Untuk Kebangkitan Tak Tertunda
IDE untuk bangkit tidak mesti menunggu banyak orang. Cukup dengan satu atau dua orang yang memiliki kehendak sama, perubahan besar bagi suatu wilayah teritorial tertentu bisa mewujud.
Ambil contoh peristiwa 20 Mei 1908. Saat beberapa orang berkumpul merancang cita-cita besar agar masyarakat Indonesia bisa mendapat pendidikan layak. Mereka yang berkumpul punya rasa nasionalisme yang kuat sehingga tidak mudah diperdaya dan diadu domba oleh penjajah.
Salah satu yang hadir, Wahidin Soedirohusodo, mengajukan gagasan untuk mendirikan organisasi kepemudaan. Ide ini disambut oleh Soetomo, Gunawan Mangunkusumo, dan Soeradji Tirtonegoro. Maka, berdirilah perkumpulan Budi Utomo.
Kini 114 tahun sudah berlalu dari titik awal keinginan bangkit. Setiap 20 Mei lantas ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tertanggal 16 Desember 1959. Bila dihitung rentang waktu antara berdirinya Budi Utomo hingga Kemerdekaan Indonesia, yakni dari 1908 hingga 1945, dibutuhkan sekitar 37 tahun. Artinya, dari titik awal pemikiran perubahan hingga akhirnya mewujud sebagai bangsa merdeka, memerlukan proses 30 tahun lebih.
Proses tersebut mencakup berbagai pergerakan. Bermula dari gagasan beberapa orang (muda) saja, lantas menggelinding menjadi opini publik serta mengilhami pergerakan lainnya dengan target tujuan yang sama.
Banyak lahir organisasi pergerakan
Pada rentang waktu tersebut, banyak lahir organisasi kemasyarakatan dan pergerakan. Dari kalangan Islam misalnya, berdiri Muhammadiyah pada 1012, Al-Irsyad Al-Islamiyah (1914), Persatuan Islam atau Persis (1923), Nahdlatul Ulama (1926), Al-Khairaat (1930), Al Washliyah (1930), hingga Darud Da’wah wal Irsyad (1938).
Budi Utomo sendiri berakhir pada 1935 dengan melebur ke organisasi lain. Karakter dari pergerakan tersebut terlihat berorientasi pada upaya pengembangan pendidikan, persatuan, dan kebangsaan.
Selanjutnya, pergerakan setelah masa kemerdekaan, saat Indonesia sudah terbentuk sebagai negara yang berdaulat, lebih mengarah pada pembentukan partai politik. Pada 1945-1946 terbentuk sekitar 11 partai atas seruan pemerintah.
Kelahiran parpol mendominasi
Pada Pemilu 1971 tercatat ada 10 Partai, kemudian pada 1977 disederhanakan menjadi 3 partai. Selain partai politik, antara 1945-1982 bermunculan organisasi profesi seperti dokter, bidan, insinyur, dan lainnya.
Pada 1970 tercetus gagasan politik Islam dengan dikumandangkannya slogan “Islam Yes Partai Islam No!” oleh Cak Nur. Slogan ini kemudian mendapat tanggapan pro dan kontra.
Kemudian pada 1978 Daoed Joesoef sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Kebijakan ini membuat mahasiswa terbebas dari aktivitas politik praktis.
Presiden Soeharto, pada 16 Mei 1974, juga mendirikan sebuah yayasan yang bertujuan untuk mengatasi masalah dunia pendidikan. Pendirian yayasan ini untuk meringankan beban orang tua dan negara dalam pembiayaan pendidikan bagi masyarakat.
Yayasan ini menyasar para intelektual muda yang kecerdasannya di atas rata-rata, namun kondisi ekonomi orang tuanya tidak mendukung. Yayasan ini lantas bergerak dalam bidang penghimpunan dana dan penyaluran beasiswa.
Pada 37 tahun berikutnya, antara 1982-2019, pergerakan masih diwarnai dengan pergerakan partai politik, terutama sejak Pemilu 1999. Jumlah parpol meningkat menjadi 48 partai. Pada 2004 tetap banyak, yakni 24 partai. Dan Pada 2009 berjumlah 38 partai. Selanjutnya, pada 2014 sebanyak 12 partai serta pada 2019 sebanyak 20 partai.
Adapun dari sisi pemerintahan, banyak gerakan yang diluncurkan. Seperti, penerapan Asas Tunggal bagi organisasi kemasyarakatan (ormas) yang ada di Indonesia. Lahir pula Dwifungsi ABRI dan penerapan (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Kebijakan ini kemudian berubah setelah Orde Reformasi.
Terselip pergerakan media massa
Di samping pergerakan melalui parpol, di masa ini juga terlihat gerakan media massa. Hal ini tampak dari lahirnya penerbitan-penerbitan baru, media televisi swasta, hingga media elektronik dengan isu yang diusung mengenai kebebasan pers.
Kemunculan internet pada 1997 menambah banyak variasi gerakan. Banyak lahir yayasan sosial yang didirikan oleh perusahaan media, fundraising. Crowdfunding secara online juga bermunculan.
Pada 1990 lahir organisasi Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Perkembangan berikutnya, pada 2001 lahir Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang didirikan oleh pemerintah sebagai amanat dari UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dari pembentukan ini, bermunculan lembaga amil zakat lain yang lahir dari organisasi.
Pada 2011 lahir Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Program andalannya adalah beasiswa sekolah ke luar negeri. Pada masa ini juga bermunculan organisasi berupa forum-forum dari berbagai komunitas. Terlebih, era reformasi masih terasa.
Untuk kebangkitan tak tertunda
Pergerakan pasca kemerdekaan sebagaimana terlihat banyak dilakukan melalui parpol dan peranannya dalam menerbitkan berbagai regulasi. Dapat dipahami karena masa-masa ini adalah masa membangun negara. Masa menyalurkan aspirasi dan menganalisis kebutuhan sesuai dengan hasil bacaan parpol dan program serta janji-janji politiknya.
Kemudian, pergerakan apa pun terikat dan tunduk kepada prinsip-prinsip dasar kenegaraan. Tema kemerdekaan dan penjajahan–sebagaimana yang diusung organisasi tahun 1900an–sudah tidak lagi relevan untuk diangkat.
Tapi jangan salah, masih ada tema lain yang tersisa dan perlu diperjuangkan, yakni mendapat pendidikan yang layak dan nasionalisme. Sebagaimana gagasan awal kebangkitan yang diusung Budi Utomo.
Permasalahan yang dihadapi juga hampir sama, ketersediaan dana untuk pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu. Jika gerakan ini terus dikembangkan dan dipertahankan, diharapkan permasalahan pendidikan anak bangsa bisa terselesaikan.
Kelahiran berbagai lembaga dan badan terutama yang bergerak di bidang pendanaan diharapkan bisa menciptakan program-program yang dapat menyelesaikan masalah pendidikan yang diderita oleh sebagian anak bangsa tersebut. Kata kuncinya adalah “penyelesaian masalah” sehingga mereka bisa lanjut pendidikannya.
Jadi, program beasiswa misalnya, bukan sekadar memberikan santunan dan insentif dengan nominal; sedikit untuk banyak orang, tapi banyak atau cukup untuk sedikit orang lebih baik karena bisa menyelesaikan masalah. Dari yang sedikit itu nantinya diharapkan bisa berkontribusi dan memperjuangkan penyelesaian masalah pendidikan bagi 1.000 orang lain. Dan begitu seterusnya.
Kegiatan berantai ini mestinya lahir dari para alumni penerima beasiswa. Setelah sukses dalam karier, hendaknya mereka mulai memikirkan orang lain yang juga berhak mendapatkan beasiswa. Sebagai ungkapan syukur dan terima kasih kepada para donatur yang memiliki cita-cita mulia.
Dengan demikian diharapkan lahir lebih banyak lagi gerakan melalui pendirian lembaga-lembaga atau yayasan beasiswa, terutama yang diprakarsai oleh alumni penerima beasiswa tersebut. Karena kita telah masuk di 37 tahun berikutnya, yakni 2019-2056.[]
*M Tata Taufik, Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash, Kuningan, Jawa Barat
Sumber: Medcom.id 19 Mei 2022
Comments are Closed