkan menganggap bahwa wali santri menyerahkan dan mengenalkan putranya sebagai tindakan “minta perhatian khusus” atau bingkisan dinilai sebagai “sogokan” kemudian mohon doa dinilai feodal atau kultus individu. Tapi coba bayankan jika wali santri berlaku sebaliknya, tidak tahu siapa Kiai anaknya, tidak peduli dengan tata krama, tidak menghormati dan menghargai guru anaknya, bahkan berpikir transaksional, kami sudah membayar persyaratan administrasi, tidak menganggap Kiai sebagai partner dalam mendidik anaknya –yang merupakan kewajiban dirinya, bahkan menganggapnya pekerja yang dibayar untuk mengasuh anaknya?
Sejalan dengan perkembangan dan banyaknya jumlah “penitip” santri sehingga kesulitan bagi Kiai untuk menerimanya satu per satu, maka pesantren memfasilitasi proses serah terima antara wali santri dan Kiai ini untuk bisa dilakukan secara masal. Yaitu dengan menyelenggarakan acara silaturahmi wali santri baru. Artinya tradisi serah terima tetap dijaga dan dilaksanakan dengan cara yang lebih efisien. Melalui acara tersebut terjalinlah interaksi dan komunikasi antara kelompok penitip dengan kelompok penerima titipan. Kiai menjelaskan program pendidikan di pondok, tata tertib dan aturan pondok, serta menyatakan menerima penyerahan santri oleh wali santri yang dibuktikan dengan pakta integritas wali santri, kemudian diakhiri dengan doa.
Walaupun demikian dalam beberapa kasus ada wali santri yang tidak puas jika tidak berhadapan langsung dengan Kiai, sehingga tetap saja berusaha menghadap Kiai secara pribadi, dengan mengulangi ijab-qabul yang sama –boleh jadi karena sistem nilai yang dianutnya menuntut hal tersebut.
Proses ini kalau dilihat dari sisi familial approach bisa masuk kategori Parental Involvement. Saat pihak pesantren memberikan informasi program pendidikan pondok, dan meminta bantuan dari wali santri untuk mendukungnya, komunikasi yang terjadi adalah komunikasi satu arah (one way communication). Hal seperti ini lumrah dilakukan lembaga-lembaga pendidikan mana pun.
Family Engagement di Pesantren: Membangun Kemitraan Strategis
Di pesantren, Family Engagement bukan sekadar teknis komunikasi, melainkan upaya menyatukan dua ekosistem keluarga (biologis dan pesantren) untuk mencapai tujuan yang sama. Istilah ekosistem pesantren merujuk pada sebuah lingkungan hidup yang unik di mana pendidikan, ibadah, ekonomi, dan pengabdian masyarakat menyatu dalam satu kesatuan. Pesantren bukan sekadar “sekolah berasrama”, melainkan sebuah komunitas mandiri yang memiliki tata nilai dan struktur sosialnya sendiri. Adapun Ekosistem keluarga adalah sebuah “organisme hidup” yang berfungsi sebagai lingkungan pertama dan utama bagi pertumbuhan manusia, di mana terjadi pertukaran energi berupa kasih sayang, transfer nilai-nilai luhur, dan pemenuhan kebutuhan dasar yang saling memengaruhi satu sama lain.
Kasus ketidakpuasan beberapa wali santri dengan interaksi dan komunikasi transaksional yang bersifat Template atau kerangka kerja yang baku seperti acara Silaturahmi Wali Santri, bisa dijadikan modal dasar untuk melakukan perubahan model dari transaksional menjadi relasional; keterlibatan keluarga sebagai partner dalam pendidikan pesantren untuk mencapai tujuan bersama, kesuksesan santri dalam belajar dan mengembangkan kepribadiannya. Dikatakan modal karena terlihat dari “ketidakpuasan” tersebut ada hasrat wali santri untuk membangun komunikasi yang lebih mendalam dengan pihak pesantren. Komunikasi yang lebih humanis berisikan nuansa etis dan spiritual.
Di suatu pesantren terbaca himbauan berbunyi begini: “Semakin sering wali santri mengunjungi putranya di pesantren semakin besar kemungkinan kegagalan putranya dalam mencapai tujuan pendidikannya.” Pernyataan dalam gambar tersebut, merupakan sebuah prinsip klasik dalam dunia pesantren. Bisa saja himbauan tersebut dipahami larangan untuk berkunjung dan memutuskan hubungan komunikasi Orang tua -anak. Namun jika dilihat dari sudut kemitraan keluarga dengan pesantren, sebenarnya pesantren sedang membangun suatu kemitraan yang positif antara Orang tua dengan pesantren. Maka kalimat yang dipakai juga dipilih kalimat berita, bukan perintah atau larangan. Di sini pesantren mengedukasi wali santri yang tentu saja berdasarkan pengalaman dan data yang ditemui dari kasus-kasus sebelumnya.
Mari kita bedah secara mendalam mengapa frekuensi kunjungan yang berlebihan dianggap bisa merusak ekosistem belajar santri:
Pertama, Pesantren dirancang untuk melatih kemandirian. Setiap kali orang tua datang membawa kenyamanan rumah (makanan enak, uang lebih, atau sekadar memanjakan emosi), proses adaptasi santri terhadap realitas pesantren terhenti. Ini akan menjadi Interupsi Proses Adaptasi dan Resiliensi. Ini bisa mengakibatkan mentalitas instan karena Santri yang terlalu sering dikunjungi cenderung sulit membangun daya juang (grit) karena merasa selalu ada “pintu darurat” (orang tua) yang akan menyelamatkannya dari kesulitan kecil di asrama.
Kedua, sering kali saat kunjungan (sambangan), interaksi yang terjadi justru tidak berkualitas. Orang tua datang membawa gadget atau fasilitas berlebih, sehingga di ruang kunjungan pun mereka mengalami fenomena yang kita bahas tadi: duduk bersama tapi asyik dengan dunia masing-masing. Ini mengaburkan fokus santri dari tujuan utamanya menuntut ilmu. Bahkan hanya akan menjadi efek “Separated Together” yang berpindah lokasi.
Ketiga, Gangguan Fokus pada Ekosistem Komunal, mengingat Pesantren adalah ekosistem yang mengandalkan kebersamaan antar santri. Maka santri yang terlalu sering dikunjungi bisa menciptakan jarak dengan teman sekamarnya yang jarang dikunjungi. Alias melahirkan kecemburuan sosial. Ini juga akan menciptakan keterikatan emosional yang tak kunjung putus. Padahal secara psikologis, santri butuh waktu untuk “menyapih” diri dari ketergantungan pada orang tua agar bisa menyatu sepenuhnya dengan kurikulum pesantren. Kunjungan yang terlalu sering membuat anak terus menoleh ke belakang (rumah), bukan melihat ke depan (pelajaran).
Keempat, Konsep “Tirakat” Orang Tua, dalam tradisi pesantren, keberhasilan santri adalah hasil dari sinergi antara belajarnya santri dan tirakatnya orang tua. Menahan rindu dan membatasi kunjungan dianggap sebagai bentuk pengorbanan (tirakat) orang tua. Kepercayaan penuh (trust) kepada Kiai dan sistem pesantren adalah syarat mutlak. Sering berkunjung sering kali dianggap sebagai bentuk “ketidakpercayaan” terselubung terhadap kemampuan pesantren mendidik anak tersebut.
Artinya pernyataan tersebut tidak bermaksud melarang kasih sayang, melainkan mengingatkan agar kasih sayang tidak berubah menjadi penghambat tumbuh kembang. Dalam konteks Ekosistem Keluarga, kunjungan yang terlalu sering adalah bentuk over-facilitating emosional. Anak tidak dibiarkan “lapar” akan tantangan, sehingga otot mentalnya tidak pernah terbentuk.
Ilustrasi di atas menawarkan peralihan pendekatan kekeluargaan dari Transaksional ke Relasional: karena menurut teori familial approach yang akhir-akhir ini dikembangkan dalam pendidikan, Pesantren harus mengedukasi wali santri agar tidak memandang hubungan secara transaksional (“saya membayar, Anda mendidik”). Rekonstruksi hubungan ini dilakukan dengan membangun kesadaran bahwa keberhasilan santri adalah hasil kolaborasi aktif, bukan sekadar “penitipan”.
Setelah bangunan hubungan relasional tercipta, maka pesantren menata dirinya menjadi Listening Schools: Sesuai teori Mapp & Kuttner, pesantren perlu menyediakan ruang bagi keluarga untuk menyampaikan “harapan dan kekhawatiran” secara terbuka. Ini bisa dilakukan melalui forum musyawarah wali santri yang tidak hanya berisi pengarahan dari Kiai, tetapi juga sesi diskusi kelompok untuk memetakan potensi masalah anak secara bersama-sama.
Bentuk pengembangan selanjutnya relasional bisa melangkah pada pemanfaatan empati dan keahlian wali santri: Wali santri tidak boleh hanya dipandang sebagai “user” atau klien. Pesantren perlu mengidentifikasi keahlian unik setiap wali santri untuk dilibatkan dalam ekosistem pendidikan (misalnya: wali santri yang ahli teknik membantu pembangunan, atau yang ahli kesehatan memberikan penyuluhan). Hal ini bisa terjadi jika trust wali santri terhadap pesantren sudah dinilai tinggi.
Untuk meningkatkan hubungan relasional bisa juga menjadikan Digital Engagement sebagai jembatan: Di era digital pemanfaatan platform digital (seperti aplikasi laporan perkembangan santri atau grup diskusi) harus diarahkan sebagai alat Doing With (bekerja bersama) bukan sekadar Doing To (memberitahu tagihan/aturan). Tujuannya agar wali santri merasa memiliki (sense of belonging) terhadap proses keseharian anak di asrama.
Menggunakan pendekatan Manajemen Konflik Berbasis Kekeluargaan juga tak kalah pentingnya, bahkan bisa menjadi inti dari keberhasilan Family Engagement: Ketika terjadi gesekan atau masalah disiplin, penyelesaiannya tidak menggunakan pendekatan otoritas intimidatif. Sebaliknya, sekolah dan keluarga duduk bersama sebagai mitra untuk mencari solusi yang paling maslahat bagi jiwa anak, sejalan dengan Family System Theory.
Poin berikutnya adalah Inklusivitas Pengasuh: Kebijakan keterlibatan harus mencakup wali atau pengasuh lain (ustadz, pengurus, dan lainnya) jika santri tidak memiliki hubungan aktif dengan orang tua kandung, untuk memastikan tidak ada “ikatan tunggal yang berdiri sendiri” dalam pengawasan santri. Singkatnya, inklusivitas dalam tulisan Anda adalah upaya untuk memastikan bahwa seluruh elemen pendukung siswa (siapa pun pengasuhnya) dilibatkan secara aktif sebagai mitra sejati dalam proses Pendidikan.
Dengan menerapkan poin-poin di atas, pesantren tidak lagi menjadi “pulau terpencil” yang terpisah dari orang tua, melainkan menjadi Rumah Kedua yang benar-benar terintegrasi secara emosional dan sistemik dengan Rumah Pertama santri.
Model Kekeluargaan yang telah dibahas adalah model pendekatan kekeluargaan yang biasa diterapkan di sekolah pada umunya, namun juga ditemukan dalam pendekatan kekeluargaan di pesantren. Hanya saja fokusnya terletak pada mengatur atau menyiasati hubungan antara keluarga inti dengan pesantren sebagai keluarga kedua; Bagaimana keluarga inti bersikap dan bermitra dengan keluarga pesantren. Konsep pendekatan ini berujung dengan program edukasi keluarga inti supaya bisa menjadi partner pesantren yang menuntut adanya program khusus bahkan dengan kurikulum tersendiri untuk menciptakan family engagment dengan panduan beberapa enam poin tadi: Peralihan dari Transaksional ke Relasional, Listening Schools, Pemanfaatan Empati dan Keahlian Wali Santri, Digital Engagement sebagai Jembatan, Manajemen Konflik Berbasis Kekeluargaan, terakhir Inklusivitas Pengasuh.
Familial Approach Sebagai Metodologi Pendidikan:
Mengingat bahwa pesantren merupakan bangunan keluarga, dan rumah keluarga bagi santrinya, maka yang harus dibidik adalah “Ruh Kekeluargaan” sebagai metodologi, bukan sekadar status administratif. Dalam pesantren, “keluarga” bukan hanya soal tinggal satu atap, tapi soal transfer nilai (transmisi) yang terjadi secara alami melalui keteladanan dan kedekatan emosional. Membawa perspektif kekeluargaan ke dalam sistem pendidikan pesantren, sedikitnya ada tiga pilar yang harus dibangun:
Hubungan Relasional:
Hubungan relasional adalah hubungan timbal balik antara dua individu atau lebih yang saling memengaruhi melalui interaksi yang berkelanjutan. Dalam dunia pendidikan, ini bukan sekadar “kenal”, melainkan adanya ikatan emosional, kepercayaan, dan tujuan bersama untuk bertumbuh. Jika di sekolah umum hubungan ini sering bersifat profesional-akademis, di pesantren, hubungan relasional memiliki karakteristik yang jauh lebih mendalam dan sakral. Profesional akademis di satu sisi dan kekeluargaan di sisi lain, bersifat padu dan holistik. Dalam konsep kekeluargaan pesantren, hubungan tersebut bersifat relasional: Guru (Kiai/Ustadz) berperan sebagai orang tua spiritual yang memiliki tanggung jawab moral atas keselamatan dan masa depan anak didik, bukan sekadar nilai akademiknya.
Suatu saat saya mengobrol dengan guru saya H.D Hidayat, pada masanya tahun 1986 beliau adalah ketua jurusan bahasa Arab di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta, tempat saya menempuh S1. Beliau mengisahkan bagai mana ia belajar di pesantren. Sebenarnya ketika saya mesantren di Gunung Puyuh Sukabumi, saya tidak berarti belajar seperti yang dibayangkan sekarang. Cuma saya rajin menemani Kiai, beliau ke pasar saya ikut, membawakan belanjaannya, beliau bepergian, saya ikut bantu membawakan kopernya, begitulah saya mesantren. Sampai suatu saat saya dipanggil dan diarahkan untuk melanjutkan pendidikan di IAIN Jakarta, beliau menyarankan agar saya menghubungi seorang dosen di sana. Ketika di IAIN pun saya tetap berkhidmah, mengantar dosen tersebut, membawakan kopernya jika bepergian dan lain sebagainya. Begitulah saya mesantren pungkasnya.
Dalam perjalanan mengunjungi beberapa pesantren di wilayah Indonesia penulis menemukan banyak tradisi dan budaya yang variatif antara satu pesantren dengan lainnya. Saya menyaksikan bagaimana santri dan tamu menunggu berjam-jam untuk bisa diterima Kiai, kemudian setelah saatnya pintu rumah Kiai dibuka, mereka masuk dengan tertib, setelah bersalaman lalu duduk dengan rapi, muka menunduk, menunggu kesempatan untuk di sapa, mengenalkan diri, serta menyampaikan maksud kedatangannya. Pada saat itu santri yang bertugas di rumah kiai (biasanya santri senior) menyajikan minuman, secangkir kopi atau teh. Setelah hidangan dan kudapan tersedia, Kiai mempersilahkan untuk minum, sambil beliau sendiri memulainya –istilah anak muda sekarang Ngopi Bareng—selang beberapa saat santri yang bertugas mengantarkan sepiring nasi yang sudah dicampur dengan lauknya, semua yang hadir mendapatkannya, kemudian Kiai tersebut –dengan sepiring hidangan yang sama– mulai menyantap bersama dengan para tamu yang ada di hadapannya. Selama proses ini menyampaikan pesan-pesan dan mengisahkan berbagai cerita terkait dengan perjalanan pendidikan, sejarah dan perkembangan dakwah Islam di Indonesia. Setelah dirasakan cukup beliau pamit untuk mengimami shalat, pertemuan itu pun selesai.
Sebelum pergi beliau bertanya kepada saya, bawa mobil? Saya jawab; bawa pak Kiai. Kamu kan bisa jamak shalatnya, tunggu, saya shalat dulu, nanti kita lanjutkan mengobrolnya. Sampai di luar saya melihat ada santri menunggu di depan pintu, dan ternyata dia menyiapkan sandal Kiai. Kemudian terlihat juga sandal-sandal para tamu yang sudah tersusun rapi menghadap ke arah luar pintu. Pemandangan ini sangat mengesankan bagi saya seraya bergumam, pengalaman ini mengajari saya! I am Learning.
Kisah ini menggambarkan bagaimana hubungan Santri dengan Kiainya, bagaimana tradisi dan budaya terlembagakan, bagaimana penghormatan mewujudkan bentuknya, saya juga belajar bagaimana menerima tamu, bagaimana konsep Kiai mengajarkan menjadi tuan rumah, menerima tamu dan seterusnya. Inilah hubungan relasional antara Kiai dengan tamu, dengan alumni dan dengan santri. Inilah potret saling menghargai dan menghormati terjalin secara nyata. Saya berpikir, betapa masih jauhnya saya untuk bisa menerapkan nilai-nilai kebaikan terutama dalam konteks interaksi relasional.
Dari sini terlihat bukan saja tamu, alumni dan santri menghargai dan menghormati Kiai, tapi terlihat juga bagai mana Kiai menghormati dan menghargai kami semua yang hadir. Tradisi ini tidak bisa dipahami dan ditafsirkan dengan menggunakan teori kekuasaan atau teori sosiologi, karena tafsir tersebut hanya akan mengikis “makna” dari suatu proses, memahaminya harus dengan “kacamata nilai” dan ajaran serta keterlibatan emosional (rasa dan pengalaman). Artinya memahami setiap tindakan (seperti santri merapikan sandal Kiai) bukan sebagai beban kerja, melainkan sebagai perwujudan nilai ta’dzim (hormat) dan ibadah. Serta berusaha “menyelami” aspek psikologis dan keberagamaan individual untuk merasakan bagaimana kasih sayang dan pengabdian mengalir dalam hubungan tersebut.
Hubungan Relasional di pesantren terdiri dari relasi Kiai-Santri, relasi Ustadz-Kiai, relasi Santri-Ustad-Kiai dan relasi Santri-Santri. Semua hubungan ini unik karena melampaui batas ruang kelas dan jam pelajaran.
Relasi Kiai-Santri berbentuk pola hubungan “Bapak dan Anak.” Kiai tidak hanya dipandang sebagai pengajar materi (mu’allim), tetapi juga sebagai orang tua spiritual dan pembimbing akhlak (murabbi). Peran Kiai: Mengayomi, mendoakan, dan memberi teladan hidup 24 jam.
Sikap Santri: Menganggap kiai sebagai pengganti orang tua kandung selama di perantauan (mondok). Dalam konteks ini konsep Ta’dzim dan Barokah mewarnai relasi tersebut, inilah pembeda utama relasi di pesantren dengan lembaga lain. Melalui sikap Ta’dzim (Hormat) Santri menunjukkan rasa hormat yang sangat tinggi (seperti menunduk saat lewat atau mencium tangan) bukan karena takut, melainkan sebagai bentuk pemuliaan terhadap ilmu yang dimiliki kiai. Bahkan sampai pada keyakinan bahwa kepatuhan dan pengabdian kepada guru akan mendatangkan “keberkahan” sebuah nilai spiritual yang membuat ilmu tersebut bermanfaat dan hidupnya tenang di masa depan. Mengingat bahwa berkah sendiri secara bahasa berarti bertambahnya kebaikan.
Relasi Kiai-Santri ini merupakan hubungan patronase yang luwes: Hubungan bersifat personal dan sering kali tidak terbatas waktu. Bahkan bisa berlangsung seumur hidup: Meskipun santri sudah lulus (menjadi alumni), hubungan relasional dengan kiai biasanya tetap terjaga. Santri akan tetap merasa memiliki ikatan batin dan sering kembali untuk meminta nasihat hidup.
Relasi tersebut juga diperkuat dengan konsep Khidmah (Pengabdian): Santri sering membantu pekerjaan kiai di luar urusan mengaji (seperti membantu di sawah atau mengurus rumah tangga pondok) sebagai bagian dari proses pendidikan karakter dan kerendahan hati.
Seiring dengan perjalanan dan perkembangan zaman pola Relasi-Kiai bertransformasi ke arah egaliter. Di pesantren modern atau yang mulai terbuka, hubungan ini mulai bergeser menjadi lebih dialogis. Santri mulai didorong untuk lebih berani berdiskusi dan kritis, namun tetap tanpa menghilangkan esensi rasa hormat kepada kiai.
Relasi Ustadz-Kiai-Santri: Relasi ini pada praktiknya hampir sama dengan relasi Kia-Santri karena ustadz yang ada dipesantren biasanya diangkat dari santri yang sudah dinyatakan lulus masa studinya di pesantren tersebut atau pesantren lain. Jadi pada hakikatnya santri juga. Hanya saja derajat ta’dzim dan khidmah serta konsep berkahnya pada relasi Ustadz dan Santri berada sedikit di bawah relasi Kiai-Santri. Namun pola hubungan Bapak-Anak antara Ustadz-Santri tetap berlaku sesuai dengan perannya.
Relasi Santri-Santri: Pada dasarnya relasi ini berupa relasi saudara kandung, relasi antara kak adik, santri yang nyantri lebih awal (senior) berperan sebagai kakak bagi adiknya yang baru nyantri. Dalam konteks ini ukurannya bukan usia santri tapi pada lama atau barunya nyantri. Inilah keunikannya, sering kali santri yang sudah tamat s1 (sarjana) tetap taat dan patuh pada pengurus yang dari sisi usia masih belasan. Jadi ada tergambar ketulusan dalam menaati aturan pesantren serta menghargai fungsi dan peran santri satu dengan lainnya.
Pembelajaran melalui Osmosis Budaya:
Dalam keluarga, anak belajar bukan hanya saat orang tua berceramah, tapi saat melihat bagaimana orang tua makan, bicara, dan beribadah. Hal ini terjadi di pesantren (rumah kedua). Izinkan saya mengawali topik ini dengan cerita pribadi saya jadi tidak heran jika isinya ber-saya-saya.
Saya masuk Gontor tahun 1979 usia sekitar 12 tahun 1 bulan, pada masa awal kedatangan di awal bulan Syawal banyak kenangan yang tak terlupakan. Terutama mungkin karena perubahan tradisi dari tradisi hidup di kampung; belum ada listrik, mandi di sungai dan seterusnya. Setibanya di pondok sebagai calon pelajar saya ditempatkan k Rayon Indonesia Dua (sebutan untuk asrama di Gontor) tentu saja degan sedikit pengetahuan tentang tata cara hidup di pondok. Aturan yang dipahami waktu itu hanya terngiang aturan dari pengumuman yang senantiasa dikumandangkan seusai shalat magrib: “Diberitahukan kepada wali santri dan calon pelajar untuk tidak berbelanja di orang kampung” atau di “harap berkumpul seluruh calon santri asal….di ….setelah…” dan seterusnya. Adapun aturan di dalam asrama sama sekali tidak pernah tahu dan paham saat itu.
Cerita kebodohannya begini, sebagaimana calon santri pada umumnya saya dibelikan piring sendok garpu dan mug, ya ikut-ikutan yang lain saya juga ambil air di mug untuk dibawa ke kamar, karena calon santri belum punya lemari, tentu saja mug berisi air itu saya simpan di dalam koper – di sinilah letak bodohnya, karena saya tidak tahu kalau setiap sore ada pengurus kamar yang menyapu dan merapikan kamar —maka ketika pulang dari mesjid, didapati koper saya sudah berdiri, dan semua pakaian basah kena tumpahan air dari mug. Ini tak terlupakan hingga tulisan ini di tulis (dari tahun 1979-2025).
Belum lagi cerita tentang mandi di kamar mandi yang terletak di Komplek dapur (Kopda), pengalaman pertama menyuci di pondok, jadi ceritanya saya cuci pakaian di kamar mandi samping Kopda. Ini posisinya sudah lulus jadi santri. Tempat saya di Gedung Baru Shigor. Saya mandi dari GBS ke Kopda, lumayan jauh sama dengan keliling setengah kampus. Karena suasana longgar akhirnya saya cuci tikar –belum dibelikan kasur saat itu, juga seluruh pakaian yang saya pakai, otomatis yang ada tinggal handuk yang kering. Akhirnya saya pulang ke GBS hanya dengan lilitan handuk di badan serta sejumlah pakaian dan tikar di tangan –lucu kan? Di tengah jalan tepatnya di depan BBPM ada yang menegur, rupanya mungkin mudabir atau kelas VI, seraya bertanya, kok tidak pakai baju? Ini bajunya dicuci sambil melihatkan baju di tangan, lain kali jangan begitu ya! sarannya, harus pakai baju. Saya jawab iya.
Mari coba membawa “kisah” ini kita pada proses pembelajaran dan aktivitas belajar. Insiden pakaian basah dalam koper bisa disebut metafora Inquiry Learning. Bahwa pengetahuan sejati sering kali tidak datang dari pengumuman speaker setelah Magrib (teori), melainkan dari “koper yang diberdirikan oleh pengurus” (pengalaman/masalah). Kita belajar paling cepat bukan saat diberi tahu jawabannya, tapi saat kita menghadapi konsekuensi dari ketidaktahuan kita.
Sebelum kita lanjut menafsirkan kisah tersebut, kita awali dulu petualangan kita dengan mengenali beberapa teori belajar yang populer untuk dijadikan landasan bagaimana kita melihat pembelajaran melalui osmosis budaya di pesantren.
- Teori Behaviorisme (Perubahan Perilaku): Teori ini fokus pada perubahan perilaku yang dapat diamati sebagai hasil dari stimulus dan respons (S-R). Belajar dianggap sebagai proses pembiasaan melalui penguatan (reinforcement). Konsep utamanya Operant Conditioning (memberi hadiah untuk perilaku baik dan hukuman untuk perilaku buruk). Tokohnya B.F. Skinner. (Skinner, 1953). Skinner berpendapat bahwa manusia dan hewan cenderung beroperasi di lingkungan mereka untuk mendapatkan konsekuensi tertentu. Stimulus (S): Keadaan atau peristiwa di lingkungan (misal: guru memberikan pertanyaan). Response (R): Tindakan yang diambil subjek (misal: santri menjawab pertanyaan). Consequence (C): Apa yang terjadi setelah respon (misal: pujian atau nilai bagus). Inilah bagian paling krusial bagi Skinner. Dia percaya bahwa perilaku bukan sekadar respon terhadap stimulus, tapi dibentuk oleh konsekuensinya. Jika konsekuensinya positif, perilaku akan diulangi. Apa yang dia sebaut sebagai Mekanisme Penguatan (Reinforcement). Positive Reinforcement: Memberikan sesuatu yang menyenangkan untuk memperkuat perilaku. Contoh: Anda rajin bersih-bersih asrama karena diberi pujian (pujian adalah penguatnya). Negative Reinforcement: Menghilangkan sesuatu yang tidak menyenangkan untuk memperkuat perilaku. Contoh: Anda rajin mengaji agar tidak dihukum (hukuman dihilangkan jika Anda rajin). Hukuman bertujuan untuk mengurangi atau menghentikan suatu perilaku, bukan memperkuatnya. Skinner sebenarnya kurang menyukai penggunaan hukuman karena sering kali hanya memberikan efek jera sementara tanpa mengajarkan perilaku yang benar. Jika kita terapkan pada cerita saya di Gontor, Tindakan saya Membawa air di mug dan menyimpannya di dalam koper. Ternyata memiliki konsekuensi pakaian basah kuyup. Konsekuensi ini berfungsi sebagai hukuman alami yang sangat kuat. Otak saya melakukan “pemutusan” terhadap hubungan S-R menyimpan air di koper. Skinner menyebut proses pembentukan perilaku yang kompleks secara bertahap ini sebagai Shaping. Di pesantren, santri tidak langsung jadi berdisiplin dalam sehari, melainkan “dibentuk” setiap hari melalui ribuan siklus S-R-C (Stimulus-Respon-Konsekuensi).
- Teori Kognitivisme (Proses Mental): Berbeda dengan behaviorisme, teori ini lebih fokus pada apa yang terjadi di dalam otak manusia (cara kita berpikir, mengingat, dan memecahkan masalah). Information Processing Model (bagaimana informasi masuk dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang). Tohohnya Jean Piaget (Piaget, 1952). Teori ini melihat bahwa belajar bukan sekadar hubungan mekanis antara Stimulus dan Respon, melainkan proses mental aktif untuk memperoleh, menyimpan, dan memanggil kembali informasi. Otak manusia diibaratkan seperti prosesor komputer yang mengolah data sebelum menghasilkan tindakan. Otak kita memiliki struktur kognitif atau “laci-laci” informasi yang disebut skema (Schema). Proses Pengolahan Informasi (Information Processing) Proses belajar terjadi melalui tiga tahap: Sensory Memory: Menangkap pesan (seperti mendengar pengumuman setelah Magrib). Working Memory: Mengolah informasi tersebut secara sadar (berpikir: “Oh, saya tidak boleh menyimpan air di koper”). Long-Term Memory: Menyimpan pemahaman tersebut menjadi permanen sehingga Anda tetap ingat kejadian itu dari 1979 hingga 2025. Tahapan berikutnya masuk pada Belajar yang Bermakna (Meaningful Learning). Dikaitkan dengan kisah di atas, saat saya pertama kali masuk Gontor, saya menggunakan skema lama (cara hidup di kampung). Ketika menemukan kenyataan baru (koper basah), otak melakukan akomodasi, yaitu mengubah atau membuat “laci” baru untuk menyimpan aturan pondok. Ini artinya bahwa informasi baru akan bertahan lama jika dihubungkan dengan konsep yang sudah ada. Cerita saya tentang “pulang mandi dan menyuci semua pakaian hingga hanya dengan handuk” adalah titik di mana informasi baru (aturan berpakaian) menjadi terkontruksi dalam pikiran saya dan menjadi tahu budaya berpakaian di pondok. Bayangkan Ketika saya ditegur itu, saya malah menjawab dengan ceria tanpa ada rasa bersalah, lalu diingatkan jangan diulangi nanti ya!
- Teori Konstruktivisme (Membangun Makna):Teori ini menyatakan bahwa pembelajar tidak hanya menerima informasi secara pasif, tetapi secara aktif membangun pengetahuan mereka sendiri berdasarkan pengalaman masa lalu. Teori Sosiokultural: Vygotsky berpendapat bahwa perkembangan manusia adalah hasil dari interaksi dinamis antara individu dan masyarakat. Anak-anak belajar melalui pertukaran sosial yang bermakna, meniru orang dewasa, dan berkolaborasi dengan teman sebaya. Zona Perkembangan Proksimal (ZPD): Ini adalah konsep paling terkenal dari Vygotsky, yang merujuk pada rentang tugas yang terlalu sulit untuk dikuasai anak sendirian, tetapi dapat dipelajari dengan bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih kompeten. ZPD menjembatani kesenjangan antara apa yang diketahui anak dan apa yang bisa mereka capai dengan bantuan. Scaffolding (Perancah): Konsep yang terkait erat dengan ZPD, scaffolding adalah teknik dukungan sementara yang diberikan oleh individu yang lebih berpengetahuan selama sesi pengajaran. Bantuan ini secara bertahap dikurangi seiring meningkatnya kemampuan anak untuk menyelesaikan tugas secara mandiri. Peran Bahasa: Vygotsky memandang bahasa sebagai alat budaya utama untuk berpikir, bernalar, dan belajar, bukan sekadar sarana komunikasi. Ia mengidentifikasi tiga tahap perkembangan bahasa: bicara sosial, bicara pribadi (berbicara kepada diri sendiri), dan bicara batin (pikiran internal). (Vygotsky., 1978) Jika Piaget (Kognitivisme) fokus pada apa yang terjadi di kepala Anda sendiri, Vygotsky fokus pada bagaimana interaksi saya dengan orang lain (mudabbir, pengumuman, tradisi pondok) membangun pengetahuan saya. Melalui kacamata Lev Vygotsky (Konstruktivisme Sosial) cerita yang saya sebutkan di atas menjadi semakin seru, karena Vygotsky percaya bahwa belajar bukan proses sendirian, melainkan proses sosial dan kultural. Zone of Proximal Development (ZPD) ZPD adalah jarak antara apa yang bisa kita lakukan sendiri dan apa yang bisa kita lakukan dengan bantuan orang lain. Analisis Ceritanya begini: Saat saya berumur 12 tahun dan baru datang, saya berada di luar “zona nyaman” saya sendiri. Saya belum tahu cara hidup di pondok secara mandiri. Kejadian “koper berdiri” dan “hanya berhanduk” menunjukkan saya sedang berada di ambang batas pemahaman. Artinya saat itu saya tidak belajar dari buku manual, tapi belajar karena “terlempar” ke situasi sosial yang memaksa saya melampaui kemampuan awal saya. Dari sudut Scaffolding: Bantuan sementara yang diberikan orang yang lebih ahli (MKO More Knowledgeable Other) agar pembelajar bisa mencapai level yang lebih tinggi. Sosok Mudabbir atau kakak kelas VI yang menegur Anda adalah penyedia scaffolding. Coba perhatikan kalimatnya: “Lain kali jangan begitu ya! sarannya, harus pakai baju.” Ini adalah bantuan instruksional. Dia tidak hanya menghukum, tapi memberi “tangga” pemahaman agar saya tahu standar perilaku di lingkungan tersebut. Begitu saya paham, dia tidak perlu menegur lagi saya (perancah dilepas). Kemudian Language as a Tool of Thought (Bahasa sebagai Alat Pikir) Vygotsky berpendapat bahwa bahasa adalah alat paling kuat untuk belajar. Ketika saya menyebutkan pengumuman yang “senantiasa dikumandangkan seusai shalat magrib.” Suara speaker itu adalah bahasa sosial yang kemudian masuk ke dalam pikiran saya menjadi bahasa batin (inner speech). Suara “Diberitahukan kepada…” bukan sekadar suara, tapi alat yang membentuk cara saya memandang dunia pesantren. Pengetahuan saya dikonstruksi melalui “suara-suara” di lingkungan tersebut. Social Origins of Intelligence (Asal-usul Sosial Kecerdasan). Bagi Vygotsky, segala sesuatu muncul dua kali: pertama di tingkat sosial (antar orang), baru kemudian di tingkat individu (di dalam diri). “Anak belajar bukan hanya saat orang tua berceramah, tapi saat melihat bagaimana orang tua makan, bicara, dan beribadah.” Ini adalah intisari Vygotsky! Belajar terjadi melalui internalisasi budaya. Kecerdasan santri bukan “bawaan lahir”, melainkan hasil menyerap budaya visual dan sosial yang saya lihat setiap hari di Gontor (cara makan, cara jalan, cara berpakaian). Menurut Vygotsky, koper yang basah dan teguran mudabbir di depan BBPM bukanlah sekadar sial, melainkan dialog sosial. Di sanalah terjadi transisi pengetahuan: dari aturan yang tadinya milik ‘pondok’ (eksternal), menjadi prinsip hidup milik ‘saya’ (internal). Saya menjadi santri karena saya ‘berdialog’ dengan lingkungan saya.”
- Teori Humanisme (Aktualisasi Diri): Teori ini memandang belajar sebagai cara untuk memenuhi potensi manusia secara utuh. Fokusnya bukan hanya pada nilai akademik, tapi pada perasaan dan motivasi siswa. Konsep Utamanya: Hirarki Kebutuhan (seseorang sulit belajar jika kebutuhan dasarnya, seperti rasa aman, belum terpenuhi). Dikumandangkan oleh Abraham Maslow & Carl Rogers yang digambarkan berbentuk piramida kebutuhan manusia terdiri dari lima tungkatan (Maslow, 1968). Maslow berpendapat bahwa manusia terdorong untuk memenuhi kebutuhan dari yang paling dasar (fisik) hingga yang paling tinggi (aktualisasi diri). Berikut adalah analisis pada pengalaman saya tahun 1979: Tingkat dasar Kebutuhan Fisiologis (Dasar). Ini adalah level terbawah piramida (makan, minum, tidur, kebersihan). Transisi dari kampung (mandi di sungai, belum ada listrik) ke pondok adalah upaya otak saya untuk menata ulang pemenuhan kebutuhan dasar ini. Insiden Koper Basah: Saat saya menyimpan air di mug dalam koper, Anda sedang berusaha memenuhi kebutuhan dasar (akses air minum yang dekat). Namun, sistem pondok memiliki aturan kebersihan yang berbeda. Ketika pakaian basah, kebutuhan fisiologis saya (pakaian kering) terganggu. Ini menciptakan “krisis” di level dasar yang memaksa saya belajar dengan cepat. Kebutuhan Rasa Aman (Safety Needs). Di lingkungan baru seluas Gontor, seorang anak 12 tahun akan mencari rasa aman. Rasa aman di pesantren diperoleh dengan mematuhi aturan. Pengumuman Magrib yang “senantiasa dikumandangkan” adalah penanda batas keamanan. Jika saya mengikuti aturan (tidak belanja di orang kampung, berkumpul tepat waktu), saya aman dari hukuman. Insiden saya ditegur karena hanya berhanduk adalah momen di mana “rasa aman” saya terusik oleh teguran otoritas (mudabbir), yang kemudian memicu saya untuk segera beradaptasi demi keamanan sosial. Kebutuhan Sosial (Belongingness and Love) saya menulis tentang “ikut-ikutan yang lain” membeli piring, sendok, dan mug. Tindakan “ikut-ikutan” ini bukan sekadar perilaku tanpa alasan. Secara Maslow, ini adalah upaya untuk merasa memiliki (sense of belonging). saya ingin menjadi bagian dari kelompok “santri”, bukan lagi “anak kampung.” Saya meniru perilaku kelompok agar diterima dalam komunitas baru tersebut. Tingkat berikutnya Kebutuhan Harga Diri (Esteem): Saat saya menyebut insiden koper sebagai “cerita kebodohan”. Maka perasaan “bodoh” atau malu saat ditegur karena tidak pakai baju adalah tanda bahwa Harga Diri saya sedang dibentuk. Maslow membagi ini menjadi dua: harga diri dari diri sendiri (merasa kompeten) dan penghargaan dari orang lain. Di pesantren, harga diri saya tumbuh ketika saya mulai mampu mengelola lemari, mencuci sendiri, dan berpakaian rapi sesuai norma. Saat itu saya merasa “lulus jadi santri” karena saya sudah menguasai kompetensi dasar tersebut. Level berikutnya Aktualisasi Diri: Menjadi Santri Seutuhnya. Ini adalah puncak piramida, di mana seseorang menjadi versi terbaik dari dirinya. Proses dari tahun 1979 hingga tulisan ini dibuat (2025) menunjukkan perjalanan aktualisasi diri. Pengalaman pahit (pakaian basah) dan lucu (berhanduk di jalan) adalah “pupuk” bagi pertumbuhan karakter saya. Saya tidak lagi hanya sekadar “ikut-ikutan”, tapi sudah menginternalisasi nilai-nilai tersebut menjadi identitas diri yang utuh. Gontor tidak hanya mengajari saya membaca kitab atau buku teks, tapi memaksa saya mendaki Piramida Maslow secara mandiri. Dimulai dari perjuangan mengelola pakaian kering (fisik), mencari rasa aman di balik aturan, hingga akhirnya menemukan harga diri sebagai seorang santri. Kebodohan-kebodohan kecil di masa lalu adalah harga yang harus dibayar untuk mencapai aktualisasi diri hari ini.
- Teori Konektivisme (Belajar di Era Digital):Ini adalah teori belajar untuk zaman modern yang menjelaskan bagaimana teknologi dan internet mempengaruhi cara kita mendapatkan informasi melalui jaringan (networks).Konsepnyabelajar adalah proses menghubungkan simpul-simpul informasi yang ada di berbagai tempat (orang, database, atau aplikasi).DigagasGeorge Siemens di tahun 2005 Analisis cerita versi Teori Konektivisme (George Siemens) –meskipun kejadiannya tahun 1979– prinsip Konektivisme tetap bisa membedah bagaimana saya belajar “menavigasi” sistem Gontor. Konektivisme memandang belajar sebagai proses menghubungkan simpul-simpul (nodes) informasi. Simpul Informasi tersbut di pondok, bukan hanya buku. Simpul itu bisa berupa pengeras suara (pengumuman Magrib), mudabbir, koper yang basah, dan teman sekamar. Membangun Jaringan (Network Building), sebagai santri baru, saya sedang membangun “peta jaringan” di otak saya. Saya menghubungkan satu informasi dengan informasi lain: “Ada inspeksi sore” + “Saya simpan air di koper” = “Risiko pakaian basah”. Konektivisme menekankan bahwa di dunia yang penuh informasi, yang penting bukan seberapa banyak yang kita hafal, tapi seberapa cepat kita bisa menemukan koneksi yang tepat. Cerita saya tentang “ikut-ikutan” membeli mug dan piring adalah cara saya terhubung ke jaringan perilaku kelompok agar bisa bertahan hidup.
- Teori Inkuiri (Crow & Crow): Dalam buku How to Study, Crow & Crow menekankan bahwa belajar yang efektif adalah sebuah penyelidikan yang terarah. Mereka membagi proses belajar ke dalam langkah-langkah praktis yang sangat cocok dengan “cerita kebodohan” saya: Fase Kesadaran akan Masalah (Awareness of a Problem): Inkuiri dimulai saat ada gangguan. Pakaian yang basah dalam koper adalah “masalah nyata”. Menurut Crow & Crow, ini adalah momen belajar terbaik karena otak saya dipaksa mencari solusi secara aktif. Berikutnya fase Pengamatan dan Pengumpulan Data: Saat saya ditegur karena hanya berhanduk di depan BBPM, saya sedang melakukan pengamatan lapangan. saya mendapatkan “data” baru bahwa di area publik pesantren, ada standar berpakaian tertentu. Kemudian Pembentukan Kebiasaan Belajar (Study Habits): Crow & Crow sangat mementingkan efisiensi. Kejadian koper basah membuat saya mengembangkan teknik manajemen barang yang lebih efisien (misalnya: tidak menyimpan cairan di koper). Ini adalah bentuk study habit yang lahir dari inkuiri mandiri. Dan fase terakhir, Evaluasi Diri: Refleksi saya di tahun 2025 terhadap kejadian 1979 adalah puncak dari metode inkuiri. Saya mengevaluasi kegagalan masa lalu dan menarik makna darinya. Dalam perspektif Crow & Crow, insiden koper basah dan lilitan handuk adalah sebuah proses Inkuiri mandiri. Belajar dimulai dari sebuah ‘masalah’ yang nyata. Ketika saya mengalami kebuntuan (pakaian basah/tidak punya baju), otak saya tidak tinggal diam. Saya melakukan observasi, evaluasi diri, dan akhirnya menemukan cara baru untuk bertahan hidup. Inilah bentuk disiplin mental yang lahir dari pengalaman penemuan, bukan sekadar hafalan aturan.
Tabel 6
Perbandingan Teori Belajar Vs Kisah
| Teori | Fokus Utama | Peran Pengajar | Kaitannya dengan Cerita Saya |
| Inkuiri (Crow & Crow) | Pemecahan masalah & disiplin mental. | Pemandu penemuan. | Belajar mengelola barang setelah koper basah. |
| Behaviorisme | Perilaku tampak & penguatan. | Pemberi stimulus. | Kepatuhan pada pengumuman karena takut hukuman. |
| Kognitivisme | Struktur otak & memori. | Fasilitator informasi. | Mengubah “cara pandang kampung” menjadi “cara pandang santri”. |
| Konstruktivisme | Pengalaman & interaksi sosial. | Rekan eksplorasi. | Belajar norma berpakaian melalui teguran mudabbir. |
| Konektivisme | Jaringan informasi. | Pemandu navigasi. | Menyerap aturan dari speaker dan perilaku senior. |
Pengalaman saya di Gontor tahun 1979 membuktikan bahwa belajar adalah simfoni dari berbagai teori. Secara Behavioristik, saya dibentuk oleh konsekuensi koper yang basah. Secara Kognitif, saya menata ulang skema hidup kampung saya. Melalui Konstruktivisme Sosial, saya belajar dari teguran mudabbir. Secara Humanistik, saya mendaki piramida Maslow menuju kemandirian. Dan akhirnya, melalui Inkuiri serta Konektivisme, saya belajar menghubungkan setiap kejadian menjadi satu jaringan hikmah yang utuh.
Dalam sosiologi dan pendidikan, osmosis budaya (sering disebut juga sebagai enculturation atau sosialisasi terselubung) adalah proses penyerapan nilai, norma, dan perilaku secara tidak sadar hanya dengan berada di dalam lingkungan tersebut. Ia terjadi secara perlahan, tanpa instruksi formal, persis seperti air yang meresap melalui membran.
Tekanan Lingkungan yang “Memaksa” Penyerapan, dalam osmosis biologis, zat berpindah dari konsentrasi tinggi ke rendah. Di pesantren, Konsentrasi Tinggi berupa tradisi disiplin, bahasa, dan kesederhanaan yang sudah mapan. Adapun Konsentrasi Rendah: Santri baru (kasus saya di tahun 1979) yang masih membawa “budaya kampung.” Prosesnya, melalui insiden koper basah dan teguran saat hanya berhanduk, Saya “terpaksa” menyerap cairan budaya pondok agar terjadi keseimbangan (agar saya bisa bertahan hidup dan diterima).
Seringkali orang salah menyebut dinamika di pesantren sebagai Hidden Curriculum. Namun bagi saya, apa yang saya alami di tahun 1979 adalah sebuah wujud dari Holistic Curriculum. Di pesantren, tidak ada momen yang ‘bukan pelajaran’. Koper yang basah dan teguran saat hanya berhanduk adalah bab-bab penting dalam kurikulum kehidupan yang sengaja dirancang untuk membangun kedewasaan saya, jauh melampaui apa yang tertulis di dalam kitab.
Mengapa Harus Holistic Curriculum? Dalam konteks pesantren, apa yang tampak seperti “kejadian kebetulan” (seperti inspeksi lemari oleh pengurus atau teguran mudabbir di jalan) sebenarnya adalah bagian integral dan desain sadar dari sistem pendidikan. Ia merupakan satu kesatuan, belajar tidak hanya terjadi di bangku kelas dari jam 07.00 – 12.00 misalnya. Belajar terjadi saat makan, saat mencuci, bahkan saat saya atau Anda mengatur mug di dalam koper. Semuanya adalah “kurikulum” yang sengaja diciptakan untuk membentuk karakter.
Dalam kurikulum holistik ini, metode inkuiri Anda atau saya (belajar dari koper basah) bukan “kecelakaan belajar”, melainkan laboratorium kemandirian yang memang sudah disediakan oleh sistem pesantren. Pesantren sengaja membiarkan santri “mengalami masalah” (seperti mengelola pakaian sendiri) agar inkuiri itu terjadi. Inilah bentuk Osmosis yang terencana: Jika kita gunakan istilah Holistic Curriculum, maka osmosis budaya yang kita bahas tadi adalah proses penyerapan yang didesain. Kiai dan pengurus tahu bahwa dengan menciptakan lingkungan yang konsisten, santri akan menyerap nilai tanpa perlu diceramahi terus-menerus.
Melalui teori Osmosis ini terjadi Perubahan Tanpa Sadar (Subconscious Learning) dari cerita yang telah kita diskusikan tadi, pelajaran adalah saya tidak sadar sedang “belajar” saat itu; saya merasa sedang mengalami “kebodohan” atau “kesialan”. Namun, di tahun 2025, saya menyadari bahwa rentetan kejadian itu membentuk siapa saya sekarang. Itulah ciri khas osmosis: Anda –sengaja ganti sebutan jadi Anda– tidak merasa sedang berubah, sampai akhirnya Anda sudah menjadi pribadi yang berbeda.
Gontor tahun 1979 bagi saya bukanlah sekadar tempat menuntut ilmu, melainkan sebuah wadah osmosis budaya. Pakaian saya yang basah karena mug di koper bukan sekadar kecerobohan, melainkan momen di mana ‘zat’ kedisiplinan pondok mulai meresap paksa ke dalam pori-pori kesadaran saya, menggantikan sisa-sisa cara hidup kampung yang tidak lagi relevan. Bersambung

Comments are Closed