Sosiologi Ramadlan
Secara sosiologis bulan Ramadlan telah melahirkan beberapa tradisi pada masyarakat tertentu pada gilirannya melembagakannya serta mewariskannya turun temurun. Tradisi tersebut ada yang memang berasal dari interpretasi dari ajaran yang terkandung dalam puasa dan ada juga yang tercipta begitu saja sebagai kreativitas para pelaku puasa pada awalnya, dan kemudian mengembang menjadi seakan budaya Romadlan, karena terikat dengan symbol-symbol puasa.
Kegiatan puasa berupa menahan makan dan minum serta menahan diri dari yang membatalkan puasa secara individual, kemudian dihubungkan dengan kegiatan amal shaleh di bulan suci ini berupa memperbanyak shadaqah, i’tikaf (duduk di mesjid sambil berdzikir atau berdo’a), tadarus al-Qur’an, shalat malam hari di bulan puasa (menghidupkan malam di bulan Ramadlan) yang kemudian melahirkan shalat tarawih dan witir secara berjamaah di mesjid, serta mengisi hari-hari dengan aktivitas belajar dan pendidikan; majlis taklim khusus bulan Ramadlan dan pengajian kitab tertentu di bulan ini (di Jawa Barat disebutnya pasaran). Dengan kata lain puasa telah melembagakan beberapa rumusan kegiatan di bulan puasa yang biasa dilakukan oleh para pelakunya menjadi amalan bulan Ramadlan.
Ada beberapa tradisi yang melembaga di bulan puasa ini sesuai dengan waktu-waktu tertentu yang dihubungkan dengan ikon-ikon puasa. Antara lain menyambut bulan Ramadlan, menyongsong waktu buka, cara berbuka, waktu sahur serta aktivitas ba’da shalat shubuh.
Menyongsong bulan suci Ramadlan, diawali dengan mengirim rantang pada orang tua atau yang dianggap tua dari kerabat, setelah melembaga kemudian berubah menjadi tradisi parcel awal puasa tradisi ini disebut munggah.
Berikutnya menyongsong waktu buka, ada tradisi yang sering dikenal ngabuburit (di Jawa Barat yang kemudian menjadi umum juga sebutan tersebut) yaitu keluar rumah menjelang magrib dengan tujuan menunggu datangnya waktu magrib, pada awalnya sederhana kemudian berkembang menjadi sangat kompleks dan bisa dipandang sebagai kegiatan sia-sia dan mengganggu. Terlebih ejak penggunaan sepeda motor menjadi sangat lumrah dan umum, munculnya club-club sepeda motor menjadi pengisi jalalanan –tentu saja dengan mengabaikan aturan lalu lintas—dan menggangu pengguna jalan lainnya. Biasanya dimulai setelah waktu ashar.
Saat buka puasa sejalan dengan pemberitaan media pada tahun 1880an mulai muncul kegiatan buka bersama yang dilakukan instansi-instansi pemerintah pada awalnya lalu menyebar pada komunitas tertentu dan terus menjadi melembaga pada kalangan tertentu pula sehingga seakan menjadi bagian dari puasa itu sendiri.
Kegiatan lain yang berhubungan dengan waktu buka adalah kegiatan ifthar (memberi buka bagi yang berpuasa) pada awalnya kegiatan ini berjalan di mesjid-mesjid di kota besar, kemudian menyebar akhir-akhir ini banyak juga didirikan semacam posko yang menyediakan makanan untuk buka puasa bagi yang sedang di perjalanan.
Dari sisi lain puasa juga melahirkan tradisi hasil kreativitas yang dihubungkan dengan icon-icon puasa seperti waktu sahur, melahirkan tradisi membangunkan sahur yang dilakukan oleh anak-anak muda dengan berkeliling kampung menggunakan kentongan dan alat pukul lainnya yang mereka cipta sendiri, sisi ini terus berevolusi sejalan perkembangan kapasitas dan sarana yang tersedia. Kini tradisi membangunkan sahur berubah di beberapa wilayah perkotaan dengan adanya dangdutan keliling serta penggunaan speaker dari mushala atau mesjid sejalan dengan sarana yang dimiliki.
Belakangan muncul juga tradisi terkait dengan sahur yang dilakukan anak-anak muda dengan sebutan sahur on the road, penulis tidak tahu percis kegiatan ini bentuknya seperti apa, yang jelas mereka berkendara sepeda motor berkeliling kota pada waktu sahur.
Kegiatan subuh juga tak ketinggalan melahirkan kegiatan kuliah subuh, suatu kegiatan ceramah keagamaan dalam bulan puasa yang diselenggarakan setelah shalat subuh. Adapun turunannya dari kegiatan ini adalah budaya lari pagi yang entah muncul sejak kapan, yang pasti sempat muncul tahun 1980an juga dan menjadi sorotan media pada waktu itu dengan tajuk asmara subuh misalnya, dan terus berlanjut.
Memperhatikan beberapa tradisi yang melembaga di bulan puasa ini tentu akan terlihat mana yang bernilai positif dan mana yang dipandang kurang pas jika dihubungkan dengan kesucian bulan Ramadlan.
Beberapa yang bisa dipandang kurang pas atau negatif biasanya terlahir dari kreativitas bebas yang tidak dibangun atas pertimbangan nilai-nilai dari puasa dan keutamaan bulan puasa. Adapun yang masuk dalam kegiatan positif bila dilahirkan dari wujud pelaksanaan nilai puasa dan anjuran-anjuran yang berhubungan tata cara mengisi Ramadlan.
Seperti budaya ngabuburit dalam bentuknya akhir-akhir ini, buka bersama, dan membangunkan sahur dengan group dangdut serta mohon maaf lari pagi berdimensi asmara subuh tampaknya termasuk kegiatan bertemakan Ramadlan yang harus di reset (meminjam istilah teknologi komputer atau smartphone) harus dikembalikan kepada posisi pengaturan pabrik, dalam hal ini ketentuan puasa dan keutamaan bulan puasa.
Setelah melalui diskusi dengan beberapa teman terkait sosiologi Ramadlan, ada kesamaan pandangan bahwa mesti ada upaya untuk memperbaiki tradisi yang sudah melembaga ini dengan meningkatkan pemahaman hakikat puasa dan tujuan serta capaian nilai yang bisa digapai pasca bulan suci; kembali ke fitrah, posisi terampuni segala kekhilafan dan menjadi pribadi baru yang siap menyongsong masa depan lebih gemilang. Pertanyaannya bagaimana caranya?
PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) ternyata (kehendak Allah SWT) yang diberlakukan hampir seluruh belahan dunia pada Ramadlan tahun ini telah membantu me-reset tradisi Ramadlan. Penulis melihatnya sebuah titik balik peradaban (meminjam istilah Capra 1982) Beberapa edaran terkait wabah yang melanda dunia akhir tahun 2019 dan awal 2020 ini di antaranya menganjurkan tarawih di rumah, membatasi kegiatan-kegiatan Ramadlan seperti buka bersama, ngabuburit, sahur on the road, lari pagi dan lain sebagainya membantu mengembalikan budaya Ramadlan pada kondisi lebih asli atau mendekati kondisi aslinya.
Prof Ris’an Rusli di akhir paparannya tentang sosiologi Ramadlan menyatakan bahwa dengan kasus wabah ini mengingatkan kita untuk tidak sombong, karena dengan makhluk Tuhan yang kecil itu saja sudah memporak-porandakan tatanan Dunia, mengajak beruzlah (stay @ home) dan mendekat dengan keluarga.
Harapan untuk mengonstruksi budaya Ramadlan diawali dengan kasus wabah tahun ini yang kemudian menjadi semacam rumusan yang terlembaga pada Ramadlan berikutnya, ini membutuhkan pengkajian yang mendalam serta peran serta kalangan ulama dan intelektual untuk kemudian disosialisasikan kepada khalayak, sehingga puasa menjadi lebih bermakna.
Comments are Closed